Saliva merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Saliva berperan dalam melindungi jaringan di dalam rongga mulut dengan cara pembersihan secara mekanis untuk mengurangi akumulasi plak, lubrikasi elemen gigi-geligi, pengaruh buffer, agreasi bakteri yang dapat menghambat kolonisasi mikroorganisme, aktivitas antibakterial, perncernaan, retensi kelembaban, dan pembersihan makanan. Oleh karena itu, saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut seseorang.1
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, saliva perlu dihasilkan dalam rongga mulut dalam jumlah yang cukup. Umumnya sekresi saliva yang normal adalah 800-1500 ml/hari, Banyaknya saliva yang disekresikan di dalam mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti rangsangan olfaktorius, melihat dan memikirkan makanan, rangsangan mekanis, kimiawi, neuronal, rasa sakit, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Selain itu, keadaan stres, depresi, dan cemas juga dapat mempengaruhi sekresi saliva.1,2,3,4
Telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai saliva, stres, depresi, dan kecemasan. Seperti dalam penelitian Little Mahendra dkk, 2011, dilaporkan bahwa stres kerja dapat menjadi faktor yang memperburuk
penyakit periodontal. Dalam penelitian lain, Bezerra Junior dkk, 2010, menunjukkan bahwa periodontitis kronis mempengaruhi komposisi dari saliva. Adapun penelitian yang mengemukakan bahwa depresi dan kecemasan dapat meningkatkan angka kematian (mortalitas) seperti penelitian yang telah dilakukan Mykletun dkk, 2007, Schoevers, Beekman, Tilburg, 2000.5,6,7,8
Sekolah kedokteran gigi diketahui sebagai lingkungan pembelajaran yang meminta tuntutan yang tinggi dan penuh dengan tekanan jiwa (stresful). Kurikulum saat ini menghendaki mahasiswa kedokteran gigi untuk mencapai bermacam-macam kecakapan/keahlian, termasuk kemahiran dalam pengetahuan teori, kompetensi klinik, dan keterampilan dalam berhubungan dengan orang-orang (interpersonal skill). Telah banyak penelitian yang dilakukan di berbagai sekolah kedokteran gigi di seluruh dunia dan kebanyakan dari penelitian ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari stres di antara mahasiswa kedokteran gigi.9,10
Dalam beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi cukup tinggi. Ada pula penelitian yang menemukan bahwa tingkat stres lebih tinggi pada mahasiswa klinik daripada mahasiswa preklinik. Dalam penelitian Alzahem dkk, 2010, ditemukan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berhubungan dengan ujian, kebutuhan dan syarat klinik, dan dental supervisor. Pada penelitian Polychronopoulou dan Divaris, 2005, mengemukakan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berasal dari banyaknya kuliah, ujian dan peringkat, kurangnya kepercayaan diri akan menjadi dokter gigi yang sukses, melengkapi syarat kelulusan, kurangnya waktu untuk mengerjakan tugas sekolah, dan kurangnya waktu santai.9,10
Setelah melihat fakta-fakta seperti yang telah tertulis di atas, timbul dalam benak penulis pertanyaan-pertanyaan, antara lain benarkah stres, depresi, dan kecemasan dapat mempengaruhi sekresi saliva dan apakah tingkat keparahan dari ketiga hal tersebut berpengaruh terhadap volume saliva. Oleh karena itulah peneliti kemudian tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut. Secara keseluruhan penelitian ini penting dan perlu dilakukan sebab dengan melakukan penelitian ini, artinya dapat diketahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan dengan volume saliva dan dengan mengetahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan dengan volume saliva artinya dapat dilakukan pencegahan sebelum terjadi penyakit yang lebih serius, baik dari segi pencegahan terhadap penyakit di dalam rongga mulut, maupun pencegahan terhadap risiko dari faktor psikologis secara keseluruhan seperti kesehatan fisik, mental, dsb. Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis kemudian mengangkat sebuah penelitian dengan judul “Pengaruh Stres, Depresi, Dan Kecemasan Terhadap Volume Saliva Pada Mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin”.
No comments:
Post a Comment