1.1. Latar Belakang
Kebutuhan daging dalam negeri setiap tahun kian meningkat, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan gizi keluarga dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Untuk kasus DKI Jakarta, hal ini bisa dilihat dari perkembangan permintaan daging yang terus naik. Dibandingkan dengan rata-rata konsumsi daging nasional, yang hanya mencapai sekitar 10,3 kg/kapita/tahun, konsumsi daging di jakarta jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 17,40 kg/kapita/tahun pada tahun 2000. Perbedaan yang nyata seperti ini sudah terjadi sejak lama. Pada Tahun 1996 angka konsumsi daging di Jakarta telah mencapai 16,55 kg/kapita/tahun sedangkan konsumsi nasional waktu itu hanya 6,0 kg/kapita/tahun.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, terjadi penurunan konsumsi yang sangat drastis, yaitu menjadi 12,13 kg/kapita/tahun pada tahun 1988. Namun demikian pada masa-masa yang akan datang diperkirakan tingkat konsumsi daging di Jakarta akan terus meningkat. Dengan asumsi pola perkembangan tingkat konumsi selama lima tahun terakhir tidak banyak berubah, maka pada tahun 2006 konsumsi daging masyarakat Jakarta akan mencapai 28,18 kg/kapita. Sementara pada tingkat nasional, konsumsi daging diproyeksikan baru mencapai 23,06 kg/ kapita/ tahun.
Dengan pola konsumsi tersebut, maka total permintaan daging untuk Jakarta pada tahun 2006 mencapai 300 ribu ton, dengan perkiraan jumlahn penduduk mencapai diatas 10 juta jiwa. Permintaan daging tersebut akan tetap lebih banyak pada daging ayam ras karena harganya yang relatif lebih murah serta lebih mudah didapat. Pada tahun 1999 telah dikonsumsi daging ayam ras sebanyak 34.042 ton, daging sapi sebanyak 8.807 ton, dan daging ayam kampung sebanyak 7.224 ton.
Perkembangan yang terus meningkat di Jakarta, tidak diimbangi dengan peningkatan yang berarti dari sisi penawaran, yaitu produksi dan budidaya peternakan. Perkembangan populasi ternak di Jakarta secara umum terus mengalami penurunan. Ternak sapi perah yang sebanyak 4.312 ekor pada tahun 1996, pada tahun 2000 turun menjadi 3.857 ekor. Ayam pedaging turun dari 175.600 ekor pada tahun 1996, menjadi 127.000 ekor pada tahun 2000. Menurunnya populasi ternak di Jakarta ini dapat dijelaskan dengan semakin meningkatnya nilai lahan yang secara umum terjadi di seluruh wilayah Jakarta. Usaha tani peternakan menjadi sedemikian tidak kompetitif dengan naiknya nilai lahan tersebut. Apalagi sebagai kota metropolitan , dijakarta banyak alternatif usaha yang terus berkembang yang secara ekonomi lebih menguntungkan.
Produksi daging di Jakarta diartikan sebagai daging yang dihasilkan dari berbagai rumah pemotongan hewan di Jakarta. Ternaknya sendiri lebih banyak berasal dari wilayah lain. Ternak sapi dan kerbau banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulawesi Selatan dan Lampung. Sumbangan ternak dari Jakarta sendiri sangat sedikit.
Produksi daging di Jakarta terkait erat dengan jumlah rumah pemotongan hewan. Pemotongan di DKI Jakarta terus mengalami penurunan sejak tahun 1996. Bahkan sejak tahun tahun sebelumnya, kecuali untuk ternak ayam. Melihat kenyataan tersebut, di masa yang akan datang, jumlah pemotongan tersebut diramalkan akan terus menurun. Hal ini terjadi karena telah semakin berkembangnya pemotongan di daerah lain, sementara kualitas pemotongan di Jakarta tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.
Produksi daging sapi/kerbau rata-rata menurun sebesar 11,57 persen, kambing/ domba menurun 10,66 persen. Sedangkan ayam mengalami kenaikan yang cukup berarti, yaitu sebesar 42,05 persen atau dari 50.283 ton pada tahun 1998 menjadi 71.427 ton pada tahun 1999. Produksi daging selama kurun waktu 1996 – 2000 rata-rata menurun sekitar 6 persen. Ini menunjukkan terjadi peningkatan kontribusi daging import dari luar negeri dan daging pasokan dari dalam negeri di luar Jakarta.
Telah disebutkan bahwa produksi daging di Jakarta, hewan potongnya sebagian besar bukan berasal dari DKI Jakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produksi daging tersebut bukan murni produk Jakarta. Kontribusi Jakarta dalam memasok ternak (untuk dipotong menjadi daging) sangat minim, yaitu hanya berasal dari sapi perah yang sudah afkir dari Pondok Rangon, kontribusinya hanya sebesar 1,36 persen. Selebihnya 98,64 persen ternak dari luar Jakarta. Untuk kerbau dan domba kontribusi ternak dari luar Jakarta masing-masing mencapai 97,22 persen dan 85 persen.
Berkaitan dengan kontribusi perusahaan dari luar Jakarta yang memasok ternak ke rumah pemotongan hewan di Jakarta, penulis merasa perlu melakukan studi kasus penggemukan sapi di PT. Sinar Katel Perkasa, yang beralamat di jalan Cibarengkok, Desa Sumur Batu, Kecamatan Babakan Madang, Bogor. Studi ini menjadi menarik karena perusahaan ini di luar Jakarta yang memasok hewan pedaging ke daerah jakarta dan Bogor.
Sementara di lain pihak ada kesimpulan yang beredar di masyarakat tentang proyek penggemukan sapi disaat krisis ekonomi terjadi dapat dipatahkan oleh berdirinya PT. Sinar Katel Perkasa ini. Dari informasi yang ada, beberapa sentra penggemukan sapi milik INKUD yang berada di daerah Bogor, Solo dan Kediri gulung tikar lantaran terkena dampak krisis. Logikanya begini. Ketika krisis eknomi menghebat apresiasi rupiah sangat rendah dibandingkan mata uang dollar Australia – sehingga tidak mungkin mendatangkan sapi bakalan dari sana karena harganya menjadi sangat mahal, sementara daya beli masyarakat sedang turun.
Keberadaan PT. Sinar Katel Perkasa yang memulai kegiatannya pada saat krisis yakni tahun 1999, sangat menarik untuk ditulis karena hingga kini masih eksis dan terus berkembang. Bahkan saat ini tingkat penjualan sapi konsumsi telah mencapai 1.500 ekor per bulan, itupun hanya melayani tiga daerah yakni Jakarta, Bogor, dan Bandung. Atas dasar asumsi-asumsi itulah thesis ini ditulis.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
No comments:
Post a Comment