PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia modern dewasa ini, kehidupan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran serta penting sektor jasa keuangan pada umumnya dan perbankan pada khususnya. Lembaga perbankan merupakan unsur pokok dari sistem pembayaran. Melalui sektor jasa keuangan inilah, dana atau potensi investasi yang ada pada masyarakat disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terwujud.
Bank Islam sebagai salah satu lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai syariah memiliki tiga azas yang melandasi praktek cara kerjanya, yaitu : azas moral kemanusiaan, azas tanpa bunga, azas profit and loss sharing. Konsep perbankan Islam dengan ketiga azas tersebut adalah bagian integral dari keseluruhan value system dalam Islam, sehingga karenanya memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan rasa tanggung jawab sosial, keadilan sosial dan stabilitas nasional yang merupakan syarat mutlak berseminya komitmen perbankan yang mendukung program-program restrukturisasi bidang ekonomi.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia sebagai suatu badan yang memiliki wewenang untuk mengatur perkreditan nasional telah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU tersebut memberikan pengakuan yang lebih tegas mengenai keberadaan dan perlunya bank-bank berdasarkan prinsip syariah, serta memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan bank-bank tersebut. UU tersebut antara lain mengatur mengenai dimungkinkannya bank-bank konvensional mendirikan cabang-cabang yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dasar hukum yang lebih jelas ini serta peluang yang diciptakannya akan cenderung mendorong tumbuhnya bank Islam atau cabang syariat dari bank-bank konvensional pada masa mendatang. Semakin terbukanya peluang bagi pengembangan bank Islam di Indonesia harus didukung oleh penerapan metode dan praktek akuntansi yang lebih mantap dalam kegiatan operasional bank Islam.
Salah satu metode investasi yang terpenting dalam bank Islam adalah murabahah (penjualan kembali dengan laba) karena merupakan investasi jangka pendek dengan resiko yang sangat kecil dan paling menguntungkan (Al-Khadas, 1999, 2) serta berhasil menguasai 98% dari total investasi (Omar, 1987, 224).
Bank-bank Islam melalui pembiayaan murabahah mulai mempertimbangkan eksistensi dirinya sebagai pihak perantara antara klien atau nasabah yang membutuhkan barang dan para supplier di luar bank yang memiliki ataupun menghasilkan produk tersebut. Untuk selanjutnya, bank Islam akan membeli produk barang secara tunai dan menjualnya kembali kepada klien atau nasabah yang membutuhkannya dengan dasar beban yang ditangguhkan.
Pembiayaan murabahah membutuhkan kerangka akuntansi yang menyeluruh yang dapat menghasilkan pengukuran akuntansi yang tepat dan sesuai, dapat mengkomunikasikan informasi akuntansi secara tepat waktu dengan kualitas yang dapat diandalkan serta mengurangi adanya perbedaan perlakuan akuntansi antara bank Islam yang satu dengan yang lain. Karena hal tersebut akan berdampak dalam hal keadilan untuk menentukan laba bagi pemegang saham (stakeholder) dan depositor (deposan).
Dalam hal perlakuan akuntansi untuk pembiayaan murabahah, bank-bank Islam menerapkan metode akuntansi yang berbeda (Al-Nagi, 1985; Shahata, 1986 ). Salah satu masalah penting yang dihadapi oleh bank Islam untuk pembiayaan murabahah adalah pembagian laba bagi depositor (Abdel Majeed, 1994, 3). Dari hasil perbandingan laporan keuangan beberapa bank Islam, terdapat perbedaan diantara bank-bank Islam tersebut mengenai pengukuran biaya-biaya lain terkait (subsequent costs) yang seharusnya dan tidak seharusnya dibebankan dalam biaya awal operasi pembiayaan murabahah (Al- Khadas, 1999, 7). Perbedaan tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya kesulitan dalam hal perbandingan realisasi laba oleh bank Islam yang satu dengan bank Islam yang lain (FAO-IBFI, 1998, 146).
Di samping itu, beberapa bank Islam mengakui bahwa pendapatan dalam pembiayaan murabahah menggunakan dasar akrual (accrual basis) yaitu pendapatan diakui pada saat nasabah atau klien telah melunasi seluruh pinjaman atau melunasi semua cicilannya. Sedangkan pada bank Islam yang lain mengakui pendapatan dari murabahah dengan menggunakan dasar kas (cash basis) yaitu pendapatan diakui pada saat bank menerima kas dari nasabah atau klien ketika mengangsur ataupun mencicil pinjamannya (FAO-IBFI, 1998, 146).
Situasi tersebut diatas memperlihatkan bahwa bank-bank Islam ternyata belum sepenuhnya memakai satu standar yang baku sebagai acuan dalam operasionalnya dan selanjutnya akan mengurangi kegunaan informasi keuangan yang dihasilkan oleh bank Islam bagi para pemakai laporan keuangan. Oleh karenanya kebutuhan dalam menetapkan dasar dan metode pengukuran akuntansi, khususnya untuk pembiayaan murabahah menjadi sangat penting dan harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan syariah yang telah diatur dalam “Financial Accounting Standards For Islamic Bank and Financial Institutions” (FAS - IBFI) agar para pemegang saham dan depositor mendapatkan bagian laba yang sesuai dengan haknya.
Untuk itu penulis mencoba menganalisa bagaimana praktek akuntansi untuk pembiayaan murabahah khususnya tentang metode pengukuran biaya, pendapatan dan laba operasi dalam Bank Muamalat Indonesia sebagai salah satu bank Islam terbesar di Indonesia yang menjalankan kegiatan operasi berdasarkan prinsip keadilan dan ketentuan syariah.
Berdasarkan uraian di atas, maka Skripsi ini diberi judul :
PERLAKUAN AKUNTANSI PEMBIAYAAN MURABAHAH : DASAR DAN METODE PENGUKURAN BIAYA DAN LABA OPERASI (STUDI KASUS DI BANK MUAMALAT INDONESIA)
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
No comments:
Post a Comment