Thursday, April 17, 2008

The Journal of Economic Theory

Antoni Calvó-Armengol

Antoni ("Toni") Calvó-Armengol passed away on November 3, 2007 at the age of 37.

Economics has not only lost a wonderful and energetic person, but also a gifted theorist.

Toni made important contributions on several subjects, and in a short time had become one of the leading theorists of his generation. Some of the highlights include Toni's work on social networks in labor markets. That work showed how patterns of employment and wages that were not well-understood with existing models could be explained when one takes into account the sharing of job information through networks. He also developed a simple but elegant network model of criminal behavior and other interactions that involve local network complementarities. The model provides an elegant connection between behavior and the centrality of players in the network, showing how the influence of players on equilibrium play can be accounted for with existing measures of how central a player is. Toni's research was wide-ranging, and even explored his Andorran roots. In one paper, he showed how a mutual fire insurance scheme, called "La Crema," used in the rural farm communities of Andorra could be understood as an efficient mechanism for sharing risk.

Toni's deep passion for economics and for life will be sorely missed.

Selected Publications:

Antonio Cabrales, Antoni Calvo-Armengol, and Matthew O. Jackson (2003) "La Crema: Fire Insurance in a Village Economy of Modern Day Europe," Journal of Political Economy, vol. 111, no. 2, pp 425-458.

Antoni Calvo-Armengol and Matthew O. Jackson (2004) "The Effects of Social Networks on Employment and Inequality," American Economic Review, Vol. 94, No. 3, 426-454.

Antoni Calvo-Armengol (2004) "Job Contact Networks," Journal of Economic Theory, 115, 191-206.

Caralio Ballester., Antoni Calvo-Armengol, and Yves Zenou (2006) "Who's Who in Networks: Wanted the Key Player," Econometrica, Vol. 74, No. 5, 1403-1417.

Antoni Calvo-Armengol and Matthew O. Jackson (2007) "Networks in Labor Markets: Wage Dynamics and Inequality," Journal of Economic Theory, Vol. 132, No. 1, 27-46.

Gender dalam Keluarga

1. Pada 5 tahun pertama dalam kehidupan seorang anak, pembentukan identitas gender menjadi sangat penting karena tahap itu adalah tahap ketika seorang anak akan mengolah informasi yang didapatnya dengan optimal dan merubahnya menjadi debuah skema yang akan diterapkan dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Pembentukan gender yang dimaksud adalah pembentukan gender sesuai dengan kebudayaan dimana anak tersebut tinggal. Hal tersebut perlu dilakukan agar anak tersebut kelak dapat diterima di lingkungannya dengan baik. Namun, dalam proses sosialisasi peran gender tersebut, perlu pula ditekankan bahwa gender bukan merupakan kodrat yang mutlak tidak dapat diubah, gender adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Sewaktu kecil, seingat saya, saya tidak merasa harus menjadi feminin hanya karena saya adalah seorang anak perempuan. Saya pun tidak merasa saya harus maskulin. Saya merasa tidak terbebani dengan maskulinitas dan feminitas. Saya harus berbuat benar karena memang itulah yang harus dilakukan oleh seorang anak, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan. Saya boleh menangis ketika kesakitan atau bersedih, namun tentunya dalam batasan wajar, tidak terlalu lama dan berlebihan. Saya bisa bermain apa saja tanpa pengecualian. Saya bebas mencita-citakan profesi apapun yang saya inginkan. Saya dapat bermain dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin teman bermain saya.

Setalah semakin dewasa tentunya saya melihat, merekam, dan memahami berbagai pengalaman yang saya dapat sendiri maupun dari orang lain mengenai gender. Hal tersebut semakin meyakinkan saya bahwa sejak kecil memang saya tidak hidup di lingkungan yang bias gender, sehingga membuat saya bisa menjadi orang yang tidak bias gender dalam hidup. Kalaupun sekarang saya merasa saya cenderung dominan feminin, itu bukan karena lingkungan saya yang mengharuskan, namun karena saya yang memilihnya. Dan tingginya feminitas saya tidak membuat saya tidak berusaha konform dengan maskulintas. Saya masih berkeyakinan bahwa menjadi mandiri, tegas, berani dan memiliki kemampuan itu penting. Saya pun merasa bahwa hal itu akan membawa keuntungan bagi saya selama saya dapan mengkombinasikan feminitas dan maskulinitas saya dengan baik sesuai dengan porsinya.

2. Berdasarkan pengamatan saya, dalam masyarakat Indonesia sudah terlihat adanya gejala kohabitasi. Hal ini dapat kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi yang dengan terang-terangan menayangkan kehidupan para artis yang tinggal serumah tanpa menikah, dan bahkan dengan bangga mengatakan mereka mempunyai anak di luar pernikahan. Misalnya, sebut saja artis bernama Andy Soraya yang tinggal serumah dengan Steve Immanuel tanpa menikah. Mereka bahkan juga mempunyai seorang anak hasil hubungan mereka. Mereka bahkan mengaku tidak akan menikah karena menurut mereka pernikahan hanya akan membawa mereka ke dalam situasi yang sifatnya mengekang dan hal itu tentu tidak menyenangkan bagi mereka. Mereka berkeyakinan bahwa mereka akan lebih bahagia jika mereka bisa saling memberi tanpa perlu adanya pengorbanan.

Contoh lain, misalnya kehidupan mahasiswa di kampus-kampus tertentu. Laki-laki dan perempuan tinggal dalam satu kamar kost. Di kampus-kampus tertentu hal ini sudah menjadi rahasia umum. Mereka tidak merasa membutuhkan suatu komitmen lebih lanjut, dalam hal ini pernikahan, karena tanpa komitmen itu pun mereka bisa hidup senang tanpa memikirkan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.

Dalam kohabitasi yang terjadi pada contoh-contoh kasus di atas, perilaku gender memang tidak terlalu terkesan kaku. Pasangan-pasangan tersebut tidak begitu mempersoalkan perbedaan peran antara mereka sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam artian, mereka dapat saja dengan mudah bertukar peran antara laki-laki dan perempuan ketika memang hal itu diperlukan. Hal ini dapat jelas ketika kita melihat perilaku gender pada pasangan kohabitasi yang sudah mempunyai anak. Dalam kasus diatas, pada pasangan Andy Soraya dan Steve Immanuel, mereka sangat toleran dalam perilaku gender mereka sehari-hari. Steve Immanuel mengaku tidak keberatan jika dia memang harus mengurus anak mereka sewaktu Andy Soraya bekerja. Pola komunikasi gender yang fleksibel juga ditunjukkan oleh pasangan kohabitasi yang tidak mempunyai anak, meskipun tidak terlalu jelas. Dalam hubungan mereka, mereka tidak menganut azas patriarkhi yang biasanya dianut oleh kebanyakan pasangan menikah di Indonesia. Kecenderungan terjalinnya pola komunikasi gender yang fleksibel ini mungkin dikarenakan pasangan-pasangan yang memutuskan untuk berkohabitasi adalah pasangan-pasangan merasa modern dan menganggap aturan-aturan hanya akan menyusahkan mereka, sehingga dalam berkomunikasi gender pun mereka tidak terlalu ambil pusing dengan standar-standar perilaku sesuai dengan jenis kelamin yang dibentuk oleh masyarakat dan bahkan oleh agama.

3. Saya menggolongkan diri saya mempunyai ego boundaries yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan tempat saya tinggal. Dengan ego boundaries yang dapat menyesuaikan lingkungan itulah saya dapat lebih mudah dalam berkomunikasi gender. Saya merasa mampu memilah dan memilih sikap, cara berbicara, isi pembicaraan tergantung siapa lawan bicara saya dan suasana yang mendukung berlangsungnya komunikasi.

Misalnya ketika saya harus berbicara dengan orang yang sedang terlihat murng, maka saya merasa harus lebih hati-hati dalam berbicara, menggunakan suara yang lembut, bersikap hangat, dan menyejukkan. Namun ketika saya berbicara dengan sahabat saya yang sudah saya kenal dengan sangat dekat, mungkin saya tidak merasa harus selembut dan sehati-hati seperti saya sedang berbicara dengan orang yang sedang murung tadi. Saya akan merasa lebih nyaman untuk bercanda dan berbicara dengan santai. Dan cara berkomunikasi pun akan lain jika saya berbicara dengan orang yang lebih tua daripada saya. Saya akan menggunakan bahasa yang sopan, ramah, menunjukkan penghargaan saya terhadap beliau tanpa bersikap berlebihan.

4. Mainan yang saya dapatkan dari oang tua saya sewaktu kecil hampir selalu boneka. Menurut saya, boneka-boneka yang diberikan oleh orang tua saya sesuai dengan identitas gender saya sebagai perempuan. Sebagai anak perempuan, saya diharapkan untuk menjadi perempuan yang lembut dan penuh kasih sayang. Boneka yang mereka berikan pada saya dapat melatih kepekaan dan mengasah rasa kasih sayang saya terhadap sesama. Karena boneka itu saya perlakukan layaknya manusia yang harus saya sayangi, saya manjakan, dan saya perlakukan hati-hati.

Namun sekali waktu, saya pernah meminta mainan mobil-mobilan yang bisa dinaiki dan dikemudikan. Orang tua saya tidak keberatan untuk membelikannya, karena menurut mereka mainan mobil-mobilan itu tidak akan menimbulkan permasalahan dalam perkembangan identitas gender saya. Meskipun saya diharapkan menjadi seorang anak perempuan yang peka terhadap sesama dan penuh kasih sayang, mungkin dengan mobil-mobilan yang mereka belikan dapat mengajarkan saya bahwa saya kelak harus jadi mandiri. Mereka dengan senang hati menemani saya yang sedang bermain seolah-olah sedang mengendarai mobil sendiri menuju suatu tempat. Mungkin dengan begitu mereka sedang mengajarkan saya untuk tidak tergantung kepada orang lain.

5. Model maskulinitas dan feminitas yang diajarkan orang tua saya ditunjukkan dengan contoh-contoh perilaku sehari-hari mereka di rumah. Feminitas yang diperlihatkan oleh Ibu saya berupa sikap perhatian kepada anak-anak dan suaminya, lemah lembut, penyayang, selalu bersedia dijadikan tempat mengadu oleh anggota keluarga yang lain, bersahabat, tulus, menyejukkan. Sedangkan siakp maskulin yang ditunjukkan oleh Ayah berupa sikap tegas , dominan, kuat, mandiri, dan memimpin. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak menghalangi Ayah dan Ibu bersikap sebaliknya. Dalam artian, Ibu dapat saja bersikap tegas ketika memang saya melakukan kesalahan dan beliau merasa perlu menegur, dan Ayah juga dalam situasi tertentu sangat dapat bersikap bersahabat dan mesra misalnya seperti memberikan kecupan selamat tidur kepada anak-anaknya.

Hal tersebut menurut saya sangat bermuatan genser namun tidak menimbulkan bias. Saya menjadi tahu apa yang biasanya dan sepatutnya dilakukan oleh seorang Ibu atau Ayah, namun semua hal itu tidak bersifat mutlak. Mereka pun dalam memberikan pendidikan secara langsung kepada anak-anaknya tidak berbias gender. Misalnya, mereka melarang saya bangun siang bukan karena saya anak perempuan tapi karena memang seharusnya semua orang bangun pagi dan melakukan hal berguna. Contoh lain, mereka mengharuskan saya bersikap sopan karena memang sudah sepatutnya semua orang, baik laki-laki maupun perempuan berlaku sopan kepada orang yang lebih tua.

6. Menjadi laki-laki dan perempuan pada masa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan menjadi laki-laki dan perempuan pada masa sebelumnya. Perbedan justru terlihat dari persepsi masyarakat mengenai gender. Dewasa ini jumlah masyarakat yang memahami gender sudah meningkat dari masa sebelumnya, setidaknya masyarakat mejadi tahu bahwa gender ini berbeda dengan kodrat. Sebagian masyarakat sudah mengetahui bahwa gender hanyalah merupakan identitas yang dibentuk dan ditempelkan masyarakat pada masing-masing jenis kelamin. Peningkatan pengetahuan itulah yang dapat mempermudah seseorang dalam menentukan perilaku gender. Sekarang sudah hampir dapat dikatakan tidak ada lagi pengekangan hak perempuan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, tidak ada lagi batasan jenis kelamin untuk profesi tertentu. Bahkan perempuan pun bebas bekerja seharian penuh di luar rumah untuk menambah penghasilan keluarga dan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada orang lain, misalnya kepada pembantu, seorang laki-laki tidak lagi tabu berlenggak-lenggok di catwalk sebagai pragawan, berkreasi sebagai designer, dll. Pada masa ini, menurut saya seorang perempuan atau laki-laki dapat menentukan pilihan mereka sendiri. Budaya yang dianut masyarakat dewasa ini juga masih memegang peranan dalam penentuan sikap sebagai laki-laki atau perempuan, namun pada masa kini hal itu tidak lagi menjadi penentu utama. Karena masyarakat pun sudah semakin terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Laki-laki dan perempuan dipandang setara dengan berbagai karakteristik yang berbeda untuk dapat saling melengkapi dalam hidupnya.

Namun, tidak semua masyarakat yang hidup di zaman sekarang sudah berpikiran terbuka mengenai gender. Masih ada juga masyarakat yang buta gender dan masih menganggap gender sebagai suatu hal yang absolut. Laki-laki dan perempuan masih dipandang tidak sejajar, dimana laki-laki harus selalu menjadi panutan yang absolut, kuat, asertif, mandiri, pemimpin, dan dominan. Sedangkan perempuan seolah-olah diposisikan di bawah, lebih rendah daripada laki-laki, harus selalu mengabdi dan melayani suami apapun yang terjadi. Demikian kuatnya bias gender yang ditanamkan dalam kehidupan sebagian masyarakat ini, sampai-sampai mereka masih mempertahankan budaya bias gender pada masa ini.

Hal-hal yang tidak saya sukai tentang menjadi perempuan adalah ketika berada diantara orang-orang yang masih berbias gender. Tentunya berada di tengah-tengah orang-orang semacam itu akan membuat saya merasa diremehkan dan dianggap lemah, bahkan merasa dilecehkan. Selebihnya saya suka menjadi seorang perempuan.

7. Keluarga dapat berperan dalam merubah steroetipi sosialisasi nilai-nilai gender terhadap anak-anak mereka. Keluarga idealnya menjadi faktor utama dalam perkembangan seorang anak, termasuk di dalamnya membentuk identitas gender seorang anak. Tahapan terpenting dalam pengolahan informasi menjadi sebuah skema yang akan diterapkan seorang anak adalah pada 5 tahun pertama kehidupannya, dan pada umumnya 5 tahun pertama seorang anak akan dihabiskan bersama keluarganya. Anak-anak dapat juga berhubungan dengan orang lain di luar lingkungan keluarga, namun tetap yang menjadi panutan utama mereka adalah keluarga. Oleh karena itu peran keluarga dalam mensosialisasikan gender sangatlah penting, sehingga keluarga menjadi sangat penting dalam merubah sosialisasi nilai-nilai gender terhadap anak-anak.

Cara yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan merubah semua cara mendidik anak yang bias gender, dan menerapkan didikan yang berbasis gender dengan tepat. Dengan menerapkan didikan bahwa gender itu dapat dipertukarkan. Misalnya, dengan tidak lagi melarang anak laki-laki menangis jika kesakitan, tidak melarang anak perempuan bercita-cita sebagai pilot, menerapkan disiplin yang sama antara anak laki-laki dan perempuan, tidak hanya mendidi anak laki-laki untuk jadi kuat dan mandiri, tetapi juga mendidik anak perempuan agar dapat mandiri dan tidak cengeng, dsb.