“CAMPUR KONSEP DALAM GEGURITAN YUSUF”
( CODE MIXING )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Naskah-naskah klasik nusantara merupakan hasil kebudayaan rohani yang merupakan peninggalan nenek moyang kita. Naskah-naskah tersebut itu banyak jumlahnya, yaitu tersebar di berbagai tempat di wilayah Indonesia, dan telah tersimpan baik di berbagai musium, di perpustakaan dan di rumah-rumah perseorangan sebagai koleksi pribadi.
Menggali naskah nenek moyang yang agung nilainya itu, perlu dalam rangka membina dan mengembangkan kebudayaan kita. Dengan pengkajian naskah-nakah itu kita dapat memahami dan menghayati pandangan dan cita-cita yang menjadi pedoman hidup masyarakat (Sujiman, 1990 : 46 ).
Naskah-naskah kuno kebanyakan ditulis dalam bahasa-bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa kuno, kulit kayu dan rotan, biasa dipakai untuk naskah-nskah Melayu. Naskah ini sudah ditranslitrsikan keaksara latin. Bahasanya masih menggunakan bahasa jawa tengahan, bahasa melayu, bahasa sasak, serta beberapa kosa kata bahasa arab dan di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh (I.Nyoman Suarna) dalam bentuk skirpsi.
Geguritan Yusuf (GY) masih merupakan karangan berbentuk puisi terikat oleh syarat-syarat tertentu, yaitu di jalani oleh aturan pupuh-pupuh, seperti pupuh asmaranda, pupuh durma, dan pupuh sinom. Dilihat dari isinya GY merupakan karya sastra pengaruh Agama Islam yang mengisahkan tentang Nabi Yusuf di Mesir.
Berdasarkan kutipan naskah tersebut, GY di tulis di Desa Kediri Timur Lombok Barat, naskah tersebut pertaama kali di tulis Bulan Muharom hari Jumat, pada waktu keliwon tanggal duapuluh sembilan pada tahun jim awal . naskah selesai di tulis pada hari selasa tanggal tiga bulan Rabiul Awwal, lama penulisan tiga puluh hari.
GY salah satu naskah yang perlu di teliti dari aspek kebahasan khususnya dari aspek sosiolinguistik yang membahas tentang bahasa dalam hubungan dengan perilaku sosial dalam masyarakat. Dengan kemajuan teknologi dan maraknya acara televisi dan hiburan, mengakibatkan perhatian terhdap naskah-naskah lama sangatlah sedikit. Untuk itu perlu diadakan suatu pembinaan, pengembangan, dan pelestarian terhadapa naskah-naskah kuno tersebut.
Dari sekian banyak jumlah naskah kuno yang ada di Indonesia, baru sebagian kecil yang di teliti. Oleh karena itu salah satu upaya untuk melestarikannya adalah dengan cara sebagai berikut :
“Geguritan adalah kitab : Kritik edisi teks, dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia” ( 1991 ) oleh I. Nyoman Suarna.
GY sampai saat ini masih ditembangkan oleh sebagian masyarakat yang ada di pulau Lombok. Disamping itu ditembangkan sebagai hiburan GY ditembangkan pada saat upacara-upacara keagamaan seperti upacara khitanan, upacara selamatan hajji dan upacara lain yang berhubungan dengan hari raya umat islam, mengingat jumlah penduduk di pulau Lombok yang mayoritas Islam tidak menutup kemungkinan berkembangnya cerita yang berbau Islam.
Menurut konsep koentjaraningrat ( 1996 : 80-81 ) ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu (1) sistim peralatan dan perlengkapan hidup, (2) sistim mata pencaharian hidup, (3) sistim kemasyarakatan, (4) bahasa (5) kesenian, (6) sistim pengetahuan, dan (7) sistim religi. Tujuh unsur kebudayaan ini saling mendukung dan saling melengkapi di dalam suatu sistim yang di sebut sistim kebudayaan itu peran bahasa menempati fungsi yang paling menuntun penting di samping unsur-unsur yang lain ( Nababan, 1984:48 ). Dalam konsep bila dikaitkan dengan kebudayaan, sebagai sarana pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dimana dan kapan saja. Sebuah kebudayaan tidak biasa berkembang tanpa adanya bahasa.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, terdapat beberapa masalah yang di kaji sesuai topik penelitian. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ciri-ciri dan macam-macam campur kode yang terdapat dalam GY ?
2. Bagaimanakah wujud campur kode pemakaian bahasa dalam GY ?
3. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya campur kode dalam GY ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sebagian kegiatan ilmiah penelitian tentang “Campur Kode dalam Geguritan Yusuf” memiliki tujuan. Adapun tujuan dari penelitian dapat di bedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk ikut serta dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional yang menggali dan melestarikan naskah-nskah lama. Selain itu juga bertujuan untuk memberikan sumbangan penelitian baru ilmu bahasa agar khazanah penelitian kebahasaan semakin lengkap
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini tidaklah jauh dari topik permasalahan. Pada perinsipnya tujuan khusus dari penelitian ini adalah bertujuan untuk memberikan jawaban yang ada dalam permasalahan di atas. Permasalahan ini meliputi:
1). Ciri-ciri dan macam-macam campur kode dalam GY.
2). Macam wujut campur kode dalam GY
30. Faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode dalam GY
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Memperoleh gambaran yang mendalam di dalam memahami campur kode dalam Geguritan Yusuf
2. Meningkatkan daya apresiasi terhadap karya sastra secara umum.
3. Memperkaya pandangan atau wawasan peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya tentang campur kode dalam Geguritan Yusuf oleh I Nyoman Suarna.
4. Sebagai suatu sarana informasi kepada pembaca dan pencinta sastra tentang campur kode dalam Geguritan yusuf oleh I Nyoman Suarna.
BAB II
LANDASAN TEORI
Kehadiran suatu teori mutlak diperlukan. Hal ini berguna sebagai acuan dan landasan analisis yang dapat menuntun dan mengarahkan pemahaman menjadi lebih baik terhadap objek penelitian dengan demikian, teori dalam suatu penelitian merupakan pembimbing, yang menentukan dan memberi arah atau menggiring pendekatan dalam memberi pemahaman mengenai objeknya (Verhar,199:10).
Penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik yang menganalisis bahasa dalam hubungannya dalam masyarakat. Teori sosiolinguistik beranggapan bahwa pemakaian bahasa umumnya tidak pernah bersifat homgen dan tidak pernah monoton, tetapi berlangsung atas ragam atau pariasi (Suwito,1985:23).
Teori sosiolinguistik juga mencoba menemukan aturan-aturan yang berhubungan dengan masyarakat dan menjelaskan hubungan antara tingkah laku bahasa dan tingkah laku bahasa di dalam masyarakat menyangkut ketetapan dalam memilih variasi dan ragam bahasa dengan mempertimbangkan faktor-faktor situasi seperti siapa yang berbicara, kapan dan siapa berbicara, apa yang dibicarakan hubungan keluarga, kedudukan, status ekonomi,serta faktot-faktor yang ada di luar lingkungan bahasa (Fisman,1972:3).
Fisman juga mengatakan bahwa ketetapan bahasa dan variasi bahasa dalam hubungan sosial banyak ditentukan oleh kesadaran penutur terhadap dan dimana penuturan itu diucapkan. Ketetapan penutur memilih bahasa sesuai dengan waktu bicara dan tempat bicara dinilai sebagai kemampuan menilai situasi. Jadi topik percakapan merupakan suatu rangkaian dengan tempat bicara dan waktu bicara.
Teori ragam bahasa sangat erat pula kaitannya dalam campur kode karena hal ini berkitan dengan sikap pilih memilih bahasa yang dimiliki masyarakat. Dalam masyarakat juga ditemukan suatu penomena,yaitu dalam suatu bahasa memungkinkan terhadap ragam bahasa yang dihargai tinggi dan sebaliknya ada yang dihargai rendah. Penomena ini disebut diglosia. Berdasarkan penomena tersebut di atas dapat diacu teori tentang ekologi bahasa,yaitu teori yang mengkaji tentang timbal balik bahasa-bahasa dengan lingkugan (Sumarsono,2002:44 – 45).
Di dalam campur kode ciri-ciri keteragantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Fungsi kebahasaan menentukan sejauh mana bahasa yang dipakai oleh penutur memberi kesempatan bercampur kode. Campur kode merupakan konperjensi bahasa (linguistickonvergence) yang unsur-unsurnya berasal dari berapa bahasa masing-masing.telah meningglkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya (Suwito.1983:75) lebih jauh (Thelander 1976:103) mengatakan bahwa apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam klausa yang sama,maka peristiwa tersebut dinamakan campur kode.
Masyarakat sebagai penutur bahasa memiliki sikap-sikap tertentu terhadap bahasanya sendiri, artinya keadaan jiwa atau perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain (Jendra,1991:4). Oleh karena itu, dikatakan bahwa sosiolinguitik merupakan studi atau pemahaman sehubungan dengan penutur bahasa itu anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik itu adalah ilmu yang mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa kususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (Nababan,1984:2).
2.1 Pengertian Kode
Pengertian kode secara umum mengacu pada tanda atau bahasa yang dipakai oleh penutur pada waktu berbicara maupun mendengar ketika menangkap tuturan orang lain. Dalam kaitannya dengan hal itu, sering muncul istilah encode (encode) dan decode (decode), masing-masing untuk penutur dan pendengar. Seorang penutur men-kode tuturan atau kode itu untuk memahami tuturan (Sumarsono,1991:151-152).
Kode merupakan tanda, simbol, isyarat atau salah satu variasi dalam takaran bahasa. Dapat pula dikatakan bahwa kode ini adalah alat perhubungan yang merupakan salah satu varian bahasa (Jendra,1991:120). Salah satu dari variasi dari tiap-tiap bahasa di dalam hirarki kebahasaan disebut istilah kode. Istilah kode secara populer mengacu pada tanda atau bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur pada waktu berbicara, termasuk juga pendengar ketika menangkap tuturan orang lain (Sumarsono,1991:151/2002:388).
Supomo juga memberikan batasan tentang kode yaitu sebagai berikut. Kode merupakan suatu sistim tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas yakni sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Lebih jauh pula dikemukakan bahwa kode biasanya berbentuk variasi bahasa secara nyata dipakai secara komunikasi antara anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat eka bahasa (monolingual), kode itu merupakan variasi dari bahasanya yang satu. Akan tetapi bagi masyarakat yang dwi bahasa atau aneka bahasa (multilingual) inventarisasi kode menjadi lebih luas dan mencakup variasi dua bahasa atau lebih (Suepomo,1975:3).
2.2. Pengertian Alih Kode
Sebelum kita masuk pada pengertian campur kode terlebih dahulu kita uraikan tentang alih kode agar kita biasa membedakan antara alih kode dan campur kode. Kelompok alih kode (code swithing) terdiri dari dua bagian yaitu kata alih berarti ‘pindah’, anti. Sedangkan kode berarti tanda,l,symbol, isyarat atau salah satu variasi di dalam’. Untuk itu pengerian alih kode dapat diartikan sebagai peralihan,atau pergantian (perpindahan) pemakai dari suatu bahasa dari satu variasi bahasa dari kebahasa yang lain (Jendra, 1991:120).
Konsep alih kode mencakup juga tentang kejadian dimana kita beralih dari suatu ragam fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari suatu dialek ke dialek yang lain dan sebagainya. Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speeh act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/atau kebiasaannya yang diturut. Tindak bahasa demikian itu disebut alih kode (Nababan,1984:31-32).
Peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain disebut alih kode. Jadi apa bila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia) dan beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa) maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode (Suwito,1983:68). Alih kode merupakan salah satu asfek tentang saling ketergantungan bahasa (Lanuagedependency)di dalam masyarakat multi lingual. Masyarakat yang multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan suatu bahasa tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain.
Alih kode dapat diuraikan juga sebagai peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek yang lain. Alih bahasa sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar,laras bahasa, tujuan berbicara, topik yang akan dibahas waktu dan tempat berbicara (ohoiwutan,1997:71). Dari pengertian alih kode yang dipaparkan di atas pada dasarnya menunjukkan perbedaan yang mendasar, tetapi perbedaanya hanya pada redaksi kalimatnya yang pada dasarnya memiliki hakekat yang sama.
2.3 Pengertian Campur Kode
Peristiwa yang diakibatkan oleh adanya hubungan timbal balek antara bahasa, dapat menimbulkan kontak bahasa.Peristiwa bahasa yang di maksud misalnya interprensi, integrasi, alih kode, campur kode, dan peristiwa bahasa lainnya. Dalam hal ini, yang menjadi sentral penelitian ini yaitu peristiwa bahasa campur kode. Akan tetapi sebelum kita membicarakan campur kode secara mendalam terlebih dahulu, akan di singgung sedikit tentang persamaan dan perbedaan tentang alih kode dan campur kode.
Alih kode dan campur kode mempunyai persamaan yaitu keduanya merupakan akibat adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (lanuage depenedency). Keduanya mempunyai unsur bahasa lain dalam satu bahasa, hanya saja pungsi dan peran yang berbeda. Di dalam peristiwa bahasa alih kode, pungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri ketergantungan, tetapi dalam peristiwa campur kode ciri-ciri ketergantungan di tandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan fungsi kebahasan. Peranan yang di maksud adalah peranan yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasan merupakan kehendak yang ingin dicapai oleh penutur dalam tuturannya bercampur kode (Suwito, 1983 : 75). Campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu kehendak bahasa (Speench Act atau discourse) tanpa adanya situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang di turuti (Nababan, 1984 : 32).
Peristiwa bahasa campur kode biasanya terjadi pada penutur yang menguasai atau mengetahui dua bahasa atau lebih. Seorang penutur yang menguasai lebih banyak bahasa yang akan memberi kesempatan yang lebih untuk bercampur kode dari pada penutur yang menguasai satu atau dua bahasa. Akan tetapi hal ini tidak mutlak demikian, sebab apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Dalam hal ini pula sifat-sifat penutur akan mewarnai campur kodenya seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, keagamaan dan sebagainya.
Dari beberapa pengertian di atas, tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Nababan menganggap campur kode itu bukan tutuntutan situasi, hanya semata-mata kebiasaan, sedangkan Thelender memberikan tambahan batasan dengan “ Ruang lingkup” campur kode dalam tataran klausa.
Melihat batasan dan pengertian di atas yang telah di berikan oleh para alih bahasa tersebut dapat dketahui yang berhubungan dengan peristiwa bahasa campur kode. Untuk itu di dalam analisis hanya terpokus pada peristiwa bahasa campur kode dari bahasa A dan B yang terjadi pada pemakaian bahasa dalam Geguritan Yusuf. Sedangkan peristiwa bahasa lainnya seperti integrasi, interprensi dan alih kode dalam hal ini tidak di bicarakan keseluruhan.
2.4. Ciri-ciri Campur Kode
Antara alih kode dengan campur kode mempunyai cirri yang berbeda. Apabila di dalam suatu tuturan terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu klausa yang lain dan masing-masing klausa mendukung fungsi tersendiri, maka terjadi alih kode. Sedangkan jika di dalam suatu tuturan baik baik klausa ataupun frasenya tidak lagi mendukung fungsi tersendiri, maka terjadi campur kode (Suwito,1983:76).
Sesuai dengan uraian di atas dapat disimpulkan mengenai beberapa ciri campur kode sebagai berikut:
1) Campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan seperti dalam gejala alih kode, tetapi tergantung pada pembicaraan dan tujuan pembicaraan (fungsi bahasa).
2) Campur kode terjadi karena senantiasa pembicara dan kebiasaan dalam pemakaian bahasa.
3) Campur kode berciri pada ruang lingkup klausa pada tingkat tataran yang paling tinggi dan kata pada tataran yang paling rendah.
4) Campur kode pada umumnya terjadi pada situasi tidak resmi lagi mendukung bahasa mandiri, sudah menyatu dengan bahasa yang disisipinya
5) Unsur bahasa sisipan dalam peristiwa campur kode tidak lagi mendudkung fungsi bahasa secara mandiri, tetapi sudah menyatu dengan bahasa yang disisipi (Jendra,1984:131)
2.5 Macam-Macam Campur Kode.
Berdasarkan dari asal unsur serapan, campur kode dapat diuraikan menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut: (1) campur kode kedalam (inner kode-mixing), (2) campur kode keluar (outer kode-mixing) dan (3) campur kode campuran (hibrit code-mixing).
Campur kode ke dalam (inner kode-mixing) yaitu unsur-unsur bahasa yang menyisipi berasal dari bahasa pariasi-pariasinya. Seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesia banyak tersisipi unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya, bahasa daerah dengan banyak menyisipi unsur-unsur bahasa Indonesia, maka penutur terebut dinamakan bercampur kode ke dalam. Hal semacam ini sering menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang kedaerah-daerahan atau sering kita dengar bahasa daerah yang ke Indonesia-ke indonesiaan (Suwito,1983:76).
Campur kode ke luar (ouer kode mixing) adalah campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asing. Misalnya dalam pemakaian Indonesia terdapat sisipan bahasa Belanda, bahasa Ingeris, bahasa Arab dan lain sebagainya.
Campur kode campuran (hybrid kode mixing) campur kode yang di dalmnya (mungkin klausa atau kalimat) telah menyerap unsurbahasa asli (bahasa bahasa daerah) dan bahasa asing (Jendra,1991:132).
Berdasarkan tata tingkat perangkat kebahasaan campur kode itu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
(1) Campur kode pada tataran frase (campur kode klausa) yaitu bahwa campur kode hanya pada batas tuturan klausa yang paling tinggi.
(2) Campur kode pada tataran frase (campur kode frase). Yaitu setinggi lebih rendah dari frase. Campur kode frase ini biasanya murni bersifat campur kode ke luar dan campur kode ke dalam, tetapi bias juga bersifat campuran.
(3) Campur kode pada tataran kata (campur kode kata). Campur kode ini paling banyak terjadi pada setiap bahasa. Campur kode kata bias brupa kata dasar, kata tunggal, kata kompleks,kata ulang dan kata majemuk (Jendra,1991:133-134).
2.6 Beberapa Macam Wujud Campur Kode
Suatu dan ciri-ciri campur kode di atas bahwa campur kode terjadi pada tataran kata yang paling rendah dan tataran kalusa yang paling tinggi. Melihat batas itu ada beberapa macam wujud campur kode yaitu sebagai berikut:
(1) Campur kode pada tataran klausa
(2) Campur kode pada tataran frase
(3) Campur kode pada tataran kata, (jendra,1991:133)
Kemudian oleh Suwito (1983:78) dikembangkan lagi menjadi enam macam wujud campur kode yaitu sebagai berikut:
(1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,
(2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujudperulangan kata
(3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster
(4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
(5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase
(6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Pada perinsifnya pembagian-pembagian diatas tidaklah mempunyai perbedaan yang mendasar, hanya saja wujud baster, wujud perulangan kata dan wujud ungkapan atau idiom yang diuraikan oleh Suwito, sudah termasuk ke dalam tiga pembagian tataran di atas sebab campur kode itu terjadi pada tuturan kata yang paling rendah, dan tuturan klausa yang paling tinggi.
2.7 Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Berdasarkan latar belakang dan sikap kebahasaan yang saling bergantung dan saling bertumpang tindih, dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode yaitu sebagai berikut:
(1) Faktor identifikasi peranan. Yang dimaksud dengan peranan adalah manusia sebagai peserta wicara yang berhubungan dengan peran setatus sosial tingkat tinggi, serta golongan dari peserta pembicara atau penutur bahasa itu
(2) Faktor identifikasi ragam, identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur untuk bercampur kode yang akan menetapkan dia di dalam hirarki status sosialnya.
(3) Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menandai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain terhadapnya (Suwito,1983:77)
Dari ketiga faktor di atas, dapat doperoses menjadi dua bagian pokok lagi yaitu peran disebut faktor penutup, ragam dan tujuan untuk menjelaskan menjadi faktor bahsa. Oleh karena itu, ketika faktor yang telah diproses menjadi dua bagian akan dapat diperjelas dengan menampilkan beberapa contoh sebagai berikut :
1. Faktor Penutur
Jika seseorang penutur yang belatar belakang bahsa ibu bahsa sunda yang memiliki sikap bahsa yang positif dan kadar kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa, maka bila dia berbicara dalam bahasa Indonesia maka akan sering disisipi unsur bahsa sundanya. Demikian sipenutur ingin memberi citra untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa ia orang daerah dan sebagainya. Dapat dikatakan campur code seperti ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Sebaliknya jika si penutur dalam berbicara sering memasukkan kata-kata asing, ini menunjukkan kesan bahwa ia ia orang terpelajar. Campur kode ini dapat di katakana campur kode keluar (outer code mixing).
2. Faktor Bahasa
dalam mencapai tujuannya secara tepat dan cepat, sipenutur berusaha melakukan campur kode. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering melakukkan percampuran dengan beberapa unsur bahasa lain sehingga terjadi campur kode.
Penutur menempuh denagan jalan menjelaskan dengan kata-kata setelah menggunakan bahsa Indonesia atau bahsa asing. Contoh “jangan egois, suka mementingkan sendiri “ ( Jendra, 1991:136 ). Contoh kalimat di atas dengan latar belakang ingin mempertegas dan menjelaskan kata-kata yang berbaris bawah seperti egois. Bentuk seperti ini adalah campur kode pada tataran kata.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Teknik
Dalam kegiatan linguistik metode diperlukan karena metode erat hubungannya dengan hipotesis. Metode adalah cara teratur dan berpikir dengan baik untuk mencapai suatu maksud, sedangkan teknik adalah prosedur kegiatan lanjutan dari metode yang digunakan (S.Wojowasito,1976:72-73). Metode dan teknik yang digunakan dapat diuraikan maenjadi tiga, yaitu metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik penganalisaan data,metode dan penyajian analisis.
3.1.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini yang digunakan adalah tertulis. Untuk itu, dalam pengumpulan data metode yang dipakai adalah metode observasi dengan teknik lanjutan berupa teknik catat. Metode observasi merupakan suatu cara untuk mengamati penomena-penomena yang akan diselidiki. Dalam hal ini pengamat melakukan pengamatan secara langsung terhadap naskah tersebut. Teknik catat adalah dilakukannya pencatatan pada kartu data dan dilanjutkan klasifikasi (J.W.Verhar, 1982).
3.1.2 Metode dan Teknik Penganalisaan Data
Setelah semua data terkumpul, maka tahapan selanjutnya adalah penganalisaan data dalam tahapan ini metode yang digunakan yaitu metode deskripsi dan metode padan dengan teknik ganti. Metode ini digunakan untuk menjelaskan atau memaparkan dengan selengkap-lengkapnya masalah peristiwa campur kode dalam GY. Disamping berusaha untuk menguraikan data menjadi unsur-unsurnya, penelitian ini juga memusatkan diripada memecahan masalah yang ada pada masa sekarang atau pada masa yang actual (1972:132). Metode padan adalah metode yang alat penentuannya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Teknik ganti yang digunakan untuk mengetahui jenis-jenis hubungan campur kode dalam GY, yaitu dengan jalan mengganti suatu data yang satu dengan satuan lingual lainnya.
3.1.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisa
Pada tahap penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir pada suatu penelitian yang berupa laporan . Dalam penyajian hasil analisis digunakan dan metode yaitu formal dan informal. Metode formal yaitu perumusan dengan menggunakan tanda-tanda bahasa yang biasa digunakan misalnya tanda garis bawah, tanda kurung dan tanda petik. Sedangkan metode informal yaitu memakai urutan dengan kata-kata biasa. Pemakaian tanda-tanda tertentu merupakan teknik dari metode informal (Sudaryanto.1982: 13).
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi yaitu keseluruhan sasaran yang akan dijadikan objek penelitian. Dalam penelitian kebahasaan yang dimaksud, populasi adalah tuturan yang sudah ada atau diadakan, baik yang kemudian terpilih sebagai sampel atau tidak, sebagai satu kesatuan (Sudaryanto, 1988: 21). Dalam penelitian ini, yang dijadikan populasi meliputi semua pemakaian bahasa dalam naskah atau teks Geguritan Yusuf.
3.2.2 Sampel
Mengingat banyaknya populasi, maka perlu adanya sampel. Sampel adalah segenap tuturan yang karena dipandang representatif cukup mewakili yang dipilih peneliti (Sudaryanto, 1988: 19). Dalam penelitian campur kode, yang menjadi sampel adalah beberapa bait naskah Geguritan Yusuf koleksi penelitian bahasa yang diambil sebagai sampel, yaitu beberapa bait yang mewakili, baik itu dari pupuh Asmarandana, pupuh durma, pupuh pangkur, dan pupuh sinom.
Pupuh asmarandana lebih banyak mewakili data karena pemakaian pupuh ini lebih banyak, jika dibandingkan dengan pupuh durma, pupuh pangkur dan pupuh sinom. Naskah geguritan Yusuf ini telah ditranskripsikan ke aksara latin dan diterjemahkan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab analisis dibagi atas beberapa sub bab diantaranya : (1).alnalisis campur kode berdasarkan cirinya, (2) analisis campur kode berdasarkan macamnya, (3) analisis campur kode berdasarkan wujudnya, dan (4) analisis campur kode berdasarkan faktor penyebab. Masing-masing bab diberikan contoh data peristiwa bahsa campur kode yang terjadi dalam GY. Lebih jauh perihal tentang analisis campur kode seperti yang telah diuraikan diatas, diharapkan bisa terpenuhi secara lengkap dan terperinci.
Analisis Campur Kode Berdasarkan Ciri-Cirinya
Campur kode terjadi pada umumnya dalam situasi tidak resmi (informal) yang sifatnya santai karena kebiasaan dalam pemakaian bahsa. Unsur-unsur bahsa atau variasi-variasi bahsa yang menyisipi di dalam bahsa yang lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, karena unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipi dan secara keseluruhan telah mendukung satu funfsi. Hal ini, merupakan ciri seperti campur kode yang secara lengkap telah diuraikan dalam bab II di atas.
Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh peristiwa bahasa campu kode yang di temukan dalam GY. Data tersebut ialah sebagai berikut.
Data (1) bait ( 1163 )
Tamat den ingsun anulis, dina tiga tanggal selasa, Rabiul Awwal sihesangkala tahun jin awal, lawase sun anurat, tiang dasa dina telu, ring dusun kadiri wetan.
“Selesai olehku menulis hari selasa tanggal tiga, rabiul awal bulannya, tahun sengkala jim awal, lamanya saya menulis tiga puluh tiga hari, di desa kediri timur’’.
Data (2) bait (167 )
Singgihta depunlekasi, dening aksi kafilah, sampolone gustin yang wong, yata binelenggu sira, baginda yusuf ika, den winor ring tuntungipun, lan barang-barang dagangan.
“Seharusnya mereka bertindak, karena dilihatnya kafilah itu telah membawa nabi yusuf kepada junjungannya, kamudian baginda Yusuf diikat dan diatas kepalanya diisi dengan barang-barang dagangan.
Data (3) bait 91164)
Pamutus isung anulis, tatkalaning waktu loha, tiang siknulis ngeremon, ndeg tatahog undng pasang, arak lebih kurang, lueg salag deg patut, batur sing maca maroboh.
“selesai saya menulis ketika waktu zohor, saya yang menulis lebih ada yang kurang, banyak salah (dan) sesuai, (maka ) yang membaca yang memperbaiki”.
Data (4) bait ( 1166)
Moga sapung sig, leg dunia dateng akherat, lan malekat sing luweng, deg mapeng payadunta,dateng hari kiamat, adegnalanggeng tapetegug, Wallahu’alamu Bissawab.
“Semoga direstui oleh Nabi di dunia sampai di akherat, supaya diperkuat kenyakinan kita sampai hari kiamat, agar kenyakinan diperkuat dan Allah yang Maha mengetahui dengan kebenaran”.
Data (5) bait (48)
Nabi Yakub ngrasenget ing, yan luput tumulia, angrasa kabedon dedeyan luput sabda nireki, ika karena atobat tan asrah ing hyang sireku. Pijer mengenting nganan
“nabi Ya’kub ingat akan keceledorannya, lalu beliau bertaubat,beliau merasa bersalah karena telah melupakan sabda Tuhan itu, itulah sebabnya beliau bertaubat (karena) tidak pasrah kepada Tuhan serta selalu ingat akan keadaan (Yusuf)”
Data (6) bait (4)
Lewih abecik mangke ki, saking cerita kang lian, kocep ing jro sastra mangkeana wong kafir ing mekkah, angucap ya Muhammad, sun anggawa tulis ikuujere ande andeika.
“Lebih baik dari cerita yang lain, konon dalam cerita ini ada seorang kafir dari Makkah, Muhammad lalu berkata, aku akan membawa tulisan ini, sebagai suatu pedoman”.
Pada data tersebut,l peristiwa bahasa campur kode terjadi pada saat proses penulisan cerita dalam GY. Seorang penulis menceritakantentang Nabi yusuf di Mesir yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan memperhatikan data tersebut, seorang penulis atau pembicara yang menggunakan Bahasa Jawa Mdya ini menyisipi unsurbahasa yang berupa frase, dan klausa. Bahasa yang menyisipi adalah bahasa Melayu, Bahasa Sasak sebagai unsurbahasa daerah dan bahasa Arab sebagai unsur bahasa asing.
Sesuai dengan apa yang terdapat di dalam data tersebut, apakah hal ini bias dikatakan sebagai peristiwa bahasa campur kode? Untuk itu pertanyaan seperti ini perlu membuktikan secara mendasar dan terperinci dengan menggunakan konsep dan ciri-ciri yang mewarnai peristiwa campur kode. Dengan melihat uraian bab II akan lebih mudah memahami secara mendalam sehingga data di atas dapat dibuktikan kebenarannya.
Gejala atau peristiwa yang ditimbulkan dalam campur kode akibat adanya kontak bahasa antara peranan dan fungsi bahasa. Peranan disini yang dimaksud adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Dengan demikian, segala keinginan dan tujuan yang ingin dipaparkan oleh penulis lewat ucapannya yang dituangkan ke dalam tulisan bisa dicapai. Untuk itu, komunikasi antara penutur dengan pendengar tidak hanya diucapkan secara langsung kepada pendengar, tetapi melalui tulisan si penutur atau penulis bisa mengungkapkan keinginan dan tujuannya.
Penyisipan unsur bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa Madya terjadi pada peristiwa bahasa campur kode yang terdapat dalam GY. Hal ini terlihat dalam naskah dengan menyisipkan unsur bahasa tersebut. Penyisipan unsur bahasa Arab bisa dilihat dalam contoh data (2) bait (167) kafilah, data (5) bait (48) tobat, data (6) bait (94) kafir dan data (4) bait (1166) Wallahu A’lamubissawab. Allah Maha mengetahui dengan kebenaran” Proses pembuktian penyisipan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat melalui ortografis dan fonetisnya.
Bahasa Arab Bahasa Indonesia
-------------------- ------------------------------
-------------------- ------------------------------
Ortografis Fonetis Ortografis Fonetis
[Qafilat] Kafilah [Kapilah]
[Taubat] Tobat [Tobat]
[Kafir] Kafir [Kapir]
Kata kafilah mempunyai arti “yang kelas katanya verbal,” kata taubat mempunyai arti “sadar dan menyesal berbuat dosa” yang kelas katanya adalah verbal dan kata kafir mempunyai arti “orang yang tidak pecaya Allah dan Rasul-Nya” yang kelas katanya nominal. Jika dilihat dari fonetisnya konsonan /p/ dan /f/ hilang dalam kata [qafi-lah] berubah menjadi konsonan /k/ dan /p/ dalam kata [kapilah].vokal /au/ hilang dalam kata [taubat] dan berubah menjadi vocal /o/ dalam kata[tobat]. Sedangkan konsonan /f/ dalam kata [kafir] berubah menjadi konsonan /p/ dalam kata [kafir]. Klausa Wallahu A’lamubissawab “ Allah maha mengetahui segalanya” berdasarkan fungsi menduduki S+P, kategorinya adalah nominal dan verbal, sedangkan maknanya adalah pelaku dan keadaan.
Penyisipan unsurbahasa sasak pada peristiwa campur kodeterdapat dalam data (3) bait (1164) tiang sinulis ngeremon, ndek tataok untuk pasang, arak lebih arak kurang, luek salak ndek patut, “Saya yang menulis tidak karuan, tidak tahu tentang aturan, ada yang lebih ada yang kurang”, data (4) bait (1166) lek dunia dateng akheratluek, adekna teguh penyadunta dateng hari kiamat, adekna langgeng tapeteguk “ Memperkuat kepercayaan sampai hari kiamat, agar kenyakinanta diperkuat”. Penyisipan unsur bahasa Sasak ini keduanya berbentuk klausa, Data (3) terdiri dari dua klausa unsur bahasa Sasak, dan data (4) terdiri dari tiga klausa yaitu dua klausa bahasa Sasak dan satu klausa bahasa Arab:
(1). Data (3) bait (1164)
1) Tiang sinulis ini ngeremon
s p ket
“saya yang menulis tidak karuan”
2) Ndek tatauok untuk pasang arak lebih arak kurang, luek salak
p o ket pel
ndek patut
“tidak mengerti tentang aturan ada yang lebih ada yang kurang banyak yang salah tidak sesuai”.
(2). Data (4) bait (1166)
1) Sik Nabi lek dunia dateng akherat
P ket
“Oleh Nabi di dunia sampai akherat”
2) Adekna teguh penyadunta dateng hari kiamat
P o ket
“supaya diperkuat kepercayaan kita sampai hari kiamat”
3) Wallahu ‘alamubissawab
s p
“Allah Maha mengetahui dengan kebenaran”.
Penyisipan unsurbahasa Melayu dalam data (1) bait (1163) Tamat, tiga tanggal selasa, jika dilihat dari isi menunjukkan kesantaian sipenulis atau pembicara mengingat lamanya penulisan dan tidak terlalu menuntut dirinya harus tahu tentang aturan penulisan. Bentuk penyisipan dalam data (1) yaitu berupa kata tamat, dan frase tiga tanggalselasa.
Kemudian data (3) juga menunjukkan adanya penyisipan bahasa Melayu yang berbentuk frase dan berwujut pengulangan kata. Bentuk penyisian ini dapat dilihat pada data (3) bait (167) barang-barang dagangan.
Jika dilihat secara cermat semua peristiwa bahasa di atas, unsur bahasa daerah (Melayu dan Sasak), maupun bahasa asing (Arab) yang menyisip ke dalam bahasa Jawa Madya yang berupa unsur kata yaitu kafilah, tamat, tobat,dan kafir. Sedangkan unsur frase ditunjukkan oleh tiga tanggal selasa, unsur perulangan ditunjukkan oleh barang-barang dagangan, dan unsur klausa berupa tiang sinulis ngeremon, ndek tatahong unduk pasang,arak lebih arak kurang, luek salak ndek patut batur beserta situasi yang mewarnai peristiwa itu, bias dikatakan dapat memenuhi konsep dan ciri-ciri campur kode. Oleh karena peristiwa bahasa tersebut bias disebut sebagai peristiwa bahasa campur kode, karena telah didukung oleh ciri-ciri campur kode yang sudah ditentukan.
Analisa Campur Kode Berdasarkan Macamnya
Menuruturaian pada Bab II, antara peristiwa bahasa campur kode dan peristiwa bahasa alih kode sudah dipaparkan perbedaan dan persamaannya. Campur kode jika dilihat dari sudut pandang unsur bahasa serapan yang menimbulkan terjadinya campur kode maka rinciannya akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) kode ke dalam (inner code mixing), (2) kode keluar (ueter code mixing), (3) Campur kode campuran (hybrid code mixing). Masing-masing kode ini akan dijelaskan dalam bab.
Campur Kode Ke Dalam (Inner Code Mixing)
Penyerapan unsur-unsur bahasa dalam satu bahasa asli yang masih sekerabat pada saat berkomunikasi dengan pendengar atau pembaca, dengsn mendukung bahasa yang disisipinya, maka peristiwa bahasa ini dikatakan peristiwa bahasa campur kode ke dalam(inner code mixing). Sepeti pemakaian bahasa Indonesia yang tersisipi unsur-unsur bahasa Bali,a bahasa Jawa, bahasa Sasak, bahasa Madura,bahasa Batak,bahasa Sunda, dan lain sebagainya.
Berdasarkan GY yang diperoleh daripenelitian pustaka di pusat pembinaan dan pengembangan bahasa Bali penelitian bahasa Denpasar, di bawah ini akan diuraikan contoh-contoh peristiwa bahasa campur kode. Dalam pemakaian bahasa Jawa Madya dalam geguritan ini disisipi oleh bahasa Melayu dan bahasa Sasak. Lebih jauh bisa dilihat dalam data berikut ini.
(1) Bahasa Sasak
Data (7) bait (1162)
Wus putus cerita ike, baginda Yusuf irenta, den wuruh isenune reko, kedahing cerita ika, den semi engetna, lawasing tulis puniku, puniku sangkalania
“telah’ selesai cerita ini,berita tentang baginda Yusuf, agar diketahui riwayatnya itu serta seluruh ceritanya agar semua bias diingat. Lamanya cerita ini ditulis,inilah tahun sengkalanya.”
Data (8) bait (1)
Hulun iki milu ngawi, cerita , cerita Yusuf ginita marmane sinurat msngko, ginurat ginawe tembang ,tembang asmarandan, kasmaran tengsun angrungu, tutur NabiYusuf ika.
“aku ikut menulis nyayian cerita Yusuf, sebab cerita ini ditulis dan dijadikan tembang asmaranda, (karena) aku tertarek mendengar cerita Nabi Yusuf itu”.
Data (9) bait (427)
Yata mangkana ingundang. Baginda Yusuf mangke dera sang putrid datan pegat . manjing metu, brayan dina nguninga, pangganggenira inraden galuh, risampunira mangkana teki, Baginda Yusuf sireki.
“Setelah itu Baginda Yusuf diundang oleh sang putri setiap hari tanpa henti-hentinya keluar masuk istana (untuk) memberikan pakean dan minuman kepada Raden Galuh,setelah itu Baginda Yusuf”
Data (10) bait (1146)
Pemutus isung,tatkalaning waktu loha,tiang sinulis ngremon ndek tauk unduk pasang, luek sisalak ndek patut, batur simaca merobah.
“Selsai say menulis pada waktu zohor,saya yang menulis tidak karuan tidak mengerti aturan, ada yang lebih ada yang kurang banyak yang salah (dan) tidak sesuai,(maka) yang membaca memperbaiki”.
Data (11) bait (1165)
Penulis aji sinulis,lek allah tangi kuasa jo-ang anuk sik lenge Si Iblis laknat, semoga moga teguk lek agama, jelo malm wruh pulut ngebakti sembah pangeran
”Harapan penulis kepada Allah Yang Maha Kuasajauhkan Sesutu yang jelek dari rencana si Iblis laknat. Semoga teguh dalam agama siang malam cinta kasih (dan) berbakti menyembah pangeran”.
Data (12) bait (448)
Yata melayu sang putrid, angungsi aumah ing kona, ateng keb lawang ta mangko, mangke tan arseng sang nata , tintut dateng lawang, neher malampah melebut, datan winengan sang nata.
“kemudian berlarilah sang putrid menuju rumahnya yang dahulu,selalu menutup pintu dan tidak menutup pintu dan tidak ingin terhadap sang raja sekarang ini, diikuti sampai kepintu bermaksud melangkah masuk tetapi tidak digubrisi beliau sang raja”.
Data (13) bait (448)
Saking desa hajamsteki,dasan kon amace seloka, arip ing berhala reko supaya yen angrungua, ing Rasul angaji Qur’an, yata Jibril rauh, dateng ing nabi Muhammad.
“dari desa Hajam dibacalah seloka tersebut, berharap kepada berhala agar didengarkan Rasul yang membaca Alqur’an, kemudian Jibril mendatangi Nabi Muhammad”.
Data (14) bait (448)
Yata siranut asiram, agenda make marbuk wangi, awia sira salin kampuh, anganggenanggensira, botsakalor pinatik ingmirah murup, plang tekang pungelira, aka kalung emas adi.
“ Kemudian beliau berkenan mandi, kini pemandiannya semerbak wangi, beliau tampak cantek setelah berganti pakean, pakean beliau botsakalor bertahtakan mira menyala yang sangat bagus, sehingga semua bentuk tubuhnya didisi kalung emas muli”.
Berdasarkan peristiwa bahasa campur kode yang terjadi diatas, dalam pemakaian bahasa Jawa Madya terjadi penyisipan unsur-unsur bahasa daerah. Penyisipan bahasa bahasa Sasak dalam data di atas terbentuk kata,frase dan klausa. Hal ini bias dilihat pada data (8) bait (1) milu “ikut”, data (9) bait (427) pegat “putus” yang berupa kata, data (7) bait (1162) sami egetna “semua diingat” berbentuk frase,sedangkan yang berbentuk klausa adalah data (10) bait (1164) tiang sinulis ngremon ndek tataok unduk pasang ,arak lebih arak kurang. Luek ndek patut batur si mac. “Saya yang menulis ini tidak karuan,tidak mengerti tentang aturan,ada yang lebih ada yang kurang,banyak yang salah dan tidak sesuai’. Data (11) bait (1165) penunas aji sinulis lek Allah si tangikuasa juang anuk sik lenge,moga teguk lek agama jero malam. “Harapan penulis kepada Allah yang maha Kuasa menjauhkan sesuatu yang jelek,semoga teguh agama siang dan malam”.
Penyisipan bahasa Melayu terdapat pada data (13) bait (7) supaya, ini merupakan penyisipan yang berbentuk kata,dan data (4) bsit (448) kslung emas berbentuk frase. Unsur-unsur bahasa di atas masih tergolong dalam rumpun bahasa sekerabat sehingga digolongkan dalamcampur kode ke dalam (Inner code-mixing).
Campur Kode Ke Luar (Oueter Code Mixing)
Pemakaian suatu bahasa dalam percampuran suatu bahasa tersebut bersumber dari luar rumpun bahasa Indonesia atau bukan bahasa sekerabat maka peristiwa bahasa tersebut dikatakan sebagai peristiwa campur kode ke luar. Di dalam bab II sudah diuraikan secara jelas mengenai campur kode keluar dimana dikatakan bahwa campur kode ke luar adalah campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asing.
Peristiwa tersebut dapat ditunjukkandengan menampilkan beberapa data peristiwa campur kode dalam GY. Data tersebut adalah sebagai berikut:
Data (15) bait (6)
Pandita setengah angling, atekan ing Rasul ika, angaji Qur’an ta reko,kata sahabat miarsa,ya ta kafir jro Mekkah, amet upaya sireku, angundang majengesaneman.
“pendeta yang satu lagi berkata dan bertanya kepada Rasul itu (tentang) membaca Alqur’an (supaya) semua orang mendengarkannya. Lalu kafir dari mekkah berkeinginan mengundng para pembaca itu”.
Data (16) bait (420)
Saking pramaning Hyang Widi,rauh punag Iblis laknat, ajeneng ing merab mangko, tumuli tad era sapa, sapa siramaring amba, lingirapun Iblis tengsung, apajar ing umurira.
“dari kehendak Hyang Widi datenglah Iblis laknat itu (lalu) beridiri di merab,(iblis) itu kemudian disapa, “Siapakah yang dateng kepada hamba?, katakanlah secepatnya kepadaku serta katakanlah berapa umurnya”.
Data (17) bait(59)
Ya ta paden anglapah ing, magisat sang atapa,tang katuran toya mangko,amangka rapua rare ika, won gang lapah maksiat, nika raten tobat neki, punika puwanaka.
“laulu sang petapa itu mati (karena) berbuat naksiat, (dan) tidak diberikan air kepadanya supaya (dia) menderita, orang yang berbuat maksiat seharusnya bertaubat, itulah yang harus diutamakan”.
Data (18) bait (103)
Inkana amba nirasa, warta saking wayan tuan, sabda Nabi Ibrahim reko, wong linyok agung dosania, wong angadu-adu ika,amiren,baginda yusuf,cerita ing macam ika.
“ketika dulu hamba mendengar berita dari kakek tuan,Nabi Ibrahim mengatakan, orang yang berkata bohong besar dosanya, (demikian juga) orang yang suka mengadu-adu itu, Ya’kuf mendengarkan cerita macam itu”.
Data (19) bait (715)
Amba umarek ing ratu punika ambakta,dagangan bapasinggih, muah aturruruba, bakta suplan salat, sumanira ki, panguran inguang, tan arsa winalesih.
“hamba menghadap raja itu sambil membawa dagangan ayahanda, serta menghaturkan selimut serta serta membawa seplan sholat, dijawab oleh ayahnya ini, sependengaranku tidak mau dibalas kebaikannya itu.
Dari data di atas peristiwa campur kode yang terjadi merupakan penyisipan unsur-unsur bahasa asing (Arab) ke dalam bahasa jawa Madya, peristiwa campur kode pada data (15) qur’andan kafir, data (16) Iblis laknat, data (17) maksiat,tobat data (18) sabda dan data (19) sholat. Di atas semua menunjukkan penyisipan unsur-unsur bahasa yang berupa kata dan frase, penyisipan berupa kata seperti Qur’an, kafir, maksiat, tobat, sabda, dan sholat sedangkan berupa prase adalah iblis,laknat. Semuanya digunakan dalam istilah agama secara keseluruhan kata-kata tersebut mendukung konteks bahasa yang disisipi bahkan telah lepas dari konteks bahasa sebenarnya, sehingga unsur-unsur bahasa asing tersebut dapat memberi kesatuan makna dan secara kontekstual dapat dipahami oleh pendengar atau pembaca.
Kosa kata bahasa Arab yang menyisipi bahasa Jawa Madya ini merupakan kosa kata yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan sudah dibakukan. Kosa kata seperti Qur’an, kafir,maksiat, tobat, sabda,sholat san iblis laknat pada dasarnya kosa kata ini berasal dari bahasa Arab.dari dat campur kode pemakaian bahasa di atas, dapat kita simpulkan bahwa bahasa Arab merupakan sumber dari ajaran agama Islam yang pemakaian bahasanya banyak dihubungkan dengan agama khususnya agama Islam. Seperti dalam data di atas yang isinya mengisahkan tentang Nabi Yusuf di Mesir. Dengan latar belakang penutur beragama Islam maka tidak menutup kemungkinan peristiwa campur kode dalam GY ini banyak disisipi unsurbahasa Arab disebut campur kode keluar (cauter code mixing)
Campur Kode Campuran (Hybrid Code Mixing)
Campur kode campuran (Hybrid Code Mixing) merupakan gabungan dari campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode keluar (cauter code mixing). Dikatakan campur kode campuran karena campur kode campuran telah mengandung dua pembagian unsurcampur kode yaitu campur kode ke dalam dan campur kode keluar. Jadi campur kode campuran dapat berupa klausa atau kalimat yang diungkapkan dalam suatu peristiwa aaaaabahasa yang berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing yang diungkapkan oleh penutur.
Dalam hal ini diberikan beberapa data peristiwa bahasa campur kode campuran (Hybrid Code Mixing) dalam bahasa (Sasak) dan bahasa asing (Arab) data bahasa itu adalah sebagai berikut.
Data (20) bait (1159)
Keraning paksa angawi, anrengah sabda Hiang Sukma, siang angrengah maca kabeh, anak nugrahan sakin Yan, sami lan maca Qur’an,luputing duka cipta,priatining nala.
“yang menyebabkan berkeinginan mengarang, karena mendengar sabda Tuhan, setiap yang mendengarkan dan membaca, semuanya adalah karena anugrah dari Tuhan, semuanya dengan membaca Qur’an agar terlepas dari kedudukan pikiran dan keperihatinandi dalam hati menjadi hilang”.
Data (21) bait (95)
Mangkan malik sireki ing hari kiamat ika anglakon niaya reko, maksiat ilingin atingkah, tingkonata sira,tan ana ngaku lakunikun , anggawe maksiat.
“demikian pula mereka pada hari kiamat, jika melakukan perbuatan maksiat (maka) teringatlah akan perilaku mereka itu, (maka) tidak akan diakuinya tentang perbuatan mereka itu, tidak akan diakuinya jika berbuat tenatng perbuatan mereka itu, (maka) tidak akan diakuinya jika berbuat maksiat”.
Data (22) bait (1118)
Anangis mangkenrepati, mua saprasantira, sampuning mangkana reko, pana lami mangke sira, aneng betel mukdas, yataganu Nabi ya’kuf, ainggu dera sangnata.
“baginda raja kini menangis,demikian juga saudara-saudara beliau tidak berapa lama telah berada di Batel Mukdas lalu Nabi Ya’kuf sakit yang dijaga oleh baginda raja”.
Data (23) bait (1166)
Moga sapuging sink Nabi, lek dunia dateng akherat, adek nalangeng tapeteguh,Wallahua’lamu Bissawab.
“semoga direstui oleh Nabi di dunia sampai akherat, supaya diperkuat kepercayaan kita sampai hari kiamat, agar kenyakinan kita diperkuat, dan Allah yang Maha mengetahui dengan kebenaran”.
Apabila diperhatikan unsur-unsur serapan dalam data di atas,yaitu (20) bait (1159) kata maca Qur’an, data (21) bait (95) hari kiamat, data (22) bait (1118) kata aneng Betel Mukdas, dan data (23) bait (1166) luek,adek nampetegug penyadunta, dateng hari kiamat, adekna langeng tapeteguh, Wallahu a’lamu Bissawab “agar memperkuat kepercayaan sampai hari kiamat,agar keyakian dierkuat, dan Allah yang Maha mengetahui dengan kebenaran”, yaitu unsuryang dapat mendukung kesatuan makna dalam kalimat.unsur-unsur tersebut merupakan tataran frase dan klausa yang dibentuk oleh bahasa Sasak, bahasa Melayu dan bahasa asing (Arab). Unsurbahasa Sasaknya yaitu ‘aning’ “berada di atau pergi ke”, maca “membaca” dan luek,adek napeteguk penyaduntadateng hari kiamat, adekna langgeng tapeteguk, “Agar memperkuat keyakiananta sampai hari kiamat, agar keyakian diperkuat”, unsurbahasa Melayu adalah hari, unsurbahasa Aranya yaitu Qur’qn “Kitab agama Islam” ,Baitul Makdis “suatu daerah di Arab”, dan Wallahua’lamu Bissawab” Allah yang Maha mengetahui dengan kebenarannya”.
Dengan adanya unsurbahasa daerah dan unsurbahasa asing yang menyisipi dalam sebuah pemakaian bahasa,seperti data yang terdapat pada data di atas, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai campur kode campuran (hyibrid code mixing).
Analisis Campur Kode Menurut Wujudnya
Campur Kode Dengan Penyisipan Unsur-unsur Yang Berwujud Kata
Dalam wujut ini,penyisipan unsur-unsur bahasa lain dalam peristiwa bahasa campur kode terjadi dalam wujut kata. Lebih jauh lagi,wujut kata dapat diuraikan lagi berupa bentuk kata tunggal dan dalam bentuk kata kompleks.
Satuan grametikal yang tidak terdiri dari satuan yang lebih kecil dapat dikatakan sebagai wujut kata tunggal. Di bawah ini akan diberikan beberapa data peristiwa bahasa campur kode dalam GY yang berwujud kata tunggal dan kata kompleks.
Data (24) bait (171)
Muah tam ala Hyang Widi, kang mulaning ing iman, tana ngamulen reko, ing nira reki Hyang sukma,mangkana reketa sira, tun mulen ing Nabi Yusuf, winorong angeg dagangan.
“demikian juga Hyang Widi yang sangat memuliakan iman . Hyiang Widi tidak akan memuliakan mereka yang membebani Yusuf dengan barang dagangan.
Data (25) bait (48)
Nabi ya’kub ngrasengat ing, yan luput tumulia tobat,angrasa kebedon dede, yang luput sabda nireki, ika krena atobat, tan asrah ing Hyang sireku,pijer mengeting nganan.
“nabi Ya’kub ingat akan keceledorannya,lalu beliau bertaubat. Beliau merasa bersalah karena telah melpakan Sabda Tuhan serta selalu ingat akan keadaan (Yusuf)”.
Data (26) bait (427)
Ya ta mangkan ingundang, baginda yusuf mangka dera sang putrid, tan pegat manjing metu, berayan dina nguninga,pangan pangganggenira ing raden galuh ri sampunira teki,baginda Yusuf sireki.
“setelah itu baginda Yusuf diundang oleh sang putrid, tanpa henti-hentinya keluar masuk istana (untuk) meberikan pakaian dan makanan kepada Raden Galuh, setelah itu baginda yusuf”.
Data (27) bait (435)
Tan sang manis ing wedana,ketingalan yan tumungkul ing bumi, katoh ta baginda Yusuf ing lemah, yan tumenga ing latra lintang canraku, katon tulis ing Baginda, Yusuf denira sang puti.
“tidak kalah manis mukanya jika sedang menunduk ke bumi bagaikan disiang hari. Kalau melihat potret baginda Yusuf ketika dilihat oleh sang putrid”.
Data (28) bait (5)
Tumulia rauh jibrail, dateng ing Nabi Muhammad,mawa surat yusuf mangko, dateng ing Nabi Muhammad, salamira Hyang sukma, punika asurat Yusuf,ngrahan ing Hyang maring tuan.
“jibril dateng ke Nabi Muhammad membawa cerita Yusuf yang diberitakan oleh Tuhan kepada tuan”.
Data (29) bait (12)
Itu tan kocapa lanareki, Nabi Rasul ing potraka, uang putranira mangko, tanko ningeha dening nguan, laranireng atmaja, wenten gentianing Yusuf, Baginda Yusuf Kocapa.
“Tidak diceritakan kesdihan Nabi dan rasul terhadap cucunya dan anaknya, serta tidak terdengar olehku penderitaan Nabi Rasul itu terhadapanaknya (maka) ada pergantian (cerita) dari Yusuf,kini diceritakan (tentang)baginda Yusuf”.
Data (30) bait (170)
Mangkana sang wisyeki,angambil tan pemulia,dening ayun ngambil reko, kang mulia ing jro tan mulia, mangkana malih ketia, sakueh wisyayengpunikau, Yogya wistara ing kertia.
“demikian keinginan ini (akan) mengambil tanpa memuliakan, karena ingin mengambil yang milia dari ketidak muliaan. Demikian pula perbuatan, semua keinginan it sebenarnya tanpak perbuatan baik”.
Data (31) bait (474)
Linareh deh asruh dahat, wawalese ing wong arsa tan yukti, wikan sire Nabi Yusuf, semunira sang nata, yen dtaeng sira andika sang prabu, ana anake ia, yan Yusuf areftan yukti.
“katakanlah dengan keras hukuman terhadap orang yang ingin berbuat tidak benar ‘Nabi Yusf sadar ketika melihat wajah sang raja, karma ketika sang raja dateng, beliau mengetahui kalau Yusuf ingin berbuat tidak baik”.
Dari semua data di atas,merupakan peristiwa bahasa campur kode yang disisipi oleh unsur-unsur yang berwujud kata yang berasal dari kata Melayu, bahasa Sasak, dan bahasa arab. Adapun bentuk bahasa yang menyisipi GY di atas,seperti dalam kata tunggal yaitu iman pada data (240) kata taubat,sabdapada data (25) kata pegat (putus-putus/henti-henti) pada data (26) kata manis,lemahpada data (27),data dateng pada data (28). Kata kompleks yang menyisipi adalah gentian pada data (29) kata angambil pada data (30), dan kata datengi pada data (31) data di atas seluruhnya menunjukan penyisipan unsuryang berwujut kata baik itu kata tunggal dan kata kompleks.
Campur Kode Dengan Penyisipan Unsur-unsur Yang Berwujud Perulangan Kata
Perulangan atau reduplikasi merupakan perulangan bentuk atas suatu bentuk dasar. Dalam campur kode,wujut ini akan lebih jelas pemahamannya jika ditampilkan dalam sebuah contoh data tentang penyisipan unsur-unsur bahasa yang berwujut tentang perulangan kata. Adapun contoh datanya sebagai berikut:
Data (32) bait (167)
Singgih ta depunlekasi,dening aksi kafilah, sampalone gustin Hyang Wong, yata binlenggu sire, Baginda Yusuf ika, den winor ring tutuntungipung, lan barang-barang dagangan.
“seharusnya mereka segera bertindak, karena dilihatnya kafilah itu telah membawa Nabi Yusuf kejunjungannya,kemudian baginda Nabi Yusuf diikat, dan di atas kepalanya diisi dengan barang-barang dagangan”.
Data (33) bait (489)
Muah satingkah parisolah,jatmika lan ayunira sang putrid, ya ta dinauhan sampun, mangke kang dadahan, awarna-warna luaran mangke sampun, kilinarehan srebat warna,muang sedah who ganda sari.
“demikian pula tentang tingkah laku sang putri sang cantek, para pelayan kini dipanggil, bermacam-macam kini makanan dikeluarkan, demikian juga air beraneka warna, sirih, buah serta bunga yang wangi”.
Kalau dilihat secara cermat data di atas, pemakaian bahasa Jawa Madya dalam GY,disisipi oleh unsur-unsur bahasa yang berwujut perulangan kata. Hal ini dapat ditujukkan dalam data (32) bait (167) awarna-awarna yang mempunyai arti yang bermacam-macam. Kata dasarnya adalah warna, mendapatkan awalan /A/ maka, pengulangan ini merupakan pengulangan sebagian dengan kata dasar bentuk komplks yaitu awarna menjadi awarna-awarna “Bermacam-macam”. Barang-barang dagangan pada data data (33) bait (489) merupakan sebuah frase yang berbentuk kata ulang. Bentuk kata perulangannya adalah perulangan seluruh kata dasar tanpa variasi fonem dan aflikasi yaitu barang-barang. Maka campur kode ini dapat disebut sebagai campu kode dalam wujud perulangan kata.
Campur Kode Dengan Penyisipan Unsur-Unsur Yang Berwujud Baster (Hibrid)
Penyisipan unsur-unsur yang berwujudkan baster merupakan peristiwa bahasa campur kode yang merupakan pembentukan dengan bentuk dasar bahasa Indonesia dengan afiks-afiks dari bahasa daerah atau asing dapat dikatakan sebagai bentuk baster (wetnrsich,1953. dalam Swito,1983:56 ). Bentuk ini dapat dikatakan juga sebagai berikut.
Data (38) bait (658)
ketigane ingaku mitra dening nguang, make sang raja putrid, kapadenansira, angrengah ing kang sabda, kalih sukur ring Hyang Widhi,leher amaca, tasbeh muang Hyang Widhi.
“ketiganya merupakan sanak pamili dariku, sekarang sang raja terkejut mendengar isi sabda itu dan bersukur kepada sang Hyang Widhi lalu membaca tasbeh kepada sang Hyang Widhi”.
Data (39) bait (673)
Ganep pitung tahun sira kangdadia, punang sesawahaning riki, ya ta akenkenan, nepureng desa lain, akueh antuk ing bras pari, kinendenira,srinata sireng Mesir.
“kini telah genap tujuh tahun beliau telah menjadikan tanah persawahan yang didapat dengan mengalahkan desa lain sebanyak dengan menggunakan beras dan padi yang dikendalikan oleh baginda raja Mesir”.
Data (40) bait (697)
Sankamilini sira ing dunia akherat, mapan saking sih mamiangkaten dening nguang, derajat ikaula, ing dunia akherat, yen tan anglapah, ing dunia nestapeiki.
“aku memuliakan engkau di dunia akherat, karena aku merasa kasih kepadamu, angkatlah olehnu derajat para hamba yang ada di dunia akherat sekarang ini, jika tidak segera dilaksanakan di dunia nestapa ini”.
Data (41) bait (713)
Ucapan yang sebat saking kanan,sami matur putrike,amiraseng, sapa pahanireki bapa, Nabi Ya’kub mangkengling, ana malintang, akarteng bapa.
“katakanlah kalau kau itu adalah sahabatnya dari kanan, semua anaknya ini lalu menyembah ketika mendengar nasehat yang ayahnya, Nabi Ya’kub kini berkata lagi, ada yang lewat dan menceritakan kepada ayah ketika dahulu”
Sesuai dengan data di atas, unsur-unsur penyisipan yang berupa betuk baster atau serapan campuran ditujukkan dalam data ((38)bait (658) ketigane, data (39) bait (673) sesawahan, data (697)angkaten, dan data (41) bait (713) ucapan. Bentuk dasarnya adalah tiga,sawah, angkatdan ucap yang semuanya berasal dari bahasa Melayu. Sedangkan afiks ke-ne-, se-an,en, berasal dari bahasa Jawa dan afiks –naberasal dari bahasa Sasak. Untuk itu bentuk campuan ini disebut bentuk serapan campur (loanbleand) atau betuk baster (hybrid) karena terbentuk dari kata dasar Melayu dengan afiks-afiks bahasa Jawa dan bahasa Sasak.
Campur Kode Dengan Penyisipan Unsur-unsur Yang Berwujud Frase
Dalam wujut ini, unsur-unsur bahasa yang menyisipi dapat berbentuk frase. Unsurklausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan satuan grametikal yang disebut frase. Jadi pengertian frase adalah satuan grametikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas batas fungsi unsur-unsur klausa (Ramlan,1987:151).
Untuk lebih memahami wujud peristiwa campur kode ini, lebih jauh akan diuraikan contoh-contoh data peristiwa bahasa yang menyisipi unsur-unsur bahasa yang berwujud frase. Contoh data itu sebagai berikut:
Data (34) bait (82)
Ya ta sami mantu teki,tekeng ummah waktu isa, mulia sami marek mangko, raug sireng ramanira, pada anangis alara, apajar Baginda yusuf, pinangan ing asu alas.
“lalu semua saudarnya itu pulang, (ketika) waktu isa tibalah (mereka) di rumah, lalu semuanya menghadap kepada ayah mereka seraya menangis (dan) mengatakan Baginda Yusuf telah dimakan oleh srigala”.
Data (35) bait (95)
Makana malih sireki, ing hari kiamat, anglakon niaya reko, maksiat iling ing atingkah, tinakona ta sira, tan ana ngaku lakunipu,lamon anggawe maksiat.
“demikian pula mereka pada hari kiamat,jika melakukan perbuatan maksiat (maka) teringatlah akan perilaku mereka itu, walaupun mereka ditanyai tentang perbuatan mereka sendiri, (maka) tidak akan diakuinya jika berbuat maksiat”.
Data (36) bait (512)
Sakueh Nabi ning Hyang Sukma, dinuman ilmumangkeki, soang-soang ilmu niang wong, Nabi Nuh sinungan teki, sarekat de Hyang teki, Baginda Ibrahim sinung, ilmu batin ing Hyang manon, angrasa ala muni ling Nabi Musa sinungan ilmu munaja.
“semua Nabi dari Tuhan diberi ilmu, masing-masing ilmu setiap orang, Nabi Nuh juga diberi ilmu oleh Tuhan, Baginda Ibrahim diberi ilmu oleh Tuhan (sehingga) dapat meraskan dari setiap ucapan, Nabi Musa diberi ilmu munajab”.
Data (37) bait (631)
Ya ta melayu sang putrid, angsi ummah ing kuna, atengkep lawang tamangko,mangke tan arseng sang nata, tinuntut dateng lawang, neher mampah melebu, daten winengan sang nata.
“kemudian berlarilah sang putri menuju rumahnya yang dahulu, lalu menutup pintu dan tidak ingin terhadap sang raja sekarang ini, diikuti sampai pintubermaksud melangkah masuk tetapi tidak dihiraukan beliau sang raja”.
Dari data di atas unsur yang berupa frase ayng menyisipi unsur bahasa Jawa Madya tersebut berasal dari bahasa Melayu, bahasa Sasak dan bahasa Arab. Frase waktu isa, harikiamat, ilmu batin, dan ilmu munajat merupakan frase yang berasal dari bahasa Melayu dan bahasa Arab, sedangkan frase datng lawang merupakan frase yang berasal dari bahasa Sasak.
Salah satu ciri bahasa campur kode adalah mendukung dan menyatu dengan bahasa yang disisipi. Jika dihubungkan dengan ciri itu, maka data di atas telah memiliki tuntutan ciri tersebut.
Analisis Campur Kode menurut Faktor Penyebabnya
Sesuai penjelasan pada Bab II, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor penutur dan faktor bahasa. Faktor-faktor penyebab ini akan dijelaskan dengan data-data campur kode secara terperinci di bawah ini.
Faktor Penutur
Apabila seorang penutur berlatar belakang bahasa ibu yaitu bahasa daerah (Sasak) yang memiliki kadar kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa tersebut, jika penutur tersebut berbicara dalam bahasa Jawa Madya, maka akan terjadi campur kode karena bahasa tersebut sering disisipi dengan unsur-unsur bahasa Sasak. Hal ini bisa juga terjadi karena penutur kurang menguasai bahasa Jawa Madya dengan baik, sehingga terjadi campur kode.
Dengan pemakaian bahasa, si penutur akan memberi petunjuk identifikasi, karena penutur seolah-olah memperkenalkan diri walaupun belum menyebut identitasnya tetapi lewat bahasa orang bisa menduga apakah dia seorang terpelajar, lapisan masyarakat atas, petani, agamawan, dan sebagainya.
Di bawah ini akan diuraikan data peristiwa campur kode yang membuktikan bahwa dengan pemakaian bahasa dapat menunjukkan peranan penutur yang ditentukan oleh sikap sosial maupun tingkat pendidikan.
Data (79) bait (1165)
Panunas aji si nulis, leg Allah tangi kuasa, jauang anung si lenge, renancane si iblis laknat, moga tegug leg agama, iro malem wruh pulut, ngabakti sembuh pangeran.
“Harapan penulis kepada Allah Yang Maha Kuasa jauhkan sesuatu yang jelek dari rencana si iblis laknat. Semoga teguh akan agama, siang malam ingat cinta kasih (dan) berbakti menyembah pangeran”
Data (80) bait (1166)
Moga sapugig sig nabi, leg dunia dateng akherat, lan malekat sing luweg, adeg mapegug panyadunta, dateng hari kiamat, adeg nalanggeng tepetegug, wallahu alamu biasawab.
“Semoga direstui oleh nabi di dunia sampai di akhirat, supaya diperkuat kepercayaan kita sampai hari kiamat, agar keyakinan diperkuat, dan Allah yang Maha mengetahui dengan kebenaran”
Data (81) pada awal naskah
Bismillahirrahmanirrahim
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang”
Data (79) baid (1165), data (80) bait (1168) di atas, jika dilihat dari macamnya peristiwa bahasa campur kode dapat digolongkan pada campur kode campuran karena memakai bahasa Sasak dan bahasa Arab. Sedangkan data (81) pada awal naskah tergolong dalam campur kode ke luar karena menggunakan bahasa Arab.
Dilihat dari faktor penyebab terjadinya campur kode, maka penggunaan unsur sisipan dari bahasa Sasak dan bahasa (asing) Arab akan dapat menunjukkan peranan penutur dalam status sosialnya. Hal ini bisa dilihat dalam penggunaan kata Bismillahirrahmanirrahimyang merupakan unsur dari bahasa Arab yang ada dalam al-Qur’an. Si penutur adalah orang yang mengerti tentang agama khususnya agama Islam. Ini berarti penutur atau penulis adalah orang agamawan. Demikian juga pada kata wallahu alamu bisawab, menunjukkan bahwa penutur mengerti tentang bahasa Arab dan Al-Qur’an. Jika dilihat dari penggunaan bahasa Sasak penuturnya memiliki loyalitas terhadap bahasa daerahnya, hal ini bisa dilihat dalam data di atas.
Faktor Bahasa
Karena ingin mencapai tujuannya yang lebih cepat dan tepat, maka penutur dalam pemakaian bahasanya sering terjadi campur kode. Faktor bahasa ini ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur yang akan menempatkan penutur pada status sosialnya. Dalam pemakaian bahasa, hal ini dipakai dengan jalan menjelaskan kata-katanya dengan bahasa daerah, setelah terlebih dahulu ia memakai bahasa Indonesia atau bahasa asing. Adapun contoh data dapat dilihat di bawah ini.
Data (82) bait (1166)
Moga sapugig sig nabi, leg dunia dateng akherat, lan malekat sing luweg, adeg mapegug panyadunta, dateng hari kaiamat, adeg nalanggeng tepetegug, wallahu alamu bisawab
“Semoga direstui oleh nabi di dunia sampai di akhirat, supaya diperkuat kepercayaan kita sampai hari kiamat, agar keyakinan diperkuat, dan Allah yang Maha mengetahui dengan kebenaran”
Data di atas menunjukkan bahwa penutur menjelaskan dengan menggunakan bahasa Sasak kemudian diperjelas dengan bahasa Arab. Bahasa Sasaknya adeg mapegug panyadunta, dateng, adeg nalanggeng tepetegug, dan bahasa Arabnya adalah wallahu alamu bisawab. Faktor ragam ini ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur yang akan menempatkan penutur tersebut pada status sosialnya. Berdasarkan data di atas, unsur-unsur bahasa lain yaitu bahasa Arab yang menyisipi bahasa Jawa Madya seperti wallahu alamu bisawab menunjukkan bahwa penutur memberikan ciri-ciri tersendiri pada dirinya bahwa dia adalah orang terpelajar dan agamawan.
Dengan memperhatikan ragam dan gaya bahasa yang digunakan melalui sikap dan kebiasaannya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hadirnya peristiwa bahasa campur kode. Artinya apabila seorang penutur sudah bisa menggunakan bahasa daerah maka akan terjadi campur kode ke dalam, sebaliknya apabila seorang penutur sudah biasa menggunakan bahasa asing maka akan terjadi campur kode ke luar.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN-SARAN
5.1 Simpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarek beberapa kesimpulan. Disamping simpulan juga disampaikan beberapa saran-saran yang menyangkut permasalahan di atas.
Campur kode terjadi akibat adanya kontak bahasa antara peranan dan fungsi kebahasaan di dalam masyarakat dwi bahasa. Seperti dalam peristiwa bahasa campur kode dalam GY yaitu penggunaan bahasa Jawa Madya pada saat penulis bercerita maka terjadilah campur kode.
Peristiwa bahasa campur kode dalam GY mempunyai ciri-ciri bahasa yang menyisipi telah meninggalkan bahasa yang sebenarnya yang telah menyatu dan mendukung fungsi bahasa yang disisipi baik itu unsur bahasa daerah ataupun bahasa asing. Unsur bahasa daerah adalah bahasa Sasak, melayu, dan unsur bahasa asing (Arab).
Dilihat dalam macamnya bahasa campur kode dalam GY dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: (1) campur kode ke dalam (inner kode mixing), sebab campur kode ini terjadi karma adanya penyisipan dari bahasa yang serumpun atau sekerabat seperti bahasasa Sasak dan bahasa Melayu. (2) campur kode keluar (outer code mixing), karena adanya penyisipan dari bahasa asing yaitu bahasa Arab. (3) campur kode campuran (hybrid kode mixing), karena adanya penyisipan dari bahasa daerah dan bahasa asing yaitu bahasa Sasak, Melayu dan bahasa Arab.
Wujud campur kode yang ditentukan dalam GY di atas adalah sebagai berikut: (1) campur kode dengan penyisipan unsur-unsur yang berwujut kata, unsur ini adalah unsur yang paling banyak ditemukan di dalam analisis ini. (2) campur kode dengan penyisipan unsur-unsur yang berbentuk baster (hybrid). (3) campur kode dengan penyisipan unsur-unsur yang berwujut frase. (4) campur kode dengan penyisipan unsur-unsur yang berwujut klausa. Tataran kata adalah tataran terendah yang menyisipi, sedangkan tataran klausa adalah bentuk tataran yang tinggi yang menyisipi peristiwa bahasa dalam GY di atas
Penyisipan unsur-unsur bahasa daerah lebih banyanyak bila dibandingkan dengan penyisipan unsur dari penyisipan bahasa asing. Bahasa daerah dalam hal ini bahasa Melayu lebih banyak penyisipannya dibandingkan dengan bahasa Sasak. Sedangkan bahasa asing (baha Arab) karena cerita GY bercerita tentang Nabi Yusuf yang ada di daerah Arab sendiri.
Berdasarkan analisis faktor penyebab terjadinya campur kode dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor penutur dan faktor bahasa. Penutur mempunyai latar belakang bahasa ibu adalah bahasa Sasak yang kadar kesetiaannya sangat tinggi. Disamping karena latar belakang bahasa ibu, campur kode terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa Jawa Madya. Peristiwa bahasa campur kode dapat membuktikan bahwa dengan pemakaian bahasa dapat menunjukkan peranan penutur yang ditentukan oleh sikap sosial maupun sikap pendidikan.
Penyisipan unsur-unsur bahasa asing (Arab) dalam data gy bias menunjukan bahwa penutur memberi ciri-ciri tersendiri pada penutur. Sikap dan kebiasaan dalam menggunakan bahasa juga sangat berpengaruh dalam campur kode.
5.2 Saran-Saran
Dalam rangka pengembangan dan kemajuan bahasa Indonesia, peran bahasa darah sangat penting karena itu, penelitian dalam bidang sosiolinguistik hususnya menyangkut tentang bahasa daerah dipandang perlu dapat perhatian secara baik dan husus guna mengugah para peneliti berikutnya untuk mengadakan penelitian berikutnya . disamping itu, peneliti juga melihat masih banyak naskah-naskah lama belum pernah tergarap. Hal ini juga perlu mendapat perhatian kita sebagai seorang peneliti. Bertolak dari hal itu ,maka pada kesempatan ini penulis menyarankanyaitu:
1) Bahasa daerah perlu mendapat pembinaan,pengembangan, dan pelestarian dengan jalan mengadakan inventarisasi dan penelitian.
2) Naskah-naskah lama juga perlu mendapat perhatian mengingat banyaknya naskah yang masih belum diteliti.
3) Peneliti juga berharapagar mampu mengadakan seleksi, mana diantara unsur-unsur bahasa tersebut yang dapat merugikan dan menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia.
Penelitian mengenai “Campur Kode dalam Geguritan Yusuf” telah tersusun seperti di atas, mengenai kurangnya kemampuan peneliti baik itu dalam pengumpulan data dan dalam analisisnya, tentu masih banyak hal-hal yang terlewatkan.karena itu, saran-saran perbaikan dari pembaca sangatlah diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan buku ini.
No comments:
Post a Comment