PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan dunia yang mengarah kepada proses globalisasi dewasa ini mendorong kondisi perekonomian menjadi semakin komplek dan kompetitif sehingga menuntut tingkat efisiensi usaha yang tinggi, sehingga orientasi pembangunan nasional sektor pertanian harus diubah dari orientasi produksi kearah orientasi pendapatan petani. Untuk itu pendekatan pembangunan pertanian telah diubah dari pendekatan usahatani kearah agribisnis.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa unit agribisnis bukan merupakan suatu unit kepemilikan, akan tetapi merupakan unit satu kesatuan sistem yang tersusun atas beberapa komponen yang merupakan jaringan terpadu untuk meraih nilai tambah ekonomi.
Berdasarkan sejarah perkembangannya, agribisnis bukan merupakan sistem yang baru tumbuh, akan tetapi sudah tumbuh sejak dulu. Pemerintah Belanda sebagai pendatang juga memperkenalkan pola agribisnis di Indonesia. Pola yang dikembangkan pemerintah kolonial adalah agribisnis penghasil barang ekspor yang ditata menurut pola perkebunan besar. Pemerintah kolonial juga memperkenalkan agribisnis yang berwatak industri pertanian dimana aspek investasi untuk meraih nilai tambah tampil sebagai nilai dasar dari pengembangan usaha.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keragaman sumber daya alamnya, termasuk sebagai salah satu negara yang kaya akan jenis ternak, namun pada kenyataannya sektor peternakan belum dikembangkan secara maksimal walaupun sebenarnya pengembangan agribisnis peternakan mempunyai peluang yang sangat besar dalam hal peningkatan permintaan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kambing PE (Peranakan Etawa) selain dikenal sebagai kambing bertipe besar kambing PE juga dikenal sebagai penghasil susu yang cukup potensial, kambing PE mampu menghasilkan susu sebanyak 0,45-2,2 liter perhari dengan panjang masa laktasi 92-256 hari.
Di Indonesia, hampir 90% pemeliharaan kambing bertujuam menghasilkan daging, tentunya kenyataan ini sangat ironis dengan fakta bahwa dinegeri ini populasi ternak kambing PE termasuk terbesar di dunia, dan seperti diketahui bahwa kambing PE adalah penghasil susu yang sangat potensial. Di luar negeri , seperti di India, kambing etawa juga dipelihara sebagai penghasil susu yang sangat produktif, rata-rata produksinya adalah 235Kg per masa laktasi (261hari). Produksi susu kambing memberikan sumbangan sebesar 35% terhadap produksi susu di dunia.
FAO (1996) memperkirakan bahwa permintaan atau impor daging kambing dunia akan meningkat rata-rata sekitar 2% pertahunnya, sehingga pada tahun 2000 jumlah kebutuhan sudah mencapai tidak kurang dari 10,9 juta ton. Sedangkan jumlah yang diperdagangkan mencapai kurang lebih 1,4 juta ton. Dari seluruh jumlah impor dunia, Australia, New Zealand, dan negara-negara maju lainya diperkirakan akan memasok 1,1 juta ton. Dan sisanya diposok oleh negara-negara berkembang yang juga akan mengalami peningkatan produksi.
Negara-negara berkembang yang selama ini mengalami kemajuan pesat dalam perkembangan produksi ternak kambing adalah ; Cina, Bangladesh, Pakistan, Maroko, Aljazair dan Nigeria. Sedangkan negara yang berpotensi melakukan impor tinggi adalah ; Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Timur Jauh (kawasan Asia Pasifik dan Oceania). Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut merupakan daerah yang pertumbuhan ekonominya tergolong tinggi.(Ditjen Peternakan:1999)
Sedangkan di Indonesia produksi daging kambing rata-rata menurun 2,93% pertahun dalam periode 1993-1997. Penurunan produksi terjadi hampir diseluruh Propinsi kecuali di Jawa Barat, Jawa Timur, DI Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan produsen utama daging kambing di Indonesia adalah Jawa Timur dengan rata-rata sumbangan 34,07% pertahun, kemudian diikuti Jawa Tengah 14,17% pertahun dan Jawa Barat 11,46% pertahun. Propinsi lainya rata-rata hanya mampu menyumbang dibawah 5 % pertahun.
Terkait dengan beberapa persoalan diatas, sudah saatnya kita melakukan sesuatu yang mampu memberikan sumbangan nyata bagi pembangunan sub-sektor peternakan dan langsung menyentuh masyarakat kecil dengan kemampuan modal yang terbatas, usaha ternak kambing PE rasanya sangat relevan dengan tujuan diatas karena memiliki beberapa karakteristik pendukung seperti, modal awal yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan ternak besar, teknik pemeliharaan relatif mudah, sederhana dan tidak membutuhkan tempat yang luas, perkembangbiakan relatif lebih cepat dibandingkan dengan ternak besar.
Sehubungan dengan hal tersebut, sub-sektor peternakan dirasa perlu mendapat perhatian ekstra. Selama ini, perhatian pemerintah lebih banyak diarahkan kepada program peningkatan produksi hasil peternakan yang melibatkan modal besar dan sarat subsidi. Hasilnya sub-sektor ini dalam program-program tertentu mampu tumbuh pesat dengan tunjangan subsidi penuh dari pemerintah, tetapi program lain lebih banyak berjalan ditempat, jika tidak bisa dikatakan merosot tajam. Sebagai contoh, usaha peternakan ayam ras, sejak dimulai pengenalan kepada masyarakat mulai dekade 1950-an, telah tumbuh pesat dan menggurita. Beberapa perusahaan mengalami pertumbuhan yang sangat fantastis dan kini bisa menguasai 90% pasar ayam ras dari hulu ke hilir. Namun, pertumbuhan ini kini masih banyak kekurangannya. Tidak sedikit muncul hal yang kontradiktif. Sampai saat ini kita belum mampu menghasilkan GPS (grand parent stock) sendiri.
Dengan hal tersebut diatas maka strategi pengembangannya harus dirumuskan secara cermat dan tepat sehingga tujuan peningkatan pendapatan serta kesejahteraan peternak dapat dicapai.
Berdasarkan uraian diatas di Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo yang mempunyai potensi Kambing PE dalam jumlah yang cukup besar, perlu adanya strategi pengembangan yang di analisis secara obyektif(kekuatan dan kelemahan) dan apakah mempunyai dampak terhadap perubahan deregulasi serta langkah-langkah kebijaksanaan operasional pemerintah (Peluang dan ancaman) dalam rangka peningkatan nilai ekonominya.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
No comments:
Post a Comment