PENGARUH KREATIVITAS GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN SAINS TERHADAP HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DI SMP N PENGASIH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekarang ini perkembangan dunia pendidikan menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah dan masyarakat karena Bangsa Indonesia tidak pernah berhenti membangun sektor pendidikan dengan maksud agar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki mampu bersaing secara global. Jika demikian halnya, persoalan unggulan kompetitif bagi tamatan suatu institusi pendidikan sangat perlu untuk dikaji dan diperjuangkan ketercapaiannya dalam proses belajar mengajar oleh semua lembaga pendidikan di negeri ini. Membicarakan masalah pendidikan, kadang kita dihadapkan pada mata rantai persoalan yang tidak jelas ujung pangkalnya dan dari mana kita harus memulainya. Guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun begitu, guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, kita memang banyak menaruh harapan kepada guru dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika harapan tersebut sulit untuk dipenuhi maka setidaknya guru yang menangani langsung masalah pendidikan adalah guru-guru yang memiliki kualitas yang cukup memadai. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan guru yang mempunyai kemampuan, di Indonesia telah dikembangkan sistem pendidikan guru berdasarkan kompetensi. Artinya, program pendidikan yang diberikan pada lembaga pendidikan guru disusun dan dikembangkan atas dasar analisis tugas yang disyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan.
Terlebih lagi guru sering dijadikan tumpuan harapan semua orang untuk mampu menjadikan siswanya berhasil, baik dalam pendidikan formal maupun perihal tingkah laku peserta didik sendiri. Namun begitu besarnya harapan masyarakat kepada guru sebagai tuntutan yang wajar. Oleh karena itu, guru harus berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu. Guru juga sebagai sumber daya manusia yang dituntut untuk kreatif karena kreativitas sangat dibutuhkan dalam kehidupan khususnya dalam kemajuan pendidikan sekarang ini. Setiap manusia berupaya untuk mengembangkan diri dengan didukung adanya dorongan, pemikiran, sikap dan perilaku yang kreatif.
Menurut Suyanto (2000: 29), adanya tiga dimensi umum yang menjadi kompetensi tenaga kependidikan sebagai berikut:
1. Kompetensi personal atau pribadi, artinya seorang guru harus mempunyai kepribadian yang mantap yang patut diteladani. Dengan demikian seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
2. Kompetensi profesional, artinya seorang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
3. Kompetensi kemasyarakatan, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
Dalam sebuah sistem pendidikan, guru berperan sebagai agen perubahan yang utama. Meski demikian, hal ini tidak bisa diartikan guru adalah subyek, sementara peserta didik adalah obyek. Konsep pendidikan modern menempatkan guru dan murid sama-sama sebagai subyek pembelajaran. Bukan hanya guru yang harus aktif dikelas dan membiarkan murid pasif mendengarkan. Oleh sebab itu, guru harus mengetahui dan melaksanakan prinsip pembelajaran kepada peserta didik seperti yang dikemukakan oleh Alvin C. Eurich (Davies, 1973: 21) bahwa:
Principles of learning Ford Foundation has summarized these as follows:
1. Whatever a student learns, he must learn for himself, no one can learn for him.
2. Each student learns at his own rate, and for any age group, the variations in rates of learning are considerable.
3. A student learns more when each step is immediately strengthened or reinforced.
4. Full, rather than partial, mastery of each step makes total learning more meaningful.
5. When given responsibility for his own learning, the student is more highly motivated; he learns and retains more.
Proses membelajarkan peserta didik sebaiknya dititik beratkan pada upaya guru dalam mendorong dan membiasakan peserta didik berfikir kreatif, terlebih pada pembelajaran IPA atau sains, dimana guru harus memikirkan cara-cara baru agar materi pembelajaran sains yang diberikan kepada peserta didik mudah dipahami, dan menjadikan mata pelajaran itu disukai yang pada akhirnya akan membantu peserta didik mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang sederhana baik di sekolah maupun masyarakat, seperti yang dikatakan Robinson (1968: 123)
Scientists, Science Educators, and Science Teachers have recognized the complex problems of revising science curricula so that they may be more in keeping with the nature of scientific knowledge.
Maksudnya ilmuwan, pendidik sains, dan guru sains telah dikenalkan masalah-masalah kompleks mengenai perbaikan kurikulum sains sehingga mereka lebih menjaga secara alami pengetahuan ilmiah mereka.
Dalam proses pembelajaran Sains atau IPA, guru harus tahu keempat unsur yaitu: sikap, proses, produk dan aplikasi dan diharapkan dapat muncul dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru. Kecenderungan pembelajaran sains pada masa kini adalah peserta didik hanya mempelajari sains sebagai produk, menghafalkan konsep, teori dan hukum. Keadaan ini diperparah oleh pembelajaran yang beriorientasi pada tes atau ujian. Akibatnya sains sebagai proses, sikap, dan aplikasi tidak tersentuh dalam pembelajaran.
Pengalaman belajar yang diperoleh di kelas tidak utuh dan tidak berorientasi tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pembelajaran lebih bersifat teacher-centered, guru hanya menyampaikan sains sebagai produk dan peserta didik menghafal informasi faktual. Peserta didik hanya mempelajari sains pada domain kognitif yang terendah. Peserta didik tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak peserta didik yang cenderung menjadi malas berpikir secara mandiri. Cara berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan belajar belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering dikemukakan oleh para guru adalah keterbatasan waktu, sarana, lingkungan belajar, dan jumlah peserta didik per kelas yang terlalu banyak.
Abad 21 ditandai oleh pesatnya perkembangan sains dan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan di masyarakat, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, diperlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek sains dan teknologi, mampu berpikir logis, kritis, kreatif, serta dapat berargumentasi secara benar. Dalam kenyataan, memang tidak banyak peserta didik yang menyukai bidang kajian sains, karena dianggap sukar dan keterbatasan kemampuan peserta didik, atau mereka tidak berminat menjadi ilmuwan atau ahli teknologi. Namun demikian, mereka tetap berharap agar pembelajaran sains di sekolah dapat disajikan secara menarik, efisien, dan efektif.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang akan dicapai peserta didik dituangkan dalam empat aspek yaitu makhluk hidup dan proses kehidupan, materi dan sifatnya, energi dan perubahannya, serta bumi dan alam semesta. Indikator pencapaian kompetensi dikembangkan oleh sekolah, disesuaikan dengan lingkungan setempat, dan media serta lingkungan belajar yang ada di sekolah. Semua ini ditujukan agar guru dapat lebih aktif, kreatif, dan melakukan inovasi dalam pembelajaran tanpa meninggalkan isi kurikulum. Melalui pembelajaran sains terpadu, diharapkan peserta didik dapat membangun pengetahuannya melalui cara kerja ilmiah, bekerja sama dalam kelompok, belajar berinteraksi dan berkomunikasi, serta bersikap ilmiah.
Saat ini, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran sains sehingga peserta didik tergugah untuk mengkonstruksi pemikirannya, karena esensi dari sebuah proses pendidikan adalah memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan kualitasnya. Sementara itu kalau berbicara kualitas maka tidak akan terlepas dari persyaratan obyektif seperti mutu dan jumlah guru, fasilitas dan sarana belajar serta buku penunjang. Untuk bisa memainkan perannya sebagai agen perubahan maka kualifikasi dan kualitas guru harus ditingkatkan. Upaya ini sebenarnya sudah dilakukan oleh daerah-daerah dengan memberikan subsidi penuh pada guru-guru yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sarjana (S1) sehingga diharapkan tidak ada lagi guru yang mengajar di SMP/SMA yang kualifikasinya D3. Khusus mengenai kesejahteraan, program sertifikasi mudah-mudahan bisa menjawab persoalan ini. Kualitas guru menyangkut juga dengan kreativitasnya dalam proses pembelajaran, seorang peneliti di LIPI Prof. Dr. Masno Ginting (Kompas, 17 februari 2005) mengemukakan kecenderungan merangkapkan sejumlah mata pelajaran pada seorang guru terutama pada bidang studi IPA dan Matematika ditambah pula dengan jadwal mengajar yang ketat, materi yang padat menyebabkan guru tidak lagi sempat membuat suasana pembelajaran jadi menarik. Masalah tersebut tidak berdiri sendiri tetapi terkait juga masalah minimnya jumlah guru, ditambah tidak meratanya kemampuan guru.
Untuk menunjang kreativitas guru sains, guru memerlukan fasilitas pendidikan yang berupa alat peraga pendidikan yang cukup. Mutu pendidikan yang baik diikuti dengan penyediaan fasilitas yang sangat memadai. Davies (1973: 21) mengemukakan bahwa:
The cost of education still largely consists of the cost of paying teachers and of providing the buildings in which they teach, while a relatively small proportion is spent on support personnel, books, and equipment, until recently, an even smaller amount on research and development.
Maksudnya biaya pendidikan yang sangat besar terdiri dari biaya untuk membayar gaji guru dan penyediaan gedung yang menjadi tempat mereka mengajar, sementara relatif kecilnya proporsi biaya tunjangan personal, buku-buku, dan peralatan atau fasilitas, hingga sampai saat ini juga masih sedikitnya jumlah penelitian dan pengembangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sains SMP N Pengasih diperoleh beberapa informasi yang kaitannya dengan kreativitas guru diantaranya: sekolah-sekolah ini belum termasuk kategori sekolah rintisan nasional hal ini menunjukkan prestasi peserta didik belum optimal, karena sekolah yang bisa masuk kategori itu adalah sekolah yang sudah mempunyai prestasi yang baik. fasilitas pendidikan berupa alat pratikum, laboratorium, buku-buku perpustakaan, dan alat peraga yang dimiliki lembaga pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama di kecamatan pengasih belum sepenuhnya memadai. Keadaan ini tentu tidak akan menunjang guru untuk mencapai kinerjanya yang optimal khususnya kreativitas dalam belajar mengajar. Demikian halnya dengan bekal pendidikan yang dimiliki para guru. Fakta yang ada menunjukkan keseluruhan guru sains sudah memenuhi standar kualifikasi pendidikan minimal yang dipersyaratkan. Dari 5 guru sains SMP N Pengasih, keseluruhan guru tersebut sudah berpendidikan S1 (Dinas Pendidikan, 2007).
Seorang guru dalam melaksanakan tugasnya didasari dengan motivasi kerja, sehingga akan menunjukkan kesungguhan dan kegairahan dalam bekerja. Guru sains tersebut akan berusaha tuntutan pekerjaan yang ada dengan penuh semangat. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sains SMP N Pengasih bahwa motivasi kerja guru sains SMP N Pengasih sudah ada akan tetapi belum maksimal, hal ini didukung pula oleh ketersediaan fasilitas sekolah yang menjadikan pembelajaran sains dapat berjalan dengan baik. Kenyataannya belum semua guru sains dapat memenuhi tuntutan pekerjannya. Hal ini disebabkan lemahnya dorongan yang diberikan oleh sekolah.
Dalam proses pembelajaran sains, guru membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru sains SMP N Pengasih bahwa adanya perubahan kurikulum sekarang ini yaitu KTSP menjadikan alokasi waktu untuk pelajaran sains hanya 5 dan 4 jam sehinggga guru tidak nyaman dalam mengajar karena beban belajar yang padat dengan alokasi waktu sedikit. Hal ini menyebabkan mutu penilaian terhadap prestasi sains peserta didik dan mutu pembelajaran sains menjadi kurang baik serta kurangnya pemahaman peserta didik terhadap materi sains yang diberikan guru padahal guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten. Demikian juga yang menjadikan beban bagi guru yaitu guru harus mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya sehingga guru mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi untuk bidang studi sains lainnya. Dari ke–4 SMP N yang terdapat di kecamatan Pengasih kenyataannya Team Teaching belum berjalan, hanya di SMP N 1 Pengasih sudah ada Team Teaching tetapi untuk kelas IX. Dengan adanya Team Teaching diharapkan dapat membantu guru dalam mengajar sains yang bukan bidangnya. Dengan iklim sekolah yang kondusif menyebabkan guru merasa senang dan betah ditempat kerja. Pekerjaan yang dilakukan dengan rasa senang dapat meningkatkan disiplin kerja, rasa percaya diri dan dan tanggung jawab.
Di kecamatan Pengasih, berkaitan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan agar lebih berkualitas. Aspek kreativitas guru merupakan aspek penting untuk diperhatikan. Menjaga dan mengupayakan guru agar memiliki kreativitas yang tinggi mutlak diperlukan. Pengaruh kreativitas guru sains dalam proses pembelajaran sains kaitannya dengan prestasi peserta didik baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor perlu segera dicari jawabannya. Berdasarkan alasan tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan khususnya pada guru-guru sains kelas VII SMP Negeri Pengasih.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas kemudian diidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan tema penelitian ini di antaranya sebagai berikut:
1. Belum unggulnya prestasi akademik peserta didik di SMP N Pengasih sehingga perlu ditinjau dari aspek kreativitas gurunya dalam membelajarkan sains kepada peserta didik.
2. Semua guru SMP Negeri Pengasih sudah mempunyai kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan, akan tetapi belum keseluruhan guru dapat membelajarkan sains kepada peserta didik secara kontekstual.
3. Selama ini proses pembelajaran sains hanya sebatas pada domain kognitif sedangkan aspek afektif dan psikomotor diabaikan, sehingga peserta didik cenderung mempelajari sains hanya sebagai produk yaitu menghafal konsep, teori dan hukum akibatnya sains sebagai proses, sikap dan aplikasi tidak muncul dalam pembelajaran. Hal tersebut menyebabkan peserta didik malas dan tidak terbiasa mengembangkan potensi berfikir mandiri dalam mengkonstruksi pengetahuannya.
4. Fasilitas pendidikan yang berupa alat peraga, alat praktikum, laboratorium, buku-buku penunjang, dan perpustakaan yang dimiliki masing-masing SMP N Pengasih belum sepenuhnya memadai untuk menunjang guru dalam melaksanakan tugasnya.
5. Motivasi kerja guru sains belum sepenuhnya maksimal, oleh sebab itu semua guru sains belum dapat memenuhi tuntutan pekerjaannya.
6. Belum semua guru sains merasakan iklim sekolahnya kondusif untuk melaksanakan tugas.
7. Jadwal mengajar yang ketat, jumlah materi yang padat sehingga guru sudah tidak sempat berfikir kreatif lagi untuk mengkondisikan proses pembelajaran sains menjadi menarik, tetapi justru sebaliknya pembelajaran sains menjadi monoton, dan mengurangi minat belajar sains peserta didik.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang ada, terdapat banyak faktor yang dimungkinkan dapat menunjang kreativitas guru sains (Biologi) kelas VII SMP Negeri Pengasih. Dalam penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada Pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap hasil belajar peserta didik dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor di SMP N Pengasih.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih?
2. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih?
3. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui ada tidaknya pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih.
2. Mengetahui ada tidaknya pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih.
3. Mengetahui ada tidaknya pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat diantaranya:
1. Bagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan wilayah Pengasih
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan pembinaan profesi guru oleh dinas pendidikan dan kebudayaan untuk meningkatkan kreativitasnya sehingga hasil belajar sains peserta didik menjadi lebih baik.
2. Bagi para guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi para guru untuk meningkatkan kreativitasnya sehingga prestasi belajar sains peserta didik menjadi lebih baik. Para guru diupayakan untuk melakukan usaha-usaha agar lebih kreatif sehingga proses pembelajaran sains untuk siswa menjadi bermakna dan motivasi belajar siswa terhadap sains meningkat, karena dengan kehadiran para guru yang memiliki kreativitas tinggi.
3. Bagi para peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya, baik dibidang yang sama maupun bidang lainnya dengan cakupan yang lebih luas, khususnya yang berhubungan dengan pengaruh kreativitas guru sains terhadap hasil belajar peserta didik dari aspek kognititf, afektif, dan psikomotor.
4. Penelitian ini diharapkan mendorong kinerja setiap sekolah untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan kreativitas guru sains.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoretis
1. Hakikat Sains
Menurut Depdiknas (2007: 4), Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah mengalami uji kebenaran melalui metode ilmiah, dengan ciri: objektif, metodik, sistimatis, universal, dan tentatif. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dan segala isinya.
Menurut Sulistyorini (2007: 9-10), pada hakikatnya IPA atau Sains dipandang dari segi produk, proses dan dari segi pengembangan sikap. Ketiga dimensi tersebut saling terkait. Ini berarti bahwa proses belajar mengajar IPA seharusnya mengandung ketiga dimensi IPA tersebut. Demikian juga Carin dan Sund (Depdiknas, 2007: 4), mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen”. Menurut Collette dan Chiappetta (1994: 33-39), hakikat sains terdiri dari tiga dimensi yaitu:
a. Science as a way of thinking such as human is enormous curiosity, imagination, and desire to understand phenomena, and then they possess attitudes, beliefs, and values that motivate them to answer questions and solve problems.
b. Science as a way of investigating such as human is desire to understand nature and to discover its laws must study objects and events with manner experimentation, observation, hypotheses, tested and validated.
c. Science as a body of knowledge from the scientific disciplines represents the creative products of human invention such as the facts, concepts, principles, laws, theoris, and models specific for the content science.
Sedangkan menurut Carin dan Sund (1989: 5), sains mempunyai tiga elemen penting yaitu:
a. Processes or methods as ways of investigating problems, observing such as making hypotheses, designing experiments, evaluating data and measuring.
b. Products such as the facts, concepts, principles, laws, theoris
c. Human attitudes as beliefs, values, opinions
Merujuk pada pengertian Sains atau IPA itu, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama yaitu:
a. Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended.
b. Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.
c. Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.
d. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
a. Karakteristik Bidang Kajian Ilmu Pengetahuan Alam
Menurut Depdiknas (2007: 5-6), ilmu Pengetahuan Alam atau Sains didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat dipercaya. Ada tiga kemampuan dalam IPA yaitu: 1) Kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, 2) Kemampuan untuk memprediksi apa yang belum terjadi, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, 3) Dikembangkannya sikap ilmiah.
Kegiatan pembelajaran IPA mencakup pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah. Metode ilmiah dalam mempelajari IPA itu sendiri telah diperkenalkan sejak abad ke-16 (Galileo Galilei dan Francis Bacon) yang meliputi mengidentifikasi masalah, menyusun hipotesa, memprediksi konsekuensi dari hipotesis, melakukan eksperimen untuk menguji prediksi, dan merumuskan prinsip umum yang sederhana yang diorganisasikan dari hipotesis, prediksi, dan eksperimen.
Dalam belajar IPA peserta didik diarahkan untuk membandingkan hasil prediksi peserta didik dengan teori melalui eksperimen dengan menggunakan metode ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah. Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan atau “enquiry skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah, dan menganalisis data, menerapkan ide pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain. Oleh karena itu, pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya:
1) Memberikan pengalaman pada peserta didik sehingga mereka kompeten melakukan pengukuran berbagai besaran fisis.
2) Menanamkan pada peserta didik pentingnya pengamatan empiris dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis). Hipotesis ini dapat berasal dari pengamatan terhadap kejadian sehari-hari yang memerlukan pembuktian secara ilmiah.
3) Latihan berpikir kuantitatif yang mendukung kegiatan belajar matematika, yaitu sebagai penerapan matematika pada masalah-masalah nyata yang berkaitan dengan peristiwa alam.
4) Memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam kegiatan perancangan dan pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan berbagai gejala dan keampuhan IPA dalam menjawab berbagai masalah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hakikat sains dalam penelitian ini adalah Sains dipandang sebagai dimensi produk, proses dan sikap karena dimensi tersebut secara sistematis saling berkaitan. Berawal dari sikap keingintahuan peserta didik tentang seluruh fenomena alam dan masalahnya yang kemudian memotivasi peserta didik untuk melakukan pengamatan empiris sebagai wujud pemberian pengalaman yang secara langsung dialami sendiri oleh peserta didik, melalui proses ilmiah di antaranya: hipotesis, eksperimen, evaluasi dan kesimpulan. Ternyata sikap dan proses ini sebagai upaya mengembangkan keterampilan proses peserta didik. Produknya adalah berupa fakta, prinsip, teori dan hukum selanjutnya metode ilmiah dan produk IPA diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa hakikat sains sebagai produk, proses dan sikap menjadi dasar dalam proses pembelajaran sains di sekolah.
2. Proses Pembelajaran Sains
Menurut Depdiknas (2003: 3), prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat. Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi, dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya merupakan cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dapat dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.
Menurut Oemar (1995: 57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan pendapat Meier (2002: 103), dalam pembelajaran terdapat empat tahap yaitu: a. Persiapan sebagai timbulnya minat, b. Penyampaian sebagai perjumpaan pertama dengan pengetahuan dan keterampilan baru, c. Pelatihan sebagai integrasi pengetahuan dan keterampilan baru, d. Penampilan hasil sebagai penerapan pengetahuan dan keterampilan baru pada situasi dunia nyata. Sedangkan sains adalah suatu body of knowledge yang telah diuji, yang dapat diekspresikan dalam bentuk perangkat prinsip-prinsip umum. David (1974: 66), mengemukakan bahwa:
Science is something that is discovered, some experimenting about the world around us, experimenting about things that will help us, facts about nature, what a scientist works on, facts about the earth and atmosphere, friction and tests about nature, trying to solve problems, the world’s history, nature of the world, discovering new things, about the facts of the world, making things easier around home, chemicals and research.
Maksudnya sains merupakan proses menemukan sesuatu, dengan beberapa percobaan tentang dunia bulat, fakta alam, bumi, dan atmosfer, mencoba mencari solusi masalah alam, menemukan sesuatu yang baru tentang fakta dunia, membuat sesuatu yang memudahkan seputar lingkungan, bahan kimia, dan penelitian.
Menurut Depdiknas (2003: 6-7), proses pembelajaran sains pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Oleh karena itu, proses pembelajaran sains seharusnya mengembangkan kemampuan bernalar dan berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran sains yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan sains. Hal ini berarti belajar sains tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar sains memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Dengan demikian, siswa perlu dibantu untuk mampu mengembangkan sejumlah pengetahuan yang menyangkut kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta aplikasinya. Bahan kajian kerja ilmiah adalah: a. Mampu menggali pengetahuan melalui penyelidikan atau penelitian, b. Mampu mengkomunikasikan pengetahuannya, c. Mampu mengembangkan keterampilan berpikir, d. Mampu mengembangkan sikap dan nilai ilmiah.
Keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sains, diantaranya adalah keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan, mengkomunikasikan, hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual untuk menguji gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari. Prinsipnya pembelajaran sains, yaitu cara memberi tahudan cara berbuat, akan membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian dalam interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya. Oleh karena itu, hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran sains seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum Sains Berbasis Kompetensi, adalah: a. Empat pilar pendidikan dari Unesco, b. Inkuiri sains, c. Konstruktivisme, d. Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat, e. Pemecahan masalah dan pembelajaran sains yang bermuatan nilai.
Seperti yang dikemukakan oleh Robinson (1968: 139), bahwa struktur sains muncul berdasarkan beberapa aspek diantaranya:
A structure of science emerges from historical study of inquiry and experimental inquiry. It is inquiry operates within the metaphysical principles. Experimental inquiry such as generative inquiry and completive inquiry, they are the statements of questions today. But for historical inquiry was the way in which questions were stated in the past. So that, both results data of consider relevant. And then we can inquiry seeks to complete the circuit of verification. Emerge rules used, theories, use validation and reliability procedures now or from historical.
Maksudnya struktur sains muncul dari belajar inkuiri dan percobaan inkuiri. Sains adalah proses penemuan prinsip-prinsip metafisika. Berdasarkan pernyataan diatas ruang lingkup pembelajaran sains sangat luas mencakup semua kejadian di dunia ini. Oleh sebab itu, pembelajaran sains untuk siswa SMP sangat penting. Menurut Ra’uf (2005: 94), sains adalah bangun pengetahuan yang menggambarkan usaha, temuan, wawasan, dan kearifan yang bersifat kolektif dari umat manusia. Di samping itu, sains merupakan aktivitas manusia yang bertujuan menemukan keteraturan alam melalui pengamatan, pengukuran, dan eksperimen. Sebagai bangun pengetahuan sains sebagai, sains tersusun atas fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori, sedangkan sebagai aktivitas sains merupakan cara berfikir yang bersifat dinamis dalam rangka menemukan suatu ilmu. Mata pelajaran sains diajarkan sesuai dengan taraf perkembangan siswa SMP, yakni mulai dari kajian secara sederhana diteruskan ke kajian yang lebih kompleks. Mata pelajaran sains menekanan pada penguasaan konsep dan penerapannya untuk diterapkan pada pemecahan masalah ketika bekerja ilmiah. Seperti yang dikemukakan oleh Clark dan Klein (1972: 73), bahwa:
Our concepts result from our experiences. The more and varied our experiences are, the clearer our concepts become. Of course, an adult or an adolescent can learn a great deal from a lecture, an explanation, or a book, but, if he is limited to these media alone, he cannot develop concepts as full and clear as those resulting from more varied experiences. Pupil to develop clear concepts, they should provide many experiences with the materials and ideas they wish pupils to learn. Pupil need to manipulate both materials and ideas, to see them in different context, to watch them work, and to work with them. To develop good concepts one must guide pupils rather than tell them.
Maksudnya konsep-konsep hasil dari pengalaman kita. Banyaknya variasi pengalaman kita menjadikan konsep-konsep kita berkurang. Tentunya menjelang dewasa dapat belajar lebih dari kuliah, penjelasan dari orang lain, buku, tetapi jika dia sedikit media, dia tidak dapat mengembangkan konsep-konsep dengan sempurna dan menghapus hasil dari banyak pengalamannya. Peserta didik membangun konsep-konsep yang dihapus, mereka harus menyediakan banyak pengalaman dengan materi dan ide–ide mereka berharap peserta didik belajar. Peserta didik perlu memanipulasi kedua materi dan ide-ide, melihat konsep dalam konteks yang berbeda, melihat mereka bekerja, dan bekerja dengan mereka. Pengembangan konsep-konsep dengan baik menjadi satu keharusan membimbing peserta didik lebih baik daripada yang mereka katakan.
Sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, sains dengan visi dan misinya antara lain berupaya mendidik siswa berilmu dan berketerampilan unggul serta ”open minded”memiliki etos kerja, melatih penelitian sesuai proses atau metode ilmiah, dan belajar dengan mengaplikasikan pengetahuan terbaiknya, mempunyai sikap disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Di samping itu juga, bersikap peka, tanggap dan berperan aktif dalam menggunakan sains untuk memecahkan problem di lingkungannya. Melalui penguasaan mata pelajaran sains, baik proses, produk maupun sikap yang baik, siswa diharapkan mampu mengembangkan ilmunya, bertenggang rasa, mampu membina kerja sama yang sinergis demi tercapainya efisiensi dan efektivitas, kualitas, serta kesuksesan nyata bagi siswa.
Belajar akan menjadi efektif apabila kegiatan belajar sesuai dengan perkembangan intelektual anak. Selain itu, guru di dalam kelas perlu mengenal anak didik dan bakat khusus yang mereka miliki agar dapat memberikan pengalaman pendidikan yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa untuk dapat mengembangkan bakat mereka secara optimal sesuai dengan tujuan pendidikan. Sikap yang terbentuk pada diri siswa terhadap mata pelajaran tentunya tergantung pada sikap gurunya terhadap mata pelajaran itu, dan bagaimana cara guru menyampaikan mata pelajaran itu. Apabila setiap mengajar guru bersikap positif dan baik, maka lambat laun siswa berada dalam kondisi belajar yang berkesan baik dan mendalam, sehingga terbentuk sikap positif terhadap mata pelajaran itu. Jika mata pelajaran tersebut adalah IPA maka akan terbentuklah sikap yang positif terhadap IPA. Demikian juga David (1974: 24-25), mengemukakan bahwa:
Elementary and middle school teachers usually develop a personal philosophy of teaching science to children. Depending on attitudes, background in science, and degree of success in various science courses, teacher will transmit this philosophy. A positive attitude in which teachers and pupil understand the role played by different living things in their environment is helpful in promoting an appreciation and a possible love foe science. Science teaching should be based on active participation by learners and teachers.
Maksudnya guru-guru sekolah dasar dan menengah biasanya mengembangkan filosofi personalnya mengajar sains ke peserta didik. Tergantung pada sikap, tampilan sains, keberhasilan variasi pelajaran sains, guru akan mengaitkan filosofi ini. Sikap positif guru dan peserta didik memahami aturan main dengan perbedaan kehidupan dalam lingkungan mereka membantu mempromosikan apresiasi dan memungkinkan kecintaan pada sains. Mengajar sains harus didasarkan pada partisipasi aktif oleh pembelajar dan guru.
a. Tujuan Pembelajaran IPA Terpadu
Menurut Depdiknas (2007: 7), Tujuan pembelajaran IPA Terpadu adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran
Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai peserta didik masih dalam lingkup bidang kajian energi dan perubahannya, materi dan sifatnya, dan makhluk hidup dan proses kehidupan. Banyak ahli yang menyatakan pembelajaran IPA yang disajikan secara disiplin keilmuan dianggap terlalu dini bagi anak usia 7-14 tahun, karena anak pada usia ini masih dalam transisi dari tingkat berpikir operasional konkret ke berpikir abstrak. Selain itu, peserta didik melihat dunia sekitarnya masih secara holistik. Atas dasar itu, pembelajaran IPA hendaknya disajikan dalam bentuk yang utuh dan tidak parsial. Di samping itu pembelajaran yang disajikan terpisah-pisah dalam energi dan perubahannya, makhluk hidup dan proses kehidupan, materi dan sifatnya, dan bumi-alam semesta memungkinkan adanya tumpang tindih dan pengulangan, sehingga membutuhkan waktu dan energi yang lebih banyak, serta membosankan bagi peserta didik. Bila konsep yang tumpang tindih dan pengulangan dapat dipadukan, maka pembelajaran akan lebih efisien dan efektif.
Keterpaduan bidang kajian dapat mendorong guru untuk mengembangkan kreativitas tinggi karena adanya tuntutan untuk memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi yang lain. Guru dituntut memiliki kecermatan, kemampuan analitik, dan kemampuan kategorik agar dapat memahami keterkaitan atau kesamaan materi maupun metodologi.
2) Meningkatkan minat dan motivasi
Pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan situasi pembelajaran yang utuh, menyeluruh, dinamis, dan bermakna sesuai dengan harapan dan kemampuan guru, serta kebutuhan dan kesiapan peserta didik. Dalam hal ini, pembelajaran terpadu memberikan peluang bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tema yang disampaikan.
Pembelajaran IPA Terpadu dapat mempermudah dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan dan nilai atau tindakan yang termuat dalam tema tersebut. Dengan model pembelajaran yang terpadu dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari, peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh, sistemik, dan analitik. Peserta didik akan lebih termotivasi dalam belajar bila mereka merasa bahwa pembelajaran itu bermakna baginya, dan bila mereka berhasil menerapkan apa yang telah dipelajarinya.
3) Beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus
Model pembelajaran IPA terpadu dapat menghemat waktu, tenaga, dan sarana, serta biaya karena pembelajaran beberapa kompetensi dasar dapat diajarkan sekaligus. Di samping itu, pembelajaran terpadu juga menyederhanakan langkah-langkah pembelajaran. Hal ini terjadi karena adanya proses pemaduan dan penyatuan sejumlah standar kompetensi, kompetensi dasar, dan langkah pembelajaran yang dipandang memiliki kesamaan atau keterkaitan.
b. Konsep Pembelajaran Terpadu Dalam Sains atau IPA
1) Kekuatan dan Kelemahan Pembelajaran Terpadu
Walaupun standar kompetensi dan kompetensi dasar IPA dikembangkan dalam bidang kajian, pada tingkat pelaksanaan guru memiliki keleluasaan dalam membelajarkan peserta didiknya untuk mencapai kompetensi tersebut. Salah satu contoh yang akan dikembangkan dalam model ini adalah guru dapat mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dekat dan relevan untuk dikemas dalam satu tema dan disajikan dalam kegiatan pembelajaran yang terpadu. Yang perlu dicatat ialah pemaduan kegiatan dalam bentuk tema sebaiknya dilakukan pada jenjang kelas yang sama dan masih dalam lingkup IPA sehingga memudahkan untuk penilaian.
Kekuatan/manfaat yang dapat dipetik melalui pelaksanaan pembelajaran terpadu antara lain sebagai berikut.
a) Dengan menggabungkan berbagai bidang kajian akan terjadi penghematan waktu, karena ketiga bidang kajian tersebut (Energi dan perubahannya, Materi dan sifatnya, dan Makhluk hidup dan proses kehidupan) dapat dibelajarkan sekaligus. Tumpang tindih materi juga dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
b) Peserta didik dapat melihat hubungan yang bermakna antarkonsep Energi dan perubahannya, Materi dan sifatnya, dan Makhluk hidup dan proses kehidupan.
c) Meningkatkan taraf kecakapan berpikir peserta didik, karena peserta didik dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih luas dan lebih dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran.
d) Pembelajaran terpadu menyajikan penerapan atau aplikasi tentang dunia nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memudahkan pemahaman konsep dan kepemilikan kompetensi IPA.
e) Motivasi belajar peserta didik dapat diperbaiki dan ditingkatkan.
f) Pembelajaran terpadu membantu menciptakan struktur kognitif yang dapat menjembatani antara pengetahuan awal peserta didik dengan pengalaman belajar yang terkait, sehingga pemahaman menjadi lebih terorganisasi dan mendalam, dan memudahkan memahami hubungan materi IPA dari satu konteks ke konteks lainnya.
g) Akan terjadi peningkatan kerja sama antar guru bidang kajian terkait, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik/guru dengan narasumber; sehingga belajar lebih menyenangkan, belajar dalam situasi nyata, dan dalam konteks yang lebih bermakna.
Di samping kekuatan atau manfaat yang dikemukakan itu, model pembelajaran IPA Terpadu juga memiliki kelemahan. Perlu disadari, bahwa sebenarnya tidak ada model pembelajaran yang cocok untuk semua konsep. Oleh karena itu, model pembelajaran harus disesuaikan dengan konsep yang akan diajarkan. Begitu pula dengan pembelajaran terpadu dalam IPA memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut ini:
a) Aspek Guru: berwawasan luas, memiliki kreativitas tinggi, keterampilan metodologis yang handal, rasa percaya diri yang tinggi, dan berani mengemas dan mengembangkan materi, bersedia mengembangkan diri untuk terus menggali informasi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan dan banyak membaca buku agar penguasaan bahan ajar tidak terfokus pada bidang kajian tertentu saja.
b) Aspek peserta didik: Pembelajaran terpadu menuntut kemampuan belajar peserta didik yang relatif “baik”, baik dalam kemampuan akademik maupun kreativitasnya. Hal ini terjadi karena model pembelajaran terpadu menekankan pada kemampuan analitik (mengurai), kemampuan asosiatif (menghubung-hubungkan), kemampuan eksploratif dan elaboratif (menemukan dan menggali).
c) Aspek sarana dan sumber pembelajaran: Pembelajaran terpadu memerlukan bahan bacaan atau sumber informasi yang cukup banyak dan bervariasi, termasuk juga fasilitas internet untuk menunjang, memperkaya, dan mempermudah pengembangan wawasan. Semua ini dapat diatasi karena internet mudah diakses dan warnet mudah ditemukan.
d) Aspek kurikulum: Kurikulum harus luwes, berorientasi pada pencapaian ketuntasan pemahaman peserta didik (bukan pada pencapaian target penyampaian materi). Guru mempunyai kewenangan dalam mengembangkan materi, metode, penilaian keberhasilan pembelajaran peserta didik.
e) Aspek penilaian: Pembelajaran terpadu membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh (komprehensif), dalam menetapkan keberhasilan belajar peserta didik dengan penilaian yang bervariasi serta berkoordinasi dengan guru lain, bila materi pelajaran berasal dari guru yang berbeda.
Sekalipun pembelajaran terpadu mengandung beberapa kelemahan selain keunggulannya, sebagai sebuah bentuk inovasi dalam implementasi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar perlu dikembangkan lebih lanjut. Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan di atas, perlu dibahas bersama antara guru bidang kajian terkait dengan sikap terbuka. Kesemuanya ini ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran IPA.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud proses pembelajaran sains dalam penelitian ini adalah suatu proses yang membelajarkan sains kepada peserta didik meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Karena dalam pembelajaran sains tidak hanya dari peserta didik menguasai pengetahuan tetapi juga gerak perbuatan peserta didik dalam belajar sains tercermin sikap positif dan respon peserta didik terhadap pelajaran sains. Pembelajaran sains menekankan peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berfikir, cara memperoleh informasi, pengalaman langsung terhadap dunia nyata, kebiasaan bekerja ilmiah, sikap dan nilai ilmiah. Adapun tujuan pembelajaran sains atau IPA yaitu: a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran, b. Meningkatkan minat dan motivasi, c. Beberapa kompetensi dasar dapat dicapai sekaligus. Pembelajaran terpadu mempunyai kelemahan dilihat dari aspek: a. Peserta didik, b. Guru, c. Sarana dan sumber pembelajaran, d. Penilaian, e. Kurikulum.
3. Implikasi Pembelajaran Sains atau IPA Terpadu
Menurut Depdiknas (2007: 20-24), sesuatu yang baru diperkenalkan atau merupakan inovasi tentu tidak mudah untuk dilaksanakan, karena memerlukan penyesuaian diri dan kemauan untuk beradaptasi. Begitu pula dengan pembelajaran IPA Terpadu. Pembelajaran terpadu biasa dilakukan jenjang pendidikan usia dini atau di Sekolah Dasar, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Beberapa implikasi pembelajaran sains yang perlu diperhatikan diantaranya:
a. Guru
Pembelajaran IPA Terpadu merupakan pendekatan yang mencoba menggabungkan antara berbagai bidang kajian IPA, yaitu fisika, kimia, dan biologi, maka dalam pelaksanaannya tidak lagi terpisah-pisah melainkan menjadi satu kesatuan. Hal ini memberikan implikasi terhadap guru yang mengajar di kelas. Di sekolah pada umumnya guru-guru yang tersedia terdiri atas guru-guru disiplin ilmu seperti fisika, kimia, dan biologi. Guru dengan latar belakang tersebut tentunya sulit untuk beradaptasi ke dalam pengintegrasian bidang kajian IPA, karena mereka yang memiliki latar belakang fisika tidak memiliki kemampuan yang optimal pada Kimia dan Biologi, begitu pula sebaliknya. Di samping itu, pembelajaran IPA juga menimbulkan konsekuensi terhadap berkurangnya beban jam pelajaran yang diemban guru-guru yang tercakup ke dalam bidang kajian IPA, sementara ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban atas beban jam mengajar untuk setiap guru masih tetap. Untuk itu, dalam pembelajaran IPA terpadu dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: 1) Team Teaching, dan 2) Guru Tunggal. Hal tersebut disesuaikan dengan keadaan guru dan kebijakan sekolah masing-masing.
1) Team Teaching
Pembelajaran terpadu dalam hal ini diajarkan dengan cara Team Teaching; satu topik pembelajaran dilakukan oleh lebih dari satu orang guru. Setiap guru memiliki tugas masing-masing sesuai dengan keahlian dan kesepakatan. Kelebihan sistem ini antara lain adalah: a) pencapaian KD pada setiap topik efektif karena dalam tim terdiri atas beberapa guru yang ahli dalam masing-masing bidang kajian (Fisika dan Biologi), b) pengalaman dan pemahaman peserta didik lebih kaya daripada dilakukan oleh satu orang guru karena dalam satu tim dapat mengungkapkan berbagai konsep dan pengalaman, dan c) peserta didik akan lebih cepat memahami karena diskusi akan berjalan dengan nara sumber dari berbagai disiplin ilmu.
Kelemahan dari sistem ini antara lain adalah jika tidak ada koordinasi, maka setiap guru dalam tim akan saling mengandalkan sehingga pencapaian KD tidak akan terpenuhi. Selanjutnya, jika kurang persiapan, penampilan di kelas akan tersendat-sendat karena skenario tidak berjalan dengan semestinya, sehingga para guru tidak tahu apa yang akan dilakukan di dalam kelas. Untuk itu diperlukan beberapa langkah seperti berikut:
a) Dilakukan penelaahan untuk memastikan berapa Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang harus dicapai dalam satu topik pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan berapa guru bidang studi IPA yang dapat dilibatkan dalam pembelajaran pada topik tersebut.
b) Setiap guru bertanggung jawab atas tercapainya Kompetensi Dasar yang termasuk dalam Standar Kompetensi yang ia mampu, seperti misalnya SK-1 oleh guru dengan latar belakang biologi, SK-2 oleh guru dengan latar belakang fisika, dan seterusnya.
c) Disusun skenario pembelajaran dengan melibatkan semua guru yang termasuk ke dalam topik yang bersangkutan, sebagai koordinator dipilih sesuai dengan presentase materi tertinggi atau terbanyak sehingga setiap anggota memahami apa yang harus dikerjakan dalam pembelajaran tersebut.
d) Sebaiknya dilakukan simulasi terlebih dahulu jika pembelajaran dengan sistem ini merupakan hal yang baru, sehingga tidak terjadi kecanggungan di dalam kelas.
e) Evaluasi menjadi tanggung jawab guru koordinator sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang dicapai, sehingga nilai dari setiap Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi menjadi nilai mata pelajaran IPA, sedangkan guru yang lain diharapkan memberikan soal.
f) Remedial menjadi tanggung jawab masing-masing guru sesuai dengan nilai yang diperoleh.
Dalam bab sebelumnya telah diuraikan, bahwa yang terpenting adalah kerja sama antar guru IPA yang ada di suatu sekolah dalam membuat perencanaan pembelajaran, mulai dari silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran hingga kesepakatan dalam bentuk penilaian. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka pembelajaran terpadu dapat meningkatkan kerja sama antar guru IPA, baik yang ada di sekolah maupun dalam lingkup MGMP. Kerja sama ini meliputi saling mempelajari materi dari bidang kajian yang lain. Selain meningkatkan kerja sama, pembelajaran terpadu juga meningkatkan keharusan bagi guru untuk memperluas wawasan pengetahuannya.
2) Guru Tunggal
Pembelajaran IPA dengan satu orang guru merupakan hal yang ideal dilakukan. Hal ini disebabkan: a) IPA merupakan satu mata pelajaran, b) guru dapat merancang skenario pembelajaran sesuai dengan topik yang ia kembangkan tanpa konsolidasi terlebih dahulu dengan guru yang lain, dan c) oleh karena tanggung jawab dipikul seorang diri, maka potensi untuk saling mengandalkan tidak akan muncul.
Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam pembelajaran IPA terpadu yang dilakukan oleh guru tunggal, yakni: a) Oleh karena mata pelajaran IPA terpadu merupakan hal yang baru, sedangkan guru-guru yang tersedia merupakan guru bidang studi sehingga sangat sulit untuk melakukan penggabungan terhadap berbagai bidang studi tersebut, b) Seorang guru bidang studi fisika tidak menguasai secara mendalam tentang kimia dan biologi sehingga dalam pembelajaran IPA terpadu akan didominasi oleh bidang studi yang selama ini diajarkannya sesuai dengan latar belakangnya, serta c) Jika skenario pembelajaran tidak menggunakan metode yang inovatif maka pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tidak akan tercapai karena akan menjadi sebuah narasi yang kering tanpa makna.
Untuk tercapainya pembelajaran IPA Terpadu yang dilakukan oleh guru tunggal tersebut, maka dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
a) Guru-guru yang tercakup ke dalam mata pelajaran IPA diberikan pelatihan bidang-bidang studi di luar bidang keahliannya, seperti guru bidang studi Fisika diberikan pelatihan tentang bidang studi Kimia dan Biologi.
b) Koordinasi antar bidang studi yang tercakup dalam mata pelajaran IPA tetap dilakukan, untuk mereviu apakah skenario yang disusun sudah dapat memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bidang studi di luar yang ia mampu.
c) Disusun skenario dengan metode pembelajaran yang inovatif dan memunculkan nalar para peserta didik sehingga guru tidak terjebak ke dalam pemaparan yang parsial untuk bidang studi.
d) Persiapan pembelajaran disusun dengan matang sesuai dengan target pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan topik yang dihasilkan dari pemetaan yang telah dilakukan.
Pembelajaran terpadu oleh guru tunggal dapat memperkecil masalah pelaksanaannya yang menyangkut jadwal pelajaran. Secara teknis, pengaturannya dapat dilakukan sejak awal semester atau awal tahun pelajaran. Hal yang perlu dihindarkan adalah pembahasan materi yang tidak seimbang karena wawasan pengetahuan tentang materi pelajaran yang lain kurang memadai. Hal utama yang harus dilakukan guru adalah memahami model pembelajaran terpadu secara konseptual maupun praktikal.
b. Peserta Didik
Ditinjau dari aspek peserta didik, pembelajaran IPA Terpadu memiliki peluang untuk pengembangan kreativitas akademik. Hal ini disebabkan model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik terhadap konsep-konsep yang dipadukan, karena dapat mengembangkan kemampuan sintesis konsep dan aplikasi konsep, kemampuan asosiatif, serta kemampuan eksploratif dan elaboratif. Selain itu, model pembelajaran IPA Terpadu dapat mempermudah dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami keterkaitan atau hubungan antara konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang terdapat dalam beberapa indikator dan Kompetensi Dasar. Dengan mempergunakan model pembelajaran IPA Terpadu, secara psikologik, peserta didik digiring berpikir secara luas dan mendalam untuk menangkap dan memahami hubungan-hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya, peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh, sistemik, dan analitik. Dengan demikian, pembelajaran model ini menuntun kemampuan belajar peserta didik lebih baik, baik dalam aspek intelegensi maupun kreativitas. Pembelajaran terpadu perlu dilakukan dengan variasi metode yang tidak membosankan. Aktivitas pembelajaran harus lebih banyak berpusat pada peserta didik agar dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya.
c. Bahan Ajar
Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran terpadu. Oleh karena pembelajaran terpadu pada dasarnya merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam ilmu alam maka pembelajaran ini memerlukan bahan ajar yang lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan pembelajaran monolitik. Dalam satu topik pembelajaran, diperlukan sejumlah sumber belajar yang sesuai dengan jumlah Standar Kompetensi yang merupakan jumlah bidang kajian yang tercakup di dalamnya. Sumber belajar utama yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA Terpadu dapat berbentuk teks tertulis seperti buku, majalah, brosur, surat kabar, poster dan informasi lepas, atau berupa lingkungan sekitar seperti: lingkungan alam, lingkungan sosial sehari-hari. Seorang guru yang akan menyusun materi perlu mengumpulkan dan mempersiapkan bahan kepustakaan atau rujukan (buku dan pedoman yang berkaitan dan sesuai) untuk menyusun dan mengembangkan silabus. Pencarian informasi ini, sebenarnya dapat pula memanfaatkan perangkat teknologi informasi mutakhir seperti multimedia dan internet. Aktivitas peserta didik dalam penugasan dapat memberi nilai tambah yang menguntungkan.
Bahan yang akan digunakan dapat berbentuk buku sumber utama atau buku penunjang lainnya. Di samping itu, bahan bacaan penunjang seperti jurnal, hasil penelitian, majalah, koran, brosur, serta alat pembelajaran yang terkait dengan indikator dan Kompetensi Dasar ditetapkan. Sebagai bahan penunjang, dapat juga digunakan disket, kaset, atau CD yang berkaitan dengan bahan yang akan dipadukan. Guru, dalam hal ini, dituntut untuk rajin dan kreatif mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam pembelajaran. Keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran terpadu tergantung pada wawasan, pengetahuan, pemahaman, dan tingkat kreativitasnya dalam mengelola bahan ajar. Semakin lengkap bahan yang terkumpulkan dan semakin luas wawasan dan pemahaman guru terhadap materi tersebut maka berkecenderungan akan semakin baik pembelajaran yang dilaksanakan.
Bahan yang sudah terkumpul selanjutnya dipilah, dikelompokkan, dan disusun ke dalam indikator dari Kompetensi Dasar. Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul secara memadai, seorang guru selanjutnya perlu mempelajari secara cermat dan mendalam tentang isi bahan ajar yang berkaitan dengan langkah kegiatan berikutnya.
d. Sarana dan Prasarana
Dalam pembelajaran IPA terpadu diperlukan berbagai sarana dan prasarana pembelajaran yang pada dasarnya relatif sama dengan pembelajaran yang lainnya, hanya saja ia memiliki kekhasan tersendiri dalam beberapa hal. Dalam pembelajaran IPA Terpadu, guru harus memilih secara jeli media yang akan digunakan, dalam hal ini media tersebut harus memiliki kegunaan yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai bidang studi yang terkait dan tentu saja terpadu. Karena digunakan untuk pembelajaran konsep yang direkatkan oleh tema, maka penggunaan sarana pembelajaran dapat lebih efisien jika dibandingkan dengan pemisahan bidang kajian. Namun demikian, dalam pembelajaran ini tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sarana yang relatif lebih banyak dari pembelajaran monolitik. Hal ini disebabkan untuk memberikan pengalaman yang terpadu, peserta didik harus diberikan ilustrasi dan demonstrasi yang komprehensif untuk satu topik tertentu. Guru dalam pembelajaran ini diharapkan dapat mengoptimalkan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA Terpadu.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini implikasi pembelajaran sains yang dimaksud dilihat dari: a. Aspek guru bahwa sains merupakan disiplin ilmu biologi, kimia dan fisika sehingga guru dalam mengajar harus mengintegrasikan bidang ilmu tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan kemampuan guru dilakukan dua cara yaitu Team Teaching dan Guru Tunggal. b. Aspek peserta didik bahwa aktivitas dalam membelajarkan IPA harus lebih banyak berpusat pada peserta didik agar dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. c. Aspek bahan ajar bahwa bahan ajar yang digunakan guru haruslah berdasarkan disiplin ilmu sains, sehingga guru dituntut kreatif untuk mencari bahan ajar yang variatif karena keberhasilan guru dalam melaksanakan pembelajaran sains tergantung pada wawasan, pengetahuan, pamahaman, dan tingkat kreativitasnya dalam mengelola bahan ajar. d. Aspek sarana dan prasarana bahwa guru harus kreatif dalam memilih sarana untuk pembelajaran sains karena sains sifatnya terintegrasi sehinggga sarana yang digunakan benar-benar mencakup disiplin ilmu tersebut.
4. Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu istilah yang sering kita gunakan sehingga tidak asing lagi bagi kita, begitu pula pengertian kreativitas bagi setiap orang berbeda-beda. Menurut S. C. Utami (1988: 1- 4), definisi kreativitas dapat ditinjau dari segi 4P yaitu:
a. Kreativitas ditinjau dari segi Pribadi
Kreativitas merupakan ungkapan unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau perilakunya.
b. Kreativitas ditinjau dari segi Faktor - faktor Pendorong Kreativitas
Muncul dan tumbuhnya kreativitas sehingga berkembangnya sesuatu kreasi yang diciptakan oleh seseorang individu dipengaruhi oleh kebudayaan, pengaruh masyarakat tempat individu itu hidup dan bekerja.
c. Kreativitas sebagai Proses
Kreativitas merupakan proses menunjuk pada perlunya seseorang berusaha untuk melihat lebih jauh dan lebih mendalam, daripada menginginkan hasil (produk) secepat-cepatnya.
d. Kreativitas sebagai Produk
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru.
Sedangkan menurut Nursisto (1999: 7) kreativitas adalah daya untuk menciptakan sesuatu dalam angan-angan dan sebagai motor dalam pendidikan. Pengertian lain dikatakan S. C. Utami (1999: 12), kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dan lingkungannya serta bakat yang secara potensial dimiliki oleh setiap orang, yang dapat diidentifikasi dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat. Torrance (David, 1974: 103), menyatakan bahwa:
Creativity as ”the process of becoming sensitive to problems, deficiencies, gaps in knowledge, missing elements, disharmonies, and so on, identifying the difficulty, searching for solution, making guesses, or formulating hypotheses about the deficiencies, testing and retesting hypotheses and possibly modifying and retesting them, and finally communicating the results”.
Kreativitas sebagai suatu proses memberikan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan atau masalah, sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur dalam pikiran merupakan keasyikan yang menyenangkan dan penuh tantangan bagi siswa kreatif. Kreativitas dalam hal ini merupakan proses berfikir di mana siswa berusaha untuk menemukan hubungan-hubungan baru. Mendapatkan jawaban metode atau cara baru dalam memecahkan suatu masalah. Bagi pendidikan, yang terpenting bukanlah apa yang dihasilkan dari proses tersebut, tetapi keasyikan dan kesenangan siswa terlibat dalam proses tersebut. Proses bersibuk diri secara kreatif perlu juga mendapatkan penghargaan dari pendidik. Guru tidak perlu selalu mengharapkan produk-produk yang berguna dari kegiatan kreativitasnya, yang perlu dirangsang dan dipupuk adalah sikap dan minat untuk melibatkan diri dalam kegiatan kreatif. Kreativitas merupakan kegiatan sehari-hari dan berlangsung seumur hidup dapat dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah (problem solving), Ekspresi kreatif (creative expression) empati, insightdalam hubungan sosial dan ide-ide yang bermakna dapat meningkatkan aktivitas kreatif melalui bantuan daya pikir yang lebih kaya. (Depdiknas, 2001: 2)
Demikian juga menurut West (2000: 14-16), terdapat beragam pengertian kreativitas seperti yang tertera dibawah ini:
a. Kreativitas adalah penyatuan pengetahuan dari berbagai bidang pengalaman yang berlainan untuk menghasilkan ide-ide baru dan lebih baik.
b. Kreativitas adalah menemukan pola-pola makna melintasi berbagai bidang pengetahuan dan pengalaman.
c. Kreativitas adalah suatu pertimbangan subjektif dan berkonteks spesifik mengenai kebaruan dan nilai suatu hasil dari perilaku individu atau kolektif.
d. Kreativitas adalah salah satu unsur kuat dari pengalaman hidup individual dan menjadi tanah subur bagi banyak akar kemajuan dan perjuangan manusia.
McKinnon (1970) (Hasan, 1991: 371), menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan intelektual tertentu dan sebagai fenomena kemanusiaan yang menghasilkan karya kreatif. Halliwell (Craft, 2003: 196-197), kreativitas dalam bidang pendidikan sebagai bagian dari kebiasaan, sebagai bagian dari tindakan dan ide sehari-hari, sebagai fleksibilitas daya cipta, karena tidak ada seorangpun yang identik. Fleksibilitas tergantung pada antisipasi dan imajinasi, yang didukung oleh organisasi dan penilaian yang kuat (kontrol atas ide-ide). Menurut Sasson (2007: 2), mengemukakan bahwa:
Teachers can teach creative thinking, explicit explanations about processes regarding creative thinking involve also encouragement for different skills of thinking. In order to encourage creative thinking, teacher must reformalize the theory behind pedagogical instruction. More open ended questions, varied student responses should be encouraged and explicit skills should be taught. Creative thinking should not ruin intrinsic motivation by restricting certain types of thinking processes. Teachers should teach strategies of flexible thinking through such as: Brainstorming, A search of alternatives, Incidental associations, Provocation – the method of showing another way of looking at something.
Maksudnya guru dapat mengajarkan berfikir kreatif, secara eksplisit guru menjelaskan tentang proses yang berkenaan dengan berfikir kreatif termasuk menekankan perbedaan kemampuan berfikir. Guru harus menyusun kembali teori dibalik instruksi pendidikan. Lebih terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan, bervariasinya respon peserta didik harus ditekankan dan diluar kemampuan yang harus dipikir. Berfikir kreatif tidak harus mengubah motivasi intrinsik dengan batas ketentuan tipe proses berfikir. Guru harus mengajar dengan strategi pendekatan berfikir fleksibel yaitu: gagasan yang orisinil, mencari alternatif, asosiasi kejadian, provokasi – metode yang menunjukkan cara lain melihat sesuatu.
Dan juga mengajar dengan kreatif dapat dimonitor dengan sadar, tergantung pada kualitas-kualitas sebagai berikut: Sebuah pengetahuan (sense) atas kebutuhan yang jelas, kemampuan untuk membaca situasi, sanggup mengambil resiko, dan kemampuan untuk memonitor dan mengevaluasi peristiwa-peristiwa. Menurut Suyanto dan Djihad (2000: 149-150), kreativitas merupakan sisi lain dari sebuah proses pemikiran yang sangat berharga dan menjadi modal penting bagi suatu kehidupan manusia. Salah satu ukuran kreativitas seseorang terletak pada kemampuannya berfikir divergen. Per Morten dan Vanessa (2007: 7), kemampuan berfikir divergen berkaitan dengan kemampuan lainnya yaitu:
among the abilities relating to divergent thinking are fluency, the ability to produce many solutions or ideas to a problem; flexibility, the ability to generate different types of solutions or ideas; and originality, the ability to generate rare and uncommon solutions or ideas.
Kemampuan yang berhubungan dengan berfikir divergen adalah kelancaran sebagai kemampuan menghasilkan banyak solusi atau ide suatu masalah; keluwesan sebagai kemampuan menghasilkan perbedaan tipe solusi atau ide; dan orisinil (asli) sebagai kemampuan menghasilkan ide atau solusi yang jarang dan luar biasa. Berfikir divergen dapat terjadi jika pada proses belajar mengajar, para siswa dapat terlibat dalam proses itu secara imajinatif yang dapat dilatih dengan melakukan pendekatan problem solving, discovery, dan inquiry. Orang yang kreatif adalah mereka yang mampu mencipta sesuatu yang sama sekali baru secara monumental. Kemampuan inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan global di abad ke-21. Tanpa adanya kreativitas, kita sulit memiliki unggulan kompetitif ditengah-tengah bangsa lain. Seperti yang diungkapkan oleh Rowe (2004: 3), ada empat gaya kreatif intelegensi yaitu: Intuitive(memfokuskan pada hasil dan meletakkan pada pengalaman lampau untuk membimbing aktivitas), Innovative (konsentrasi pada problem solving, sistematis, dan meletakkan pada data), Imaginative (dapat memvisualisasi kesempatan, seperti artistik, senang menulis, dan berfikir tidak seperti biasanya), Inspirational (fokus pada perubahan sosial dan memberikan sendiri hingga akhir). Sedangkan menurut Bartel (2008: 6), True creativity happens when intuitive imagination brings forth the previously unknown and unimagined. Maksudnya kreativitas benar-benar terjadi ketika intuisi dan imajinasi membawa kelanjutan dari munculnya ketidaktahuan dan tidak adanya imajinasi.
Lain halnya menurut Cece dan A. Tabrani (1991: 189), kreativitas biasanya diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru, baik yang benar-benar baru sama sekali maupun yang merupakan modifikasi ataupun perubahan dengan mengembangkan hal-hal yang sudah ada. Bila konsep ini dikaitkan dengan kreativitas guru, guru yang bersangkutan mungkin menciptakan suatu strategi mengajar yang benar-benar baru dan orisinil (asli ciptaan sendiri) atau dapat saja merupakan modifikasi dari berbagai strategi yang ada sehingga menghasilkan bentuk baru. Kreativitas itu erat sekali hubungannya dengan kecerdasan. Kreativitas hanya dapat diharapkan timbul dari mereka yang memiliki intelegensi tinggi, bukan dari mereka yang berintelegensi rendah. Implikasinya tidak dapat lain kecuali guru itu harus cerdas. Untuk memperoleh kreativitas yang tinggi sudah barang tentu guru harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi. Dalam praktek kependidikan kita, pada umumnya perubahan-perubahan yang terjadi datang dan hilang. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah para guru sebagai pelaksana di lapangan kurang memiliki kreativitas untuk memperbaiki mutu hasil belajar siswanya. Padahal, ada kemungkinan para guru mempunyai ide yang kreatif yang dapat menjadi sumbangan berharga bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Para guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui kondisi belajar, juga permasalahan belajar yang dihadapi oleh para siswanya karena hampir setiap harinya mereka berhadapan dengan siswa mereka.
Guru kreatif selalu mencari cara bagaimana agar proses belajar mencapai hasil sesuai dengan tujuan, serta berupaya menyesuaikan pola-pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan tuntutan pencapaian tujuan, dengan mengembangkan faktor situasi belajar siswa. Per Morten dan Vanessa (2007: 2), creative teaching the following way teachers using imaginative approaches to make learning more interesting, exciting, and effective. Mengajar yang kreatif mengikuti cara guru menggunakan pendekatan imajinatif untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan efektif. Kreativitas yang demikian memungkinkan guru yang bersangkutan menemukan bentuk-bentuk mengajar yang sesuai, terutama dalam bimbingan, rangsangan, dorongan, dan arahan agar siswa dapat belajar secara efektif. Menurut Mohammad (1980: 9), ciri-ciri pribadi kreatif yaitu:
a. Hasrat ingin tahu, b. Bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, c. Panjang akal, d. Keinginan untuk menemukan dan meneliti, e. Cenderung lebih suka untuk melakukan tugas-tugas yang berat dan sulit, f. Mencari jawaban-jawaban yang memuaskan dan komprehensip, g. Bergairah, aktif dan dedikasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya, h. Berfikir fleksibel, i. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan kebiasaan untuk memberikan jawaban lebih banyak, j. Kemampuan membuat analisa dan sintesa, k. Kemampuan membentuk abstraksi, l. Memiliki semangat ”inquiry”, m. Keluasan dalam latar belakang kemampuan membaca.
Demikian halnya yang dikemukakan oleh Slameto (1995: 147-148), kreativitas yang tinggi belum tentu tinggi tingkat kecerdasannya. Oleh sebab itu, individu dengan potensi kreatif dapat dikenal melalui pengamatan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hasrat keingintahuan yang cukup besar, b. Bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, c. Panjang akal, d. Keinginan untuk menemukan dan meneliti, e. Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit, f. Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, g. Memiliki dedikasi tinggi dan aktif dalam melaksanakan tugas, h. Berfikir fleksibel, i. Menanggapi pertanyaan yang diajukan dan cenderung memberi jawaban yang lebih banyak, j. Kemampuan membuat analisis dan sintesis, k. Memiliki semangat bertanya dan meneliti, l. Memiliki daya abstraksi yang cukup baik, m. Memiliki latar belakang membaca yang cukup luas.
Menurut West (2000: 36-39), salah satu cara untuk mengembangkan kepercayaan pada kreativitas adalah dengan mengembangkan sejumlah kualitas pribadi disertai ciri-ciri kepribadian yang kreatif yaitu: a. Nilai-nilai intelektual dan artistik, b. Ketertarikan pada kompleksitas, c. Kepedulian pada pekerjaan dan pencapaian, d. Ketekunan, e. Pemikiran yang mandiri, f. Toleransi terhadap ambiguitas, g. Otonom, h. Kepercayaan diri, i. Kesiapan mengambil resiko. Demikian juga dengan yang diungkapkan oleh S. C. Utami (1999: 37), ciri-ciri pribadi kreatif yaitu:
a. Imajinatif, b. Mempunyai prakarsa, c. Mempunyai minat luas, d. Mandiri dalam berfikir, e. Senang berpetualang, f. Penuh energi, g. Percaya diri, h. Bersedia mengambil resiko, i. Berani dalam pendirian dan keyakinan, j. Ingin tahu. Sedangkan menurut pendapat guru dan orang tua yaitu: a. Penuh energi, b. Mempunyai prakarsa, c. Percaya diri, d. Sopan, e. Rajin, f. Melaksanakan pekerjaan pada waktunya, g. Sehat, h. Berani dalam berpendapat, i. Mempunyai ingatan baik, j. Ulet.
Berdasarkan pendapat Carl Rogers (1902-1987) tiga kondisi dari pribadi yang kreatif ialah: a. Keterbukaan terhadap pengalaman, b. Kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang, c. Kemampuan untuk bereksperimen, untuk bermain dengan konsep-konsep. Menurut Hasan (1991: 375), proses kreatif adalah proses intelektual yang akan menghasilkan karya kreatif. Proses bermula dengan mengenal masalah merangsang pemikiran seorang pemikir dan berakhir dengan menghasilkan karya kreatif. Ada tujuh langkah di mana proses kreatif berjalan:
a. Merasai masalah, b. Menentukan masalah, c. Mengumpulkan data-data berkenaan dengan masalah, d. Mengusulkan penyelesaian, e. Mengkaji penyelesaian-penyelesaian yang diusulkan itu secara kritikal, f. Membentuk pikiran-pikiran baru, g. Menguji kebenaran pikiran-pikiran itu.
Menurut Wallas (1926) (WikiAnswers, 2008: 15), ada lima model proses kreatif diantaranya:
a. Preparation (preparatory work on a problem that focuses the individual’s mind on the problem and explores the problem’s dimensions).
b. Incubation (where the problem is internalized into the conscious mind and nothing appears externally to be happening).
c. Intimation (the creative person gets a feeling that solution is on its way).
d. Illumination or insight (where the creative idea bursts forth from its preconscious processing into conscious awareness).
e. Verification (where the idea is consciously verified, elaborated, and then applied).
Maksudnya proses kreatif mempunyai lima tahapan yaitu: tahap persiapan (kesiapan menghadapi masalah terfokus pada pikiran individu dan mengeksplor dimensi masalah tersebut), tahap inkubasi (masalah tersebut muncul dalam pikiran yang asli dan bukan muncul diluar kejadian), intimasi (orang kreatif mendapatkan solusi dari perasaannya), illuminasi (ide kreatif meledak keluar dari proses menjelang sadar hingga sadar yang sebenarnya), verifikasi (ide benar-benar dibuktikan, elaborasi, dan diaplikasikan).
Seperti halnya menurut S. C. Utami (1992: 88-93), ciri-ciri kreativitas dari aspek berfikir kreatif dan sikap kreatif, semuanya mempunyai perumusan yang menjelaskan konsepnya yaitu:
a. Berfikir fleksibel
1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi.
2) Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda.
3) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda.
4) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.
b. Berfikir divergen
1) Mencetuskan lebih dari satu kemungkinan jawaban atau pemecahan masalah.
2) Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal.
c. Berfikir orisinil
1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik.
2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri.
3) Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
d. Keterampilan menilai (mengevaluasi)
1) Menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan bijaksana.
2) Mampu mengambil keputusan terhadap situasi yang terbuka.
3) Tidak hanya mencatuskan gagasan, tetapi juga melaksanakannya.
e. Rasa ingin tahu
1) Selalu terdorong untuk mengetahui lebih banyak.
2) Mengajukan banyak pertanyaan.
3) Selalu memperhatikan orang, objek, dan situasi.
4) Peka dalam pengamatan dan ingin mengetahui atau meneliti.
f. Bersedia mengambil resiko
1) Berani memberikan jawaban meskipun belum tentu benar.
2) Tidak takut gagal atau mendapat kritik.
3) Tidak menjadi ragu-ragu karena ketidakjelasan, hal-hal yang tidak konvensional, atau yang kurang berstruktur.
g. Merasa tertantang oleh kemajemukan
1) Terdorong untuk mengatasi masalah yang sulit.
2) Merasa tertantang oleh situasi-situasi yang rumit.
3) Lebih tertarik pada tugas-tugas yang sulit.
h. Imajinatif
1) Mampu memperagakan atau membayangkan hal-hal yang tidak atau belum pernah terjadi.
2) Menggunakan khayalan, tetapi mengetahui perbedaan antara khayalan dan kenyataan.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini kreativitas ditinjau dari aspek diantaranya:
a. Kreativitas dari aspek pribadi dan lingkungan
Berkaitan dengan interaksi, pikiran, sikap, perasaan, lingkungan sehingga terbentuk suatu keunikan.
b. Kreativitas dari aspek proses
Berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu hal secara detail, urut, atau tahap demi tahap.
c. Kreativitas dari aspek produk
Berkaitan dengan hasil dari suatu proses yang di dalamnya terdapat interaksi dengan lingkungan yang tercermin dalam sikap, pikiran, dan perasaan.
Sedangkan ciri-ciri kreatif ditinjau dari berfikir kreatif dan sikap kreatif yaitu:
a. Berfikir kreatif
Berfikir fleksibel, berfikir divergen, berfikir orisinil, keterampilan menilai.
b. Sikap kreatif
Rasa ingin tahu, bersedia mengambil resiko, merasa tertantang oleh kemajemukan, imajinatif.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kreativitas
Setiap orang pada dasarnya mempunyai potensialitas kreatif, tetapi dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu eksternal (dari lingkungan) maupun kondisi internal (pribadi, dari dalam individu) agar dapat muncul, tumbuh dan terwujud menjadi karya-karya kreatif yang bermakna untuk individu dan masyarakatnya. Tumbuhnya kreativitas dikalangan guru memungkinkan terwujudnya ide perubahan dan upaya peningkatan secara terus-menerus dan sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat di mana sekolah berada. Disamping itu, tuntutan untuk meningkatkan kemampuan pun muncul dari dalam diri sendiri, tanpa menunggu ide atau perintah dari atasan. Menurut Cece dan A. Tabrani (1991: 189-190), kreativitas secara umum dipengaruhi kemunculannya oleh adanya berbagai kemampuan yang dimiliki, sikap dan minat yang positif dan tinggi terhadap bidang pekerjaan yang ditekuni, serta kecakapan melaksanakan tugas-tugas. Tumbuhnya kreativitas di kalangan guru dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya:
e. Iklim kerja yang memungkinkan para guru meningkatkan pengetahuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugas.
f. Kerja sama yang cukup baik antara berbagai personel pendidikan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
g. Pemberian penghargaan dan semangat terhadap setiap upaya yang bersifat positif dari para guru untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
h. Perbedaan status yang tidak terlalu tajam di antara personel sekolah sehingga memungkinkan terjalinnya hubungan manusiawi yang lebih harmonis.
i. Pemberian kepercayaan kepada para guru untuk meningkatkan diri dan mempertunjukkan karya dan gagasan kreatifnya.
j. Menimpakan kewenangan yang cukup besar kepada para guru dalam melaksanakan tugas dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanan tugas.
k. Pemberian kesempatan kepada para guru untuk ambil bagian dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan di sekolah yang bersangkutan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan hasil belajar.
Berdasarkan kajian Fryer dan Collings (Craft, 2003: 199), bahwa lebih dari 1000 sikap guru terhadap kreativitas, sebagian besar guru dalam studi tersebut melihat kreativitas dalam arti ”imajinasi”, ”originalitas”, dan ”ekspresi diri”. Hanya separo yang mengakui ”perbedaan/divergensi” sebagai hal yang relevan bagi kreativitas. Pikiran konvergen hanya dilihat sebagai hal yang relevan sekitar 10,2% dari sampel, agaknya karena sangat sedikit guru dalam studi tersebut memandang ”pikiran yang berdaya” sebagai proses utama bagi kreativitas. Sedikit guru yang melihat kreativitas sebagai sesuatu yang mencakup proses-proses misterius yaitu 9,1%, sekitar 18,1% lebih banyak yang berfikir bahwa proses bawah sadar dan 14,6% melihat kreativitas sebagai sesuatu yang termasuk inspirasi. Menurut S. C. Utami (1988: 18-20), sikap dan kondisi yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individu yaitu: a. kesendirian, b. mengambil waktu untuk berfikir dan ber-rasa, c. merenung dan melamun, d. berfikir bebas, e. kesiapan untuk melihat kesamaan atau analogi, f. kesediaan untuk menunda pemberian kritik, pertimbangan atau penilaian untuk waktu tertentu, g. konflik sebagai motivasi, h. kesiagaan dan disiplin.
Keberhasilan seseorang dalam menjalankan tugas dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan dari luar dirinya. Dengan demikian kreativitas seorang guru dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dari dalam maupun dari luar dirinya. Dalam penelitian ini dibahas faktor yang berasal dari dalam diri guru yaitu: motivasi kerja, sedangkan faktor yang berasal dari luarnya adalah fasilitas sekolah, iklim sekolah, jenjang pendidikan guru.
a. Motivasi Kerja Guru
Perilaku seseorang ditimbulkan atau dimulai dengan adanya motivasi. Menurut Sardiman (2006: 73), Umumnya orang menyebut dengan ”motif” untuk menunjuk mengapa seseorang berbuat sesuatu. Kata ”motif” diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Berawal dari kata ”motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya ”feeling” dan didahului dengan tanggapan.
Berdasarkan teori Psikoanalitik, motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelu selesai.
2) Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa dan tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya).
3) Menunjukkan minat untuk bermacam-macam masalah
4) Lebih senang bekerja mandiri
5) Cepat bosan dengan tugas-tugas rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja sehingga kurang kreatif).
6) Dapat mempertahankan pendapatnya kalau sudah yakin sesuatu.
7) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
8) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
Menurut Arden N. Frandsen (Sardiman, 2006: 46), ada beberapa hal yang mempengaruhi motivasi seseorang yakni:
1) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas.
2) Adanya sifat yang kreatif dan adanya keinginan untuk selalu maju.
3) Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua dan teman-temannya.
4) Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan kooperasi maupu kompetisi.
5) Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran.
6) Adanya ganjaran atau hukuman
Sedangkan Maslow mengemukakan dorongan-dorongan dipengaruhi oleh:
1) Adanya kebutuhan fisik
2) Adanya kebutuhan akan rasa aman, bebas dari ketakutan
3) Adanya kebutuhan akan kecintaan dan penerimaan dalam hubungan dengan orang lain.
4) Adanya kebutuhan untuk mendapatkan kehormatan dari masyarakat.
5) Sesuai dengan sifat seseorang untuk mengemukakan atau mengetengahkan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud motivasi kerja guru dalam penelitian ini adalah motivasi dalam diri seorang guru menyebabkan guru menjadi aktif melakukan tugas-tugasnya. Motivasi tersebut berasal dari dalam diri seseorang. Motivasi seseorang dipengaruhi oleh adanya sifat rasa ingin tahu, minat luas, adanya sifat kreatif, adanya keinginan untuk maju, adanya keinginan mendapat simpati dari orang terdekatnya, keinginan mendapatkan rasa aman.
b. Fasilitas Sekolah
Menurut H. Wahyuningrum (2000: 4), fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan pelaksanaan suatu usaha. Fasilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu fasilitas fisik dan fasilitas uang.
1) Fasilitas fisik adalah segala sesuatu yang berupa benda atau yang dapat dibendakan, yang mempunyai peranan dapat memudahkan dan melancarkan suatu usaha. Fasilitas fisik dapat disebut juga dengan fasilitas materiil. Karena fasilitas ini dapat memberi kemudahan dan kelancaran bagi suatu usaha dan biasanya diperlukan sebelum suatu kegiatan berlangsung maka dapat pula disebut sebagai sarana materiil. Apabila dikaitkan dengan pendidikan maka fasilitas materiil meliputi: perabot ruang kelas, perabot kantor TU, perabot laboratorium, perpustakaan dan ruang praktek, alat pelajaran, media pendidikan, dan lain-lain.
2) Fasilitas uang adalah segala sesuatu yang dapat memberi kemudahan suatu kegiatan sebagai akibat dari ”nilai uang”.
Sarana pendidikan adalah segala fasilitas yang diperlukan dalam proses pembelajaran, yang dapat meliputi barang yang bergerak maupun barang tidak bergerak agar tujuan pendidikan dicapai secara efektif dan efisien. Barang bergerak adalah barang yang dapat dipindah tempatkan sedang barang tidak bergerak adalah barang yang tidak dapat dipindah tempatkan. Dilihat dari fungsinya atau peranannya terhadap proses pembelajaran maka saran pendidikan dibedakan menjadi: alat pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran.
1) Alat pelajaran adalah alat atau benda yang dipergunakan secara langsung oleh guru atau peserta didik dalam proses pembelajaran. Alat pelajaran dapat dibedakan menurut:
a) Bentuknya (buku, alat peraga, alat praktek, alat tulis menulis)
b) Pengguna (klasikal dan individual)
c) Bidang pelajaran (IPA, matematika, IPS, kesenian, Agama, bahasa dan olah raga)
2) Alat peraga adalah segala sesuatu yang digunakan oleh guru untuk memperagakan atau memperjelas pelajaran. Alat peraga dapat dibedakan menurut yang menggunakan (secara langsung dan secara tidak langsung) dan bidang pelajaran. Guru dapat menjelaskan suatu mata pelajaran dengan mengunjungi suatu tempat sebagai alat peraganya.
3) Media pengajaran adalah suatu sarana yang digunakan untuk menampilkan pelajaran, tetapi juga dapat untuk mengganti kehadiran guru di depan kelas. Media pengajaran dapat dibedakan menurut:
a) Indera yang digunakan (audio, visual)
b) Komponen (hardware dan software)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud fasilitas sekolah dalam penelitian ini adalah fasilitas yang digunakan dalam proses pembelajaran sehingga tujuan pendidikan tercapai dengan efektif dan efisien. Fasilitas pendidikan tersebut dibedakan menjadi: alat pelajaran, alat peraga, dan media pengajaran.
c. Iklim Sekolah
Menurut Depdikbud (1982) (P. Hari, 2006: 22), iklim sekolah sebagai suasana dalam organisasi sekolah yang diciptakan oleh pola hubungan antar pribadi yang ada dalam organisasi sekolah tersebut. Berdasarkan pengertian ini, iklim kondusif suatu sekolah ditentukan oleh harmonis tidaknya hubungan antar pribadi yang terjadi di sekolah tersebut. Hubungan antar pribadi di sekolah akan menciptakan suatu situasi yang mungkin diinginkan atau tidak oleh pribadi yang bersangkutan karena pribadi yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi.
Dengan menciptakan iklim sekolah yang kondusif maka diantara para guru sendiri harus ada keterbukaan, kepercayaan, keakraban dan kerja sama. Oleh karena itu, para guru perlu melakukan kerja sama dalam kelompok mereka sendiri, saling memberi dan menerima tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas guru sebagai pendidik. Para guru diharapkan mendiskusikan informasi-informasi penting baik yang diterima dari orang tua, guru-guru lain maupun yang didengar dari siswa, sehingga mereka sama-sama mengetahui permasalahannya dan dapat segera diselesaikan. Prinsip kebersamaan harus dikembangkan di sekolah dengan cara saling memberi pandangan dan nilai baik yang positif maupun yang negatif.
Menurut Reynolds (P. Hari, 2006: 23), iklim sekolah yang tidak sehat akan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
1) Adanya ketidak percayaan (a lack of trust)
2) Adanya pengambilan resiko yang rendah (low risk taking)
3) Adanya rasa tidak hormat antara warga sekolah atau dengan orang lain (a lack of respect).
4) Bila ada tugas, menghindari tanggung jawab (avoiding responsibility)
5) Tidak ada pengakuan terhadap usaha keras (no recognition for effort)
6) Komunikasi yang tertutup (closed communication)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud iklim sekolah dalam penelitian ini adalah suatu kondisi yang kondusif dalam menciptakan iklim sekolah yang mana ditentukan oleh hubungan antar sesama guru maupun peserta didik sehingga tercipta suatu keterbukaan, kepercayaan, keakraban dan kerja sama.
6. Pengembangan Kreativitas
Hidup dalam suatu masa dimana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya untuk digunakan secara konstruktif maupun destruktif, suatu adaptasi kreatif merupakan satu-satunya kemungkinan bagi suatu bangsa yang sedang berkembang, untuk dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, untuk dapat menghadapi problema-problema yang semakin kompleks. Oleh sebab itu, pengembangan kreativitas sangat penting untuk menghadapi persaingan antar bangsa sekarang ini. Seperti halnya yang dikemukakan Clegg dan Birch (2001: 8), musuh utama kreativitas adalah wawasan yang sempit dan inspirasi yang dangkal.
Menurut S. C. Utami (1999: 17), Adapun kebijakan tentang pengembangan kreativitas khususnya mengenai pendidikan nasional, GBHN 1993 menekankan bahwa ”pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani”. Selanjutnya ditekankan pula bahwa ”iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju”. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pengembangan kreativitas (daya cipta) hendaknya dimulai pada usia dini, yaitu di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan dalam pendidikan prasekolah. Hoang (2007: 212-214), peran orang tua dan guru dalam pembelajaran sains yaitu:
Parental and teacher motivation has an important role in education of students. The evidence suggests that students in ninth grade who are 15-16 years of age have a strong desire to please first their parents and second their teacher. There is a strong positive relationship between parent and teacher with goal students. The use of parents and teacher as motivating factors is implicit within the education system today. It needs to be more explicit. Parents influenced students’ thoughts on the importance of learning and how to learn. Furthermore, the teacher impact is one that needs to be explored more.
Maksudnya pentingnya motivasi dari orang tua dan guru dalam mengatur pendidikan peserta didik. Fakta-fakta yang menganggap bahwa peserta didik tingkat ke-9 yang berusia antara 15-16 tahun memiliki keinginan yang kuat, senang yang pertama pada orang tua mereka dan kedua guru mereka. Disana terdapat hubungan positif yang kuat antara orang tua dan guru dengan keberhasilan peserta didik. Peranan orang tua dan guru sebagai faktor yang selengkapnya memotivasi dalam sistem pendidikan sekarang ini dan hal tersebut lebih ditingkatkan lagi. Orang tua berpengaruh pada pemikiran peserta didik pentingnya pembelajaran dan bagaimana belajar. Selanjutnya satu dampak guru yang perlu lebih di eksplor.
Secara eksplisit dinyatakan pada setiap tahap perkembangan anak ada pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan prasekolah sampai diperguruan tinggi, bahwa kreativitas perlu dipupuk, dikembangkan dan ditingkatkan, disamping mengembangkan kecerdasan dan ciri-ciri lain yang menunjang pembangunan. Menurut S. C. Utami (1999: 31), beberapa alasan dalam pengembangan kreativitas sejak usia dini, diantaranya:
a. Karena dengan berkreasi seseorang dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) dirinya, dan perwujudan atau aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia. Kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya.
b. Kreativitas atau berfikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan. Di sekolah yang terutama dilatih adalah penerimaan pengetahuan, ingatan, dan penalaran (berfikir logis).
c. Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat (bagi diri pribadi dan lingkungan) tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.
d. Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era pembangunan ini kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara bergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, dan teknologi baru. Untuk mencapai hal itu, diperlukan sikap, pemikiran, dan perilaku kreatif dipupuk sejak dini.
Pengembangan kreativitas sangat diperlukan apalagi pada sekolah. Motivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sehari-hari akan bermakna, baik bagi dirinya pribadi maupun masyarakat apabila disertai dengan potensi kreatif yang dimilikinya. Lingkungan keluarga dan sekolah sangatlah berpengaruh terhadap optimalisasi potensi kreatif seseorang khususnya pada anak. Menurut Toynbee (Suyanto dan Djihad, 2000: 150), pengembangan kreativitas juga merupakan persoalan hidup matinya suatu masyarakat. To give a fair chance to potential creativity is a matter of life and death for any society. This is all important, because the out-standing creative ability of a fairly small percentage of the population is mankind’s ultimate capital asset. Untuk menjamin kreativitas dapat berkembang di sekolah, sistem pembelajaran harus dapat dikondisikan ke arah munculnya berbagai pemikiran alternatif dan divergen dari para siswanya. Oleh karena itu, para guru harus berani mengajar secara dinamik, tematik dan kontekstual.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pengembangan kreativitas dalam penelitian ini adalah pengembangan kreativitas didukung oleh motivasi tinggi untuk berkembangnya potensi kreatif seseorang, hal ini dimulai sejak usia dini yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah sehingga mereka dapat mengaktualisasikan diri dalam satu kesatuan baik dari cara berfikir yang logis, sikap, perasaan, yang pada akhirnya optimalisasi potensi kreatif tersebut dapat tercapai. Dengan pengembangan kreativitas, seseorang memunculkan ide-ide baru, penemuan baru, dan teknologi baru.
7. Guru
Menurut Cece dan A. Tabrani (1991: 1-2), Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan, bahkan menjadi tokoh identifikasi guru. Oleh sebab itu, guru seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Untuk melaksanakan tugasnya secara baik sesuai dengan profesi yang dimilikinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang dimilikinya. Demikian juga guru dalam proses belajar-mengajar harus memiliki kemampuan tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar-mengajar pada khususnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut guru perlu membina diri secara baik karena fungsi guru itu sendiri adalah membina dan mengembangkan kemampuan siswa secara profesional di dalam proses belajar-mengajar. Demikian juga halnya Mc Nergney dan Carrier (1981: 1), menyatakan bahwa:
The purpose of teacher education should be to encourage the growth of teachers as person and as professionals. Teachers who are growing are becoming more open, more humane, more skillful, more complex, more complete pedagogues and human beings. They are fulfilling their own unique potentials or doing for themselves what other expect them to do for students. But often teacher educators fail to recognize that teachers, like students, have different needs and abilities.
Maksudnya tujuan pendidikan guru haruslah mendorong perkembangan guru sebagai seorang yang professional. Para guru yang sedang berkembang menjadikan lebih terbuka, lebih memanusiakan, lebih berkemampuan, lebih kompleks, lebih lengkap pendidikan. Mereka mencapai potensi unik atau melakukan untuk mereka sendiri apakah lainnya mengharapkan mereka juga melakukan untuk para peserta didik. Tetapi guru pendidik tentunya mengakui bahwa guru-guru, peserta didik, memiliki perbedaan kebutuhan dan kemampuan.
Dalam membina kemampuan para siswa sudah barang tentu guru harus memiliki kemampuan tersendiri. Adapun kemampuan yang harus dimiliki guru meliputi kemampuan mengawasi, membina, dan mengembangkan kemampuan siswa, baik personal, profesional, maupun sosial. Berdasarkan UU No.14 tahun 2005 pasal 1 bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Menurut Jones (2008: 1-4), lima prinsip profesionalisme guru sains dalam mengajar sains diantaranya:
a. Deals with the importance of helping all students grow and learn. Specifically as science teacher is make sure that every student has the opportunity and encouragement to learn.
b. States that teachers will take “personal responsibility for their professional growth”. This means that teachers will actively seek out opportunities to learn more about science content and the pedagogy of teaching science such as following wonderful conferences and workshops that are offered to science teachers.
c. The importance of being leaders in the profession as science teacher for reached goal learning. Science teachers become much more effective when they collaborate with each other, sharing successes and problem and seeking solutions together.
d. Principle is not unique to science teachers but rather speaks to the entire profession of teaching. Importance of upholding personal and professional ethics. It is vital that all teachers remember that teaching is about the learning and the physical and the psychological health of their students. The goals for teaching are centered in the students.
e. Principle takes a different turn. It discussed the types of support needed for professional teachers of science because indeed for science teachers to develop type of professionalism that equates with excellence in the classroom, many support systems need to be in place.
Maksudnya pentingnya guru dalam membantu menumbuhkan belajar peserta didik, guru harus bertanggung jawab terhadap perkembangan professionalitasnya dalam mengajar sains, adanya komunikasi yang baik dengan guru sains lainnya demi keberhasilan pembelajaran sains, pentingnya menguatkan diri dan etika profesionalitas karena mengajar berkaitan erat dengan pembelajaran dan keberhasilan mengajar terletak pada peserta didiknya, perlunya dukungan system yang kuat untuk perkembangan profesionalitas guru sains.
Menurut Nana Sudjana yang dikutip Cece dan A. Tabrani (1991: 183), asumsi yang mendasari perangkat kompetensi guru yaitu: Hakikat Pendidikan, ada lima hal yang menjadi dasar dalam hakikat pendidikan, yakni: a. pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik, b. pendidikan merupakan usaha penyediaan subjek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin cepat, c. pendiikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat, d. pendidikan berlangsung seumur hidup, e. pendidikan merupakan niat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Hakikat Guru, hal ini bertolak dari tujuh hal, yakni: a. guru merupakan agen pembaharuan, b. guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat, c. guru sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar, d. guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik, e. guru dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya, f. guru bertanggung jawab secara profesional untuk terus-menerus meningkatkan kemampuannya, g. guru menjunjung tinggi kode etik profesional.
Menurut M. Uzer (1995: 5), guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan. Demikian juga dengan yang dikemukakan oleh Tim Didaktik Pendidikan (1981: 14-15), guru dan para pendidik pada umumnya, adalah perintis pembangunan di segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Tetapi juga merupakan pahlawan yang tak dikenal atau tak mau dikenal masyarakat. Seorang guru yang benar-benar sadar akan tugas dan tanggung jawabnya tersebut, tentulah akan selalu mawas diri, mengadakan introspeksi, berusaha selalu ingin berkembang maju, agar bisa menunaikan tugasnya lebih baik, dengan selalu menambah pengetahuan, memperkaya pengalaman, meng”up grade” dirinya melalui membaca buku-buku perpustakaan, mengikuti seminar loka-karya, kursus-kursus penataran, dan sebagainya agar selalu bisa mengikuti gejolak perubahan sosiokultural dalam masyarakat serta kemajuan ilmu dan teknologi modern dewasa ini.
Guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching, yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang memberikan ilham ini guru yang baik menghidupkan gagasan-gagasan yang besar, keinginan yang besar pada murid-muridnya. Demikian juga yang dikemukakan oleh Borich (2000: 2), guru yang baik mempunyai karakteristik tertentu diantaranya:
Characteristics of a good teacher such as from personality, attitude, experience, and aptitude/achievement.
a. Personality
Permissiveness, dogmatism, authoritarianism, achievement-motivation, introversion-extroversion, abstractness-concreteness, directness-indirectness, locus of control, anxiety: general and teaching.
b. Attitude
Motivation to teach, attitude toward children, attitude toward teaching, attitude toward authority, vocational interest, attitude toward self (self concept), attitude toward subject taught.
c. Experience
Years of teaching experience, experience in subject taught, experience in grade level taught, workshop attended, graduate courses taken, degrees held, professional papers written.
d. Aptitude/Achievement
National teachers exam, graduate record exam, scholastic aptitude test: verbal and quantitative, special ability test, grade point average: overall and in major subject, professional recommendations, student evaluations of teaching effectiveness, student teaching evaluations.
Maksudnya guru yang baik mempunyai karakteristik dilihat dari individual, sikap, pengalaman, dan prestasi. Menurut Suyanto dan Djihad (2000: 33), Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan manusia di jagad raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah muridnya. Dampak akademiknya adalah ilmu dan pengetahuan yang diperoleh guru semakin cepat usang. Seperti yang dikemukakan oleh Tim Didaktik Pendidikan (1981: 20), sifat-sifat yang dimiliki seorang guru yang baik adalah:
a. Berwibawa, b. Jujur, c. Bertanggung jawab, d. Adil bijaksana dalam memutuskan sesuatu, e. Rajin, f. Mudah bergaul dan tidak sombong, g. Cinta kepada tugasnya, h. Bisa mendisiplinkan diri sendiri, i. Pemaaf, tetapi juga harus dapat bersifat tegas dimana perlu, j. Tidak lekas marah, k. Mau mendengar pendapat orang lain, l. Selalu ingin menyelaraskan pengetahuannya dan meningkatkan kecakapan profesinya dengan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, m. Loyalitas terhadap bangsa dan negaranya, n. Tidak mengharapkan balas budi karena jasanya terhadap muridnya.
Menurut Andrias (2001: 71), seorang pengajar yang profesional pastilah seorang guru sejati. Namun, pengajar yang tidak atau belum profesional adalah guru yang dalam keadaan potensial dan belum aktual. Ia harus belajar lagi secara mandiri agar dapat menjadi (to be, becoming) guru sejati. Dan proses belajar dari seorang pengajar menjadi seorang guru sejati atau pengajar profesional itu dapat dilakukan sambil tetap mengajar di sekolah. Berdasarkan Mochtar (1994: 35), ada lima faktor yang mempengaruhi kualitas perilaku guru dalam melaksanakan tugasnya, diantaranya:
a. Jenis kewenangan (authority) yang benar-benar diserahkan kepada guru, b. Kualitas atasan yang mengawasi dan mengontrol perilaku guru, c. Kebebasan yang diberikan kepada guru, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, d. Hubungan guru dengan murid-muridnya, e. Pengetahuan guru tentang dirinya sendiri dan kepercayaan terhadap diri sendiri.
Dalam usaha meningkatkan kualifikasi guru maka muncullah program pendidikan guru. Program ini disusun untuk menanamkan dan mengembangkan: a. Dedikasi guru terhadap tugasnya pada khususnya dan kemajuan bangsa pada umumnya, b. Kemampuan berfikir kritis dan reflektif setiap guru terhadap tugasnya serta terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan bangsa, c. Kehidupan intelektual dalam arti penerapan yang lebih intensif metode kerja ilmiah dan menyelaraskan tingkat pengetahuan guru dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, d. Kualitas dan kemampuan profesional guru yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan secara profesional segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tanggung jawabnya. (Depdikbud. Ditjen Dikdasmen, 2003: 176). Demikian pula yang dikemukakan oleh Nana (1997: 209), pendidikan guru yang didasarkan atas kompetensi mengajar dan Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) mempunyai beberapa proposisi:
a. Guru adalah orang yang berpendidikan luas dengan latar belakang bidang pengajaran yang mendalam.
b. Perbuatan guru memanifestasikan penguasaan behavioural science yang luas.
c. Dalam keputusan ia ambil secara rasional.
d. Guru menguasai teknik-teknik komunikasi serta strategi mengajar dengan baik.
e. Dalam perbuatannya guru merefleksikan profesinalisme.
Sama halnya Mc Nergney dan Carrier (1981: 7), menyatakan bahwa:
The most visible attempt to improve teaching directly through scientific methods has been performance or competency based teacher education (P/CBTE). Performance or competency based programs have been characterized by a. specification of learner objectives in behavioral terms, b. specification of the means of determining whether performance meets the indicated criterion levels, c. provision for one or more modes of instruction pertinent to the objectives, through which the learning activities may take place, d. public sharing of the objectives, assessment by criteria and alternative activities, e. assessment of the learning experience in terms of competency criteria, f. placement on the learner of accountability for meeting the criteria.
Maksudnya kebanyakan usaha memperbaiki mengajar secara langsung terletak pada metode ilmiah yang telah ditampilkan atau pendidikan guru berdasarkan kompetensi. Penampilan atau program-program berbasis kompetensi dicirikan oleh: a. Pembelajar objektif dalam sikap, b. Ketentuan khusus apakah penampilan yang sesuai diindikasikan tingkatan kriteria, c. Ketentuan untuk satu atau lebih model instruksi berhubungan objektif, dimana aktivitas pembelajaran berada, d. Sebagian publik mengarah objektif, terletak pada kriteria penilaian dan aktivitas alternatif, e. Penilaian pengalaman pembelajaran termasuk pada kriteria kompetensi, f. Menempatkan akuntabilitas pembelajar untuk kriteria yang sesuai.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud Guru dalam penelitian ini adalah guru yang mampu menjadi ujung tombak dalam menentukan kualitas pendidikan terutama kualitas peserta didik. Bukan hal yang mudah untuk menjadi seorang guru, karena membutuhkan kemampuan yang profesional, perilaku yang baik, memiliki dedikasi tinggi terhadap tugasnya sebagai guru, mempunyai gagasan-gagasan besar, berfikir kritis dan logis, mempunyai semangat intelektual dalam membina dan mengembangkan peserta didik secara utuh.
8. Hasil Belajar Peserta Didik
Menurut Depdiknas (2004: 1), berdasarkan UU RI No.20 tahun 2003 tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional mencakup tiga kelompok kemampuan, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan berbuat, dan perilaku atau perbuatan. Tujuan ini menjadi landasan dalam merancang proses pembelajaran peserta didik serta sistem penilaiannya.
Menurut Tengku (2001: 82-84), suatu aktivitas pembelajaran dapat dikatakan efektif bila proses pembelajaran tersebut dapat mewujudkan sasaran atau hasil belajar tertentu. Beraneka ragamnya tingkah laku yang diperoleh dalam perbuatan belajar, maka orang menyebutnya sebagai kapabilitas. Kapabilitas ini tidak hanya pada pengetahuan, akan tetapi juga mencakup sikap dan keterampilan. Ketiga kawasan merupakan minded integrity. Artinya ketiga kawasan ini akan dapat diperoleh/ dicapai melalui suatu aktivitas pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa hasil belajar merupakan kapabilitas atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar yang dapat dikategorikan dalam lima macam yaitu : a. Informasi verbal (verbal information), b. Keterampilan intelektual (intellectual skills), c. Strategi kognitif (cognitive strategies), d. Sikap (attitude), e. Keterampilan motorik (motor skills). Kelima macam hasil belajar dimaksud diuraikan sebagai berikut :
a. Informasi verbal yaitu kemampuan seseorang untuk menuangkan pikirannya dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.
b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk membedakan, mengabstraksikan suatu objek, menghubung-hubungkan konsep dan dapat menghasilkan suatu pengertian, memecahkan persoalan yang dihadapinya.
b. Strategi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas mentalnya sendiri dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya.
c. Sikap adalah kemampuan yang dimiliki seseorang berupa kecenderungan dengan menerima dan menolak suatu objek berdasarkan penilaian atas objek itu.
d. Keterampilan motorik adalah kemampuan seseorang untuk melakukan serangkaian gerakan jasmani dari anggota badan secara terpadu dan terkoordinasi.
Berkaitan dengan kemampuan yang diperoleh sebagai hasil belajar. Bloom dan rekan-rekannya (Benyamin S. Bloom, 1956) membagi hasil belajar dalam tiga ranah yaitu: a. Ranah kognitif (cognitive domain), b. Ranah afektif (affective domain), dan c. Ranah psikomotor (psychomotor domain). Ketiga ranah atau kawasan ini atau kawasan itu dirinci menjadi menjadi aspek-aspek sebagai berikut: Ranah kognitif meliputi: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi; Ranah afektif mencakup penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup; serta Ranah psikomotor terdiri dari: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan yang kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Kedua teori mengenai hasil belajar yang diuraikan di atas menjadi acuan untuk mengkaji hakikat hasil belajar sebagai konsekuensi logis kegiatan pembelajaran. Sebagai implikasi terhadap pengelolaan pembelajaran maka pengajar dapat melakukan kegiatan antara lain:
a. Untuk mengidentifikasi jenis perilaku disarankan untuk menggunakan klasifikasi yang dikembangkan oleh Bloom yaitu: ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
b. Untuk kegiatan pembelajaran, sistematika yang dikembangkan oleh Gagne sangat membantu, karena sistematika ini menunjukkan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan oleh pengajar dalam proses pembelajaran.
c. Untuk dapat mengembangkan komponen-komponen dari kemampuan yang dimiliki peserta didik secara berdaya guna, maka dimungkinkan untuk menggunakan klasifikasi Bloom dan sistematika Gagne dalam bentuk kombinasi. Dengan cara ini kegiatan pembelajaran dapat dicapai sasarannya, baik dari segi pencapaian substansi (isi ajaran), pelaksanaan dan langkah-langkah pembelajaran yang sistematis maupun terwujudnya jenis perilaku yang diharapkan.
Menurut Hamzah dan Sofyan (2006: 140-142), penilaian bertujuan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar peserta didik dan hasil mengajar guru. Informasi hasil belajar atau hasil mengajar berupa kompetensi dasar yang dikuasai dan yang belum dikuasai oleh peserta didik. Hasil belajar peserta didik digunakan untuk memotivasi peserta didik, dan untuk perbaikan serta peningkatan kualitas pembelajaran oleh guru. Pemanfaatan hasil belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran harus didukung oleh peserta didik, guru, kepala sekolah, orang tua peserta didik. Dukungan ini diperoleh apabila mereka memperoleh informasi hasil belajar yang lengkap dan akurat. Laporan hasil belajar peserta didik mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Informasi ranah kognitif dan psikomotor diperoleh dari sistem penilaian yang digunakan untuk mata pelajaran yang sesuai dengan tuntutan kompetensi dasar. Informasi ranah afektif diperoleh melalui kuesioner, inventori, dan pengamatan yang sistematik. Adapun pemanfaatan hasil penilaian bagi peserta didik, orang tua, guru dan kepala sekolah yaitu:
a. Peserta Didik
Informasi hasil belajar dapat dimanfaatkan peserta didik untuk: 1) Mengetahui kemajuan hasil belajar diri, 2) Mengetahui konsep-konsep atau teori yang belum dikuasai, 3) Memotivasi diri untuk belajar lebih baik, 4) Memperbaiki strategi belajar.
b. Orang Tua
Informasi hasil belajar dapat dimanfaatkan orang tua untuk: 1) Membantu anaknya belajar, 2) Memotivasi anaknya belajar, 3) Membentuk sekolah meningkatkan hasil belajar peserta didik, 4) Membantu sekolah melengkapi fasilitas belajar.
c. Guru dan Kepala Sekolah
Informasi hasil belajar dapat dimanfaatkan guru dan kepala sekolah untuk: 1) Memberikan informasi mengenai kelemahan dan kekuatan peserta didik dalam semua mata pelajaran, 2) Mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan menentukan strategi mengajar yang lebih tepat, 3) Mendorong sekolah agar memberi fasilitas belajar lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hasil belajar peserta didik dalam penelitian ini adalah hasil belajar peserta didik diperoleh dari aktivitas pembelajaran atau disebut kapabilitas. Dimana kapabilitas tersebut dilihat dari pengetahuan, sikap dan keterampilan. Menurut Bloom dan Gagne, Hasil belajar peserta didik didasarkan pada aspek kognitif (intelektual dan kemampuan verbal), aspek afektif (sikap), aspek psikomotor (keterampilan gerakan). Hasil belajar peserta didik dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik, dan untuk perbaikan serta peningkatan kualitas pembelajaran oleh guru.
a. Aspek Afektif
Depdiknas (2004: 2-8), menyatakan bahwa semua mata pelajaran memerlukan aspek afektif agar hasil kegiatan pembelajaran siswa dapat dicapai secara optimal. Mereka yang tidak berminat pada suatu mata pelajaran tidak bisa diharapkan hasil belajarnya akan optimal seperti yang diharapkan. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai. Ranah afektif menentukan keberhasilan seseorang. Orang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan studi secara optimal. Oleh karena itu, semua guru harus mampu membangkitkan minat semua siswa terhadap pelajaran yang diajarkan. Demikian pula aspek sikap memegang peran penting, siswa yang memiliki sikap yang positif terhadap suatu pelajaran dapat diharapkan hasil belajarnya optimal. Ikatan emosional sangat diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Nilai yang positif adalah yang mendorong siswa belajar dan guru mengajar yang lebih baik, sedang yang negatif adalah yang menghambat siswa belajar dan guru mengajar.
1) Sikap
Sikap menurut Thurstone adalah intensitas positif atau negatif terhadap objek psikologi. Objek ini bisa berupa simbol, orang, slogan, ide atau tindakan. Objek ini pada sekolah adalah sikap siswa terhadap sekolah, sikap siswa terhadap pelajaran. Sikap positif tersebut diperoleh dari pengalaman belajar yang telah dialami siswa setelah mengikuti pelajaran, karena hal ini salah satu indikator keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
2) Minat
Minat menurut Tyler adalah tujuan sekolah yang berkaitan dengan minat dapat diterima apabila aktivitas sekolah memberi kontribusi terhadap pengembangan individu, kompetensi sosial, atau kepuasan hidup. Sekolah yang memenuhi keperluan atau keinginan siswa akan mampu meningkatkan minat siswa terhadap suatu objek atau kegiatan. Oleh sebab itu, tujuan pembelajaran seperti yang tercantum pada kompetensi dasar harus disertai dengan peningkatan minat siswa, walau hanya tersirat.
3) Nilai
Nilai menurut Rokeach adalah nilai mengacu pada keyakinan, sikap mengacu pada keyakinan sekitar objek dan situasi. Jadi sikap seseorang terhadap objek ditentukan oleh nilai yang dianutnya.
Kemampuan afektif merupakan bagian dari hasil belajar dan memiliki peran yang penting. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor sangat ditentukan oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tersebut, sehingga dapat diharapkan akan mencapai hasil belajar yang optimal, guru dalam merancang program pembelajaran dan pengalaman belajar siswa harus memperhatikan karakteristik afektif siswa.
Pengukuran ranah afektif tidaklah semudah mengukur ranah kognitif. Pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah sewaktu-waktu. Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai. Menurut Depdikbud (1983) (Suharsimi, 2007 : 177-178), tujuan penilaian afektif adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendapatkan umpan balik (feedback) baik bagi guru maupun siswa sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program perbaikan (remedial program) bagi anak didiknya.
2) Untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku anak didik yang dicapai yang antara lain diperlukan sebagai bahan bagi : perbaikan tingkah laku anak didik, pemberian laporan kepada orang tua dan penentuan lulus tidaknya anak didik.
3) Untuk menempatkan anak didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat pencapaian dan kemampuan serta karakteristik anak didik.
4) Untuk mengenal latar belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah laku anak didik.
Menurut Cronbach (1970) (Suharsimi, 2002:178) menyatakan bahwa, “Sehubungan dengan tujuan penilaian ini maka yang menjadi sasaran penilaian kawasan afektif adalah perilaku anak didik bukan pengetahuannya. Pertanyaaan afektif tidak menuntut jawaban benar atau salah, tetapi jawaban yang khusus tentang dirinya mengenai minat, sikap dan internalisasi nilai”.
Menurut E. Mulyasa (2006: 140-141), kompetensi dan indikator kompetensi yang menjadi patokan penilaian aspek afektif berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu:
Dalam pembelajaran sains komponen afektif, misalnya sikap ilmiah. Menurut taksonomi Krathwol (Beane dan Toepfer, 1944: 233-234), level ranah afektif ada lima yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.
1) Receiving (attending)
Siswa memiliki keinginan menghadiri atau mengunjungi suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan dan sebagainya. Dilihat dari tugas guru, hal ini berkaitan dengan mengarahkan perhatian siswa terhadap suatu kegiatan.
2) Responding
Merupakan partisipasi aktif siswa, yaitu sebagian dari perilakunya. Pada peringkat ini siswa tidak saja mengunjungi fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran ini menekankan pada kegiatan memberi respon, kepuasan dalam memberi respons. Level tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus.
3) Valuing
Penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada level ini berhubungan dengan perilaku ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
4) Organization
Hasil pembelajaran pada level ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.
5) Characterization
Pada level ini siswa memiliki system nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada level ini berkaitan dengan personal, emosi, dan sosial.
Menurut Andersen (Depdiknas, 2004: 6), pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif yaitu: perasaaan dan emosi seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah: intensitas, arah dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan perasaan. Arah berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan, arah menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan.
Menurut Sunaryo (1983: 12), beberapa kemampuan afektif yang menjadi parameter adalah:
1) Menerima atau memperhatikan. Jenjang pertama ini akan meliputi sifat sensitif terhadap adanya eksistensi suatu fenomena tertentu atau suatu stimulus dan kesadaran yang merupakan perilaku kognitif dan cenderung kepada sikap.
2) Merespon. Dalam jenjang ini peserta didik akan dilibatkan secara puas dalam suatu subjek tertentu, fenomena atau suatu kegiatan sehingga ia akan mencari-cari dan menambah kepuasan dari bekerja dengannya atau terlibat didalamnya dan cenderung pada minat.
3) Penghargaan. Perilaku peserta didik adalah konsisten dan labil, tidak hanya persetujuan terhadap suatu nilai tetapi juga pemilihan terhadapnya dan keterikatannya pada suatu pandangan atau ide tertentu.
4) Mengorganisasikan. Peserta didik membentuk suatu sistem nilai yang dapat menuntun perilaku meliputi konseptualisasi dan mengorganisasi.
5) Perwatakan atau pribadi. Tingkat terakhir sudah internalisasi, nilai-nilai telah mendapatkan tempat pada diri individu, diorganisir ke dalam suatu sistem yang bersifat internal, memiliki kontrol perilaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud aspek afektif dalam penelitian ini adalah sikap, minat, nilai dan konsep diri. Sikap dilihat dari perasaan positif atau negatif siswa terhadap suatu objek (kegiatan dan mata pelajaran). Minat dilihat dari keingintahuan siswa tentang keadaan suatu mata pelajaran. Nilai dilihat dari keyakinan siswa tentang keadaan suatu kegiatan atau mata pelajaran. Konsep diri dilihat dari pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata pelajaran.
Penilaian afektif berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dilihat dari beberapa kompetensi yaitu: Receiving (penerimaan), Responding (Menanggapi), Valuing(Penamaan nilai), Organization (Pengorganisasian), Characterization (Karakterisasi).
b. Aspek Psikomotor
Depdiknas (2004: 3-7), menyatakan bahwa kemampuan psikomotor adalah kemampuan yang berkaitan dengan gerak yang terkoordinasi dalam susunan syaraf dalam otak atau pikiran. Tingkatan kemampuan ini ada enam yaitu: gerakan reflek, gerakan dasar, kemampuan perseptual, kemampuan fisik, kemampuan melakukan gerak terampil, dan kemampuan berkomunikasi nondiskursip. Gerak reflek adalah respon motor atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang diperlukan untuk mencapai suatu keterampilan yang kompleks. Kemampuan perseptual adalah kombinasi kemampuan kognitif dan kemampuan motor atau gerak. Kemampuan fisik adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan tubuh yang paling terampil. Gerakan terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar. Komunikasi nondiskursip adalah kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan. Menurut Beane dan Toepfer (1944: 234), patokan penilaian aspek psikomotor diantaranya: perception (persepsi), set (demonstrasi pengetahuan), guide response (membimbing respon), mechanism (mekanisme), complex overt response (demonstrasi yang benar), adaptation (penyesuaian) , origination (keaslian).
Menurut E. Mulyasa (2006: 141), kompetensi dan indikator kompetensi yang menjadi patokan penilaian aspek psikomotor berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu:
Menurut Mills (1977) (Depdiknas, 2004: 7), langkah-langkah dalam mengajar praktik adalah:
1) Menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan
2) Analisis keterampilan secara detail dan catatan operasi serta urutannya.
3) Mendemontrasikan keterampilan tersebut disertai dengan penjelasan singkat dengan memberikan perhatian pada butir-butir kunci termasuk kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan itu serta bagian-bagian yang sukar.
4) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba praktik dengan pengawasan dan bimbingan.
5) Memberikan penilaian terhadap usaha siswa.
Pembelajaran keterampilan akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil mengerjakan (learning by doing). Untuk SMP, mata pelajaran yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah pendidikan sains, pendidikan jasmani, pendidikan seni, dan pendidikan keterampilan. Menurut Sunaryo (1983: 13), beberapa kemampuan psikomotor yang menjadi tolak ukur adalah:
1) Menirukan. Apabila ditunjukkan kepada peserta didik suatu action yang dapat diamati (observable), maka ia akan mulai membuat suatu tiruan terhadap action itu sampai pada tingkat sistem otot-ototnya dan dituntun oleh dorongan kata hati untuk menirukan.
2) Manipulasi. Peserta didik dapat menampilkan suatu action seperti yang diajarkan dan juga tidak hanya seperti yang diamati. Dia mulai dapat membedakan antara satu set action dengan yang lain, mampu memilih action yang diperlukan dan mulai memuliki keterampilan dalam memanipulasi implementasi.
3) Keseksamaan (Precision). Kemampuan peserta didik dalam penampilan, telah sampai pada tingkat perbaikan yang lebih tinggi dalam memproduksi suatu kegiatan tertentu.
4) Artikulasi (Articulation). Peserta didik bisa mengkoordinasikan sederetan action dengan menetapkan urutan secara tepat diantara action yang berbeda-beda.
5) Naturalisasi. Apabila peserta didik sudah melakukan secara alami satu action atau sejumlah action yang urut.
Menurut Mulyani (1988: 136-137), keterampilan psikomotor banyak hubungannya dengan gerakan jasmani atau keterampilan anggota badan. Dibawah ini beberapa prinsip dan strategi yang dapat membantu merencanakan pengajaran di sekolah yaitu:
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud aspek psikomotor dalam penelitian ini adalah berdasarkan penilaian psikomotor pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dilihat dari beberapa kompetensi yaitu: Observing(Pengamatan), Imitation (Peniruan), Practicing (Pembiasaan), Adapting(Penyesuaian).
c. Aspek kognitif
Menurut Depdiknas (2004: 1), kemampuan berfikir termasuk pada ranah kognitif, yang meliputi kemampuan menghafal, kemampuan memahami, kemampuan mengaplikasi, kemampuan menganalisis, kemampuan mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Kemampuan yang penting pada ranah kognitif adalah kemampuan menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah yang ada di lapangan. Kemampuan ini sering disebut dengan kemampuan menggunakan pengetahuan pada berbagai situasi sesuai dengan konteksnya. Hal ini berkaitan dengan prinsip pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran diusahakan ada contoh penggunaan konsep atau prinsip yang ada dalam mata pelajaran di lapangan.
Menurut E. Mulyasa (2006: 139-140), kompetensi dan indikator kompetensi yang menjadi patokan penilaian aspek kognitif berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu:
Menurut Mulyani (1988: 132-135), beberapa keterampilan kognitif agar dapat membantu peserta didik dalam mempraktekkan suatu jenis keterampilan. Prinsip-prinsip dan strategi tersebut adalah:
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud aspek kognitif dalam penelitian ini adalah berdasarkan penilaian kognitif pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dilihat dari beberapa kompetensi yaitu: Knowledge (Pengetahuan), Comprehension(Pemahaman), Application (Penerapan), Analysis (Analisis), Synthesis(Sintesis), Evaluation (Evaluasi).
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa hasil penelitian yang relevan mendukung teori yang dikemukakan diatas diantaranya:
1. Penelitian tentang kreativitas guru dalam proses pembelajaran ilmu pengetahuan sosial.
Penelitian Lelly Qodariyah (2000) tentang “Kreativitas guru dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Dasar di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara guru SD unggul dan kreativitas guru SD biasa. Kreativitas guru SD unggul lebih baik dibandingkan kreativitas guru SD biasa. Perbedaan kreativitas tersebut dikarenakan pemanfaatan lingkungan sekolah sebagai media pengajaran, sarana belajar yang menunjang, dan masukan (input) yang lebih pada SD unggul. Disamping itu, gaji guru dan masa kerja guru tidak mempengaruhi perbedaan kreativitas guru SD. Penelitian Lely tersebut ada kesamaannya dengan penelitian ini, yaitu sama meneliti tentang kreativitas guru. Perbedaannya terletak pada penelitian Lely menggunakan sampel sedangkan penelitian ini tidak menggunakan sampel karena populasi yang tidak besar. Demikian juga penelitian ini tertuju pada kreativitas guru sains SMP dalam proses pembelajaran sains.
2. Penelitian tentang kreativitas guru bahasa inggris dalam pengelolaan kelas.
Penelitian Ni Luh Tjandrawati (2004) tentang “kreativitas guru bahasa inggris yang diamati dalam pengelolaan kelas secara umum cukup tinggi, terutama dalam menyusun rencana pembelajaran, dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran, dan dalam memberikan motivasi dan meningkatkan kreativitas siswa. Jadi, kreativitas ketiga orang guru bahasa inggris dalam pengelolaan kelas di SMA Kristen Petra 1 Surabaya secara umum tergolong tinggi. Hal ini sangat logis jika dikaitkan dengan kelengkapan, sarana dan prasarana penunjang pembelajaran, serta iklim sekolah. Penelitian Ni Luh tersebut ada kesamaannya dengan penelitian ini, yaitu sama meneliti tentang kreativitas guru. Perbedannya yaitu penelitian Ni Luh menggunakan metode kualitatif sedangkan penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Demikian juga, penelitian Ni Luh terfokus pada kreativitas guru Bahasa Inggris di SMA Kristen Petra 1 Surabaya.
3. Penelitian tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru SMP Negeri di Kecamatan Bantul.
Penelitian P. Hari Yunanto (2006) tentang “Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru SMP Negeri di Kecamatan Bantul”. Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan untuk motivasi kerja, kepuasan kerja, iklim sekolah, dan gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru SMP Negeri di kecamatan Bantul, karena output analisis regresi menunjukkan nilai koefisien korelasi ganda (R) sebesar 0,978 dan nilai F hitung sebesar 654,891 dengan harga signifikansi p=0,000, kurang dari 0,05 (p<0,05).
C. Kerangka Berfikir
Untuk memperoleh kreativitas yang tinggi sudah barang tentu guru harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi. Dalam praktek kependidikan kita, pada umumnya perubahan-perubahan yang terjadi datang dan hilang. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah para guru sebagai pelaksana di lapangan kurang memiliki kreativitas untuk memperbaiki mutu hasil belajar siswanya. Padahal, ada kemungkinan para guru mempunyai ide yang kreatif yang dapat menjadi sumbangan berharga bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Para guru dipandang sebagai orang yang paling mengetahui kondisi belajar, juga permasalahan belajar yang dihadapi oleh para siswanya karena hampir setiap harinya mereka berhadapan dengan siswa mereka. Guru kreatif selalu mencari cara bagaimana agar proses belajar mencapai hasil sesuai dengan tujuan, serta berupaya menyesuaikan pola-pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan tuntutan pencapaian tujuan, dengan mengembangkan faktor situasi belajar siswa. Kreativitas yang demikian memungkinkan guru yang bersangkutan menemukan bentuk-bentuk mengajar yang sesuai, terutama dalam bimbingan, rangsangan, dorongan, dan arahan agar siswa dapat belajar secara efektif. Oleh sebab itu, kreativitas seseorang dipengaruhi oleh faktor dalam diri seseorang sehingga mendorong dan menggerakkan untuk melakukan sesuatu dan mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi dalam proses pembelajaran, guru yang kreatif didukung juga oleh kualitas dan kualifikasi guru, fasilitas sekolah yang memadai, dan mempunyai motivasi tinggi.
Dalam mengajar dan membelajarkan sains kepada peserta didik guru harus menampilkan kreativitasnya sehingga pembelajaran bermakna bagi peserta didik dan hal ini juga akan berdampak pada hasil belajar sains peserta didik karena selama ini pelajaran sains dianggap sebagai pelajaran yang monoton dan membosankan bagi peserta didik. Guru yang kreatif perlu ditunjang juga oleh tersedianya fasilitas meskipun guru memiliki kreativitas sendiri. Bila guru kreatif, peserta didik akan tertarik dan termotivasi untuk belajar sains sehingga mendukung peningkatan hasil belajar sains mereka. Hasil belajar sains yang dimaksud adalah dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh sebab itu, kreativitas seorang guru akan terlihat pada hasil belajar peserta didik yang ditinjau dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kreativitas seorang guru akan terlihat dari hasil belajar sains dari aspek kognitif peserta didik, karena guru yang kreatif dalam membelajarkan sains menjadikan peserta didik mampu memaknai pelajaran sains dengan baik sehingga mereka paham konsep-konsep sains. Aspek kognitif ini kaitannya dengan kemampuan berfikir peserta didik, dalam hal ini kemampuan yang penting dari aspek ini adalah kemampuan menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah yang ada di lapangan, artinya peserta didik dapat mengaitkan konsep pengetahuan sainsnya dengan dunia nyata. Kemampuan ini sering disebut dengan kemampuan menggunakan pengetahuan pada berbagai situasi sesuai dengan konteksnya. Aspek kognitif meliputi Knowledge(Pengetahuan), Comprehension (Pemahaman), Application(Penerapan), Analysis (Analisis), Synthesis (Sintesis), Evaluation(Evaluasi).
Kreativitas guru juga terlihat dari hasil belajar sains dari aspek afektif peserta didik, karena guru yang kreatif dalam membelajarkan sains yang bermakna bagi peserta didik sehingga mereka tertarik dan berminat terhadap mata pelajaran sains. Selain aspek kognitif, ternyata aspek afektif juga penting karena dalam kegiatan pembelajaran sikap positif peserta didik mempunyai peranan penting untuk mengetahui hasil belajar sainsnya dan diharapkan hasilnya optimal. Nilai positif yang mendorong siswa belajar dan guru mengajar lebih baik. Ranah afektif menentukan keberhasilan seseorang. Peserta didik yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar sains secara optimal. Oleh karena itu, semua guru harus mampu membangkitkan minat semua siswa terhadap pelajaran sains yang diajarkan. Ikatan emosional sangat diperlukan peserta didik untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Maka dari itu, aspek afektif mencakup Receiving (Penerimaan), Responding (Menanggapi), Valuing (Penamaan nilai), Organization (Pengorganisasian), Characterization (Karakterisasi).
Kreativitas seorang guru terlihat dari hasil belajar sains dari aspek psikomotor peserta didik. Guru yang kreatif dalam membelajarkan sains dapat memberikan contoh yang baik dan peserta didik mampu untuk menerapkannya sehingga peserta didik terbiasa konsisten dengan gerak perbuatan yang dilakukannya itu baik juga mendukung tercapainya hasil belajar sains yang optimal. kemampuan psikomotor adalah kemampuan yang berkaitan dengan gerak yang terkoordinasi dalam susunan syaraf dalam otak atau pikiran. Guru dapat kreatif dalam mengajar sains membuat pelajaran sains menjadi bermakna bagi peserta didik, ketika mereka menghadapi masalah muncullah kemampuan berfikir mereka dalam menerapkan konsep, dengan mereka berfikir maka di dalamnya terdapat gerak perbuatan yang baik dimana mencerminkan sikap positif peserta didik terhadap pelajaran sains yang mereka terima. Aspek psikomotor meliputi: Observing (Pengamatan), Imitation (Peniruan), Practicing (Pembiasaan), Adapting (Penyesuaian).
Untuk mengetahui kreativitas guru kelas VII dalam proses pembelajaran sains terhadap hasil belajar peserta didik di SMP N Kecamatan Pengasih digunakan instrumen sebagai sarana dalam memperoleh data yang akurat yaitu melalui angket, dokumentasi dan observasi. Disini menggunakan angket untuk memperoleh informasi tentang kreativitas guru dan aspek afektif peserta didik. Sedangkan dilakukan observasi, karena informasi berupa aspek kognitif, kreativitas guru, psikomotor peserta didik dan faktor lain yang berpengaruh tidak dapat diperoleh melalui angket melainkan diperoleh dengan melakukan observasi langsung disekolah. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian ex-postfacto kausal komparatif karena mengidentifikasi hubungan sebab akibat yang telah terjadi dengan sendirinya tanpa memanipulasi variabel independen. Setelah data terkumpul sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai maka dilakukan analisis data untuk memperoleh hasil yang signifikan. Analisis data dimulai dari deskripsi data, uji prasyarat analisis (uji normalitas dan homogenitas), dan uji hipotesis.
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berfikir dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih?
2. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih?
3. Adakah pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih?
E. Hipotesis Penelitian
Penelitian ini dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih.
2. Terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih.
3. Terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Pengasih yaitu: SMP N 1 Pengasih, SMP N 2 Pengasih, SMP N 3 Pengasih, SMP N 4 Pengasih. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Juni 2008.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini dikategorikan penelitian ex-postfacto kausal komparatif dengan pendekatan kuantitatif. Menurut Sukardi (2003: 171), penelitian ex-postfacto kausal komparatif merupakan usaha mengidentifikasi hubungan sebab akibat dengan cara merunut kembali hubungan variabel tersebut karena mereka telah terjadi dengan sendirinya dan variabel penyebab tidak dimanipulasi. Interpretasi penelitian hanya menekankan pada hubungan dan prediksi variabel dengan tidak terlalu berorientasi pada hubungan sebab akibat. Dalam hal ini adalah kreativitas guru tidak dimanipulasi karena variabel sudah terjadi sendiri sehingga tidak terlalu berorientasi pada hubungan sebab akibat antara kreativitas guru terhadap hasil belajar peserta didik dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kreativitas guru adalah kemampuan berfikir kreatif dalam proses pembelajaran, mempunyai kemampuan berfikir fleksibel, berfikir divergen, berfikir orisinil, keterampilan menilai, rasa ingin tahu, bersedia mengambil resiko, merasa tertantang oleh kemajemukan, imajinatif.
2. Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh peserta didik dari proses belajar, diantaranya kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan psikomotor.
3. Aspek kognitif adalah Kemampuan berfikir peserta didik dalam menggunakan pengetahuan pada berbagai situasi sesuai dengan konteks permasalahannya. Aspek kognitif meliputi Knowledge (Pengetahuan), Comprehension (Pemahaman), Application(Penerapan), Analysis (Analisis), Synthesis (Sintesis), Evaluation(Evaluasi).
4. Aspek afektif adalah kemampuan yang berkaitan dengan sikap peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Peserta didik yang mencerminkan aspek afektif tersebut meliputi: Receiving (Penerimaan), Responding (Menanggapi), Valuing (Penamaan nilai), Organization (Pengorganisasian), Characterization (Karakterisasi).
5. Aspek psikomotor adalah kemampuan yang berkaitan dengan gerak yang terkoordinasi dalam susunan syaraf dalam otak atau pikiran. Aspek psikomotor meliputi: Observing (Pengamatan), Imitation (Peniruan), Practicing (Pembiasaan), Adapting (Penyesuaian).
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah guru sains kelas VII SMP Negeri Pengasih yang jumlahnya 5 orang, seperti yang telah tertera pada tabel 6. Karena jumlah populasi yang relatif sedikit, sehingga penelitian kreativitas guru ini tidak menggunakan sampel.
E. Asumsi Penelitian
Dalam proses pembelajaran sains, guru harus profesional dalam membelajarkan sains kepada siswa sehingga dapat terbentuk sikap positif siswa terhadap sains, dalam hal ini mereka akan tertarik belajar sains dan menjadikan sains sebagai suatu hal yang menyenangkan bagi siswa bukan suatu hal yang menakutkan sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan sainsnya dengan baik, memiliki keterampilan sains dan memahami hakikat sains itu sebenarnya. Selain itu juga, guru perlu mengenal bakat siswa karena siswa berasal dari latar belakang berbeda dan memiliki variasi belajar yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mengakomodasi hal tersebut, diperlukan suatu kreativitas dari para pengajar agar siswa dengan ragam tipenya dapat belajar dengan maksimal. Akan tetapi dalam pembelajaran sains diduga kreativitas seorang guru berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik yang menyangkut aspek dari kognitif, afektif dan psikomotor. Masing-masing aspek tersebut saling terkait dalam satu rangkaian kegiatan belajar yang dialami peserta didik, sehingga guru dituntut untuk kreatif agar hasil peserta didik dari masing-masing aspek kognitif, afektif dan psikomotor dapat mencapai hasil yang optimal. Dengan adanya kreativitas guru maka akan melahirkan strategi-strategi baru yang didasarkan atas ide-ide guru sendiri yang berasal dari pengetahuan yang dimilikinya, akan tetapi ada beberapa ciri-ciri yang mendukung guru itu kreatif yaitu:
a. Berfikir kreatif
Berfikir fleksibel, berfikir divergen, berfikir orisinil, keterampilan menilai.
b. Sikap kreatif
Rasa ingin tahu, bersedia mengambil resiko, merasa tertantang oleh kemajemukan, imajinatif.
Berfikir kreatif dan sikap kreatif merupakan komponen yang berperan penting dalam rangkaian kegiatan kreatif yaitu mulai dari aspek pribadi dan lingkungan, proses, dan produk.
F. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang digunakan peneliti adalah angket, observasi, dan dokumentasi.
1. Variabel penelitian
Variabel yang di teliti dalam penelitian ini sebagai berikut :
Variabel terikat (Dependen variabel ) :
Y1 : Hasil belajar dari aspek kognitif
Y2 : Hasil belajar dari aspek psikomotor
Y3 : Hasil belajar dari aspek afektif
Variabel bebas ( Independen variabel ):
X : Kreativitas Guru sains SMP Negeri Pengasih
2. Pengembangan dan pengukuran instrumen penelitian
Teknik pengumpulan data di sesuaikan dengan variabel yang akan di teliti. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga macam instrumen, yaitu: angket, observasi, dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mendapatkan data primer. kreativitas guru sains sebagai variabel bebas dan hasil belajar peserta didik dari aspek kognitif afektif dan psikomotor sebagai variabel terikat. Dokumentasi dan observasi digunakan sebagai bahan untuk validasi data dan mempertajam pembahasan. Dalam mengukur kreativitas guru sains dan hasil belajar peserta didik dari aspek afektif digunakan angket tertutup. Sedangkan hasil belajar peserta didik dari aspek kognitif dilihat dari hasil tes dan aspek psikomotor peserta didik dilihat dari observasi. Untuk mendukung perolehan data kreativitas guru sains selain dari angket yaitu dilakukan observasi. Pada setiap butir pernyataan instrumen tersebut disediakan 4 alternatif jawaban dengan menggunakan skala Likert dengan 4 skala yaitu: Sangat setuju (SS) apabila responden selalu melakukan pernyataan dalam angket, Setuju (S) apabila responden sering melakukan pernyataan dalam angket, Tidak setuju (TS) apabila responden jarang melakukannya dan Sangat tidak setuju (STS) apabila responden tidak pernah melakukannya. Adapun pedoman penyekoran angket seperti pada tabel 7:
Pedoman Penyekoran Angket Kreativitas Guru
Alternatif pilihan | Jenis pernyataan |
Positif | |
Setuju Sangat Setuju | 4 |
Setuju | 3 |
Tidak Setuju | 2 |
Sangat Tidak Setuju | 1 |
Butir-butir angket disajikan pada tabel 8, 9, dan 10:
3. Hasil Uji Coba Instrumen
Menurut Saifuddin (2007: 3), instrumen yang baik adalah instrumen yang telah teruji kesahihan (valid) dan kehandalannya (reliabel). Untuk itu semua instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu perlu dilakukan uji coba sebelum dipakai sebagai alat pengumpul data penelitian. Guna mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel yang ingin kita teliti itu diperlukan alat ukur, berupa skala atau tes, yang valid dan reliabel agar kesimpulan penelitian nantinya tidak keliru dan tidak memberikan gambaran yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Semua instrumen tersebut dalam bentuk angket.
Uji coba instrumen ini dimaksudkan untuk mendapatkan instrumen yang baik, sehingga dapat digunakan untuk pengumpul data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Tujuan uji coba instrumen ini adalah untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Adapun kedua macam pengujian tersebut adalah:
a. Validitas instrumen
Untuk mengetahui apakah suatu butir dapat mengukur apa yang seharusnya diukur maka dilakukan analisis validitas isi dan validitas konstruk. Menurut Saifuddin (2007: 45), validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment, yaitu dengan meneliti atau melakukan penelaahan secara cermat dan kritis terhadap butir-butir pernyataan atau pertanyaan dari masing-masing komponen variabel dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian apakah butir-butir instrumen telah menggambarkan indikator-indikator dari variabel-variabel yang dimaksudkan secara teoretis ataukah belum.
Langkah yang ditempuh dalam rangka validitas isi adalah: 1) menyusun butir-butir pernyataan dan pertanyaan berdasarkan indikator yang telah ditentukan untuk konstruk masing-masing variabel, 2) konsultasi dengan dosen pembimbing dan beberapa orang yang dianggap berkompeten dengan instrumen yang digunakan, 3) mengevaluasi relevansi isi butir-butir instrumen dengan variabel yang telah ditentukan serta melakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan apa yang didapatkan dari hasil evaluasi dan masukan dari dosen pembimbing. Setelah dilakukan uji validitas konstruk dari para pembimbing maka diteruskan uji coba instrumen atau uji validitas empiris. Instrumen yang telah disetujui para pembimbing, diuji cobakan pada sampel dari mana populasi diambil. Jumlah yang digunakan sebagai anggota sampel sekitar 36 orang. Pengujian validitas instrumen menggunakan bantuan komputer dengan program MS EXCEL, ITEMAN untuk analisis butir soal kognitif dan SPSS 10,0 for windows dengan teknik korelasi product moment untuk analisis butir item afektif dan kreativitas. Daya beda butir instrumen afektif dan kreativitas dianalisis dengan menggunakan korelasi Product Momen Pearson, pada α=0,05. Layak atau tidaknya butir tersebut dipergunakan dalam penelitian ditentukan berdasarkan hasil korelasi Product Momen Pearson, apabila korelasinya tidak signifikan maka butir soal tersebut ditolak. Setelah membuang butir soal yang ditolak, kemudian menentukan besarnya koefisien reliabilitas instrumen tes dengan alpha Cronbach. Adapun hasil analisis terhadap ketiga instrumen yang digunakan dapat disajikan sebagai berikut:
1) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Kreativitas
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa ke 34 butir tersebut valid atau tidak ada yang gugur.
2) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Afektif
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa ke 25 butir tersebut valid atau tidak ada yang gugur.
3) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Kognitif
a) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, untuk kompetensi dasar: 5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati gejala-gejala kehidupan dan 5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala alam. Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa dari 20 butir soal pilihan ganda hanya 7 yang valid dan 3 soal essay keseluruhan valid.
b) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, untuk kompetensi dasar: 6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri mahluk hidup dan 6.2 Mengklasifikasi mahluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki. Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa dari 20 butir soal pilihan ganda hanya 11 yang valid dan 3 soal essay keseluruhan valid.
c) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, untuk kompetensi dasar: 6.3 Mendiskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan, mulai dari tingkat sel sampai organisme. Ternyata hasil analisis menunjukkan bahwa dari 20 butir soal pilihan ganda hanya 11 yang valid dan 3 soal essay keseluruhan valid.
b. Reliabilitas instrumen
Uji reliabilitas instrumen bertujuan untuk menguji apakah suatu instrumen dapat dipercaya atau tidaknya sebagai alat pengumpul data. Menurut Suharsimi (2007: 112), reliabilitas instrumen yang berupa angket dapat dihitung dengan koefisien alpha. Butir-butir angket pada masing-masing variabel yang sudah dinyatakan sahih pada uji validitas diatas, kemudian dihitung koefisien reliabilitasnya dengan rumus alpha dari Cronbach.
Berdasarkan anggapan bahwa butir-butir instrumen ini merupakan suatu kelompok yang berdimensi tunggal yang menggambarkan satu variabel, maka penelitian ini menggunakan reliabilitas total, sedangkan perhitungannya menggunakan bantuan komputer sub program SPSS Versi 10 dan ITEMAN. Menurut Djemari (2008: 122), perangkat instrumen yang baik bila mempunyai koefisien reliabilitas Cronbach alpha . Dengan demikian kelompok instrumen yang mempunyai koefisien dinyatakan tidak reliabel. Hasil pengujian reliabilitas instrumen terangkum dalam tabel di bawah ini:
1) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Kreativitas
Koefisien reliabilitas diperoleh koefisien alpha sebesar 0,76. hal ini menunjukkan bahwa instrumen kreativitas guru mempunyai reliabilitas yang memadai. Untuk itu instrumen ini mempunyai kehandalan untuk mengukur variabel tersebut.
2) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Afektif
Koefisien reliabilitas diperoleh koefisien alpha sebesar 0,74. hal ini menunjukkan bahwa instrumen afektif mempunyai reliabilitas yang memadai. Untuk itu instrumen ini mempunyai kehandalan untuk mengukur variabel tersebut.
3) Analisis Hasil Uji Coba Instrumen Kognitif
a) Koefisien reliabilitas soal pelihan ganda dan soal essay untuk kompetensi dasar: 5.3 Menggunakan mikroskop dan peralatan pendukung lainnya untuk mengamati gejala-gejala kehidupan dan 5.4 Menerapkan keselamatan kerja dalam melakukan pengamatan gejala-gejala alam. Koefisien reliabilitas diperoleh koefisien alpha soal pilihan ganda sebesar 0,701 dan soal essay sebesar 0,78. hal ini menunjukkan bahwa perangkat soal tersebut mempunyai reliabilitas yang memadai. Untuk itu instrumen ini mempunyai kehandalan untuk mengukur variabel tersebut.
b) Koefisien reliabilitas soal pilihan ganda dan essay untuk kompetensi dasar: 6.1 Mengidentifikasi ciri-ciri mahluk hidup dan 6.2 Mengklasifikasi mahluk hidup berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki. Koefisien reliabilitas diperoleh koefisien alpha soal pilihan ganda sebesar 0,717 dan soal essay sebesar 0,76. hal ini menunjukkan bahwa perangkat soal tersebut mempunyai reliabilitas yang memadai. Untuk itu instrumen ini mempunyai kehandalan untuk mengukur variabel tersebut.
c) Koefisien reliabilitas soal pilihan ganda dan essay untuk kompetensi dasar: 6.3 Mendiskripsikan keragaman pada sistem organisasi kehidupan, mulai dari tingkat sel sampai organisme. Koefisien reliabilitas diperoleh koefisien alpha soal pilihan ganda sebesar 0,724 dan soal essay sebesar 0,79. hal ini menunjukkan bahwa perangkat soal tersebut mempunyai reliabilitas yang memadai. Untuk itu instrumen ini mempunyai kehandalan untuk mengukur variabel tersebut.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dari angket dilakukan untuk memenuhi jawaban dari dugaan adanya hubungan yang signifikan antara kreativitas guru terhadap hasil belajar sains ditinjau aspek afektif, kreativitas guru terhadap hasil belajar sains ditinjau aspek psikomotor, kreativitas guru terhadap hasil belajar sains ditinjau aspek kognitif. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhana. Adapun tahap-tahapnya adalah sebagai berikut:
1. Deskripsi data
Apabila data sudah berhasil dikumpulkan, data dideskripsikan dengan membuat tabulasi menurut masing-masing variabel. Pendiskripsian dilakukan menggunakan bantuan komputer sub program SPSS versi 10, untuk mendapatkan Mean (M), Modus (Mo), Median (Me), dan Standard deviasi (Sd) dari masing-masing variabel. Distribusi frekuensi data dibuat dengan membuat kelas interval.
Tingkat kecenderungan (X) masing-masing variabel diketahui dengan mengkategorikan sebagai berikut:
2. Uji persyaratan analisis
Dalam rangka pengujian hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas berdasarkan asumsi bahwa data variabel yang akan diamati berdistribusi normal. Oleh sebab itu normalitas data diuji terlebih dahulu dengan teknik Chi kuadrat () berdasarkan metode Kolmogrov – Smirnov serta kurva peluang normal. Uji homogenitas diperlukan untuk memenuhi adanya homogenitas varian. Uji hipotesis dalam penelitian dilakukan pada taraf signifikansi 5 persen, uji hipotesis dikatakan signifikan apabila nilai peluang atau peluang galat minimal sama dengan 5 persen, artinya apabila peluang kesalahan kurang atau sama dengan 5 persen atau 0.05 Ho ditolak sebaliknya apabila peluang kesalahan atau peluang galat lebih dari 5 persen atau 0,05 Ho diterima.
a. Uji Normalitas
Pengujian normalitas data dilakukan dengan berpedoman pada kejulingan (sekuens) dan Kolmogrov – Smirnov (didasarkan pada Chi kuadrat) dengan uji p 2 ekor. Kriteria untuk menentukan normal tidaknya distribusi data dapat dilihat dari harga p uji 2 ekor. Untuk menentukan kemiringan digunakan batas toleransi kemiringan yang dikembangkan oleh Karl Pearson, yaitu nilai sekuens hasil perhitungan berada pada sekor – 0,5 sampai dengan + 0.5.
b. Uji Homogenitas
Dalam penelitian ini dilakukan uji homogenitas dari Levene Statistic yang akan dibandingkan dengan taraf signifikansi 5 persen. Apabila nilai P hitung lebih besar atau sama dengan p = 0,05 maka homogenitas varian diterima.
3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis ini menggunakan SPSS windows 12 yaitu model regresi linier sederhana, syaratnya analisis regresi akan dilakukan bila jumlah variabel independennya lebih dari satu dengan variabel dependennya tunggal. Karena pada penelitian ini, variabel X sebagai variabel bebas terdiri 1 variabel sedangkan variabel Y sebagai variabel terikat terdiri 3 variabel yang berbeda maka analisisnya dilakukan terpisah yaitu antar kedua variabel. Di bawah ini skematis dan uji analisisnya yaitu:
Dimana:
Y : Subjek dalam variabel dependen yang diprediksikan
a : Harga Y bila x=0 (harga konstan)
b : Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik, dan bila (-) maka terjadi penurunan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
Pada analisis ini bersifat uraian atau penjelasan dengan menggunakan skor tertinggi dan skor terendah yang dicapai responden, menghitung Mean (M), Standard deviasi (Sd), Modus (Mo), Median (Me), mengelompokkan, membuat tabel-tabel, serta grafik-grafik berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang diperoleh dari tanggapan responden untuk masing-masing variabel. Hasil perhitungan analisis deskripsi untuk masing-masing variabel penelitian sebagai berikut:
1. Kreativitas Guru
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan variabel kreativitas guru diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 115 sedangkan skor terendah 108. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh harga Mean (M) sebesar 111,47, Median (Me) sebesar 111, Modus (Mo) sebesar 113 dan Standar deviasi (Sd) sebesar 2,524. sedangkan untuk keadaan distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel 11:
Gambar 1. Distribusi Skor Kreativitas Guru
Berdasarkan skor angket kreativitas guru ditetapkan skor tertinggi 136 dan skor terendah 34, sehingga dapat diperoleh:
a. Mean ideal (Mi) = ½ (136 + 34)
= ½ (170)
= 85
a. Standar deviasi ideal (Sdi) = 1/6 (136 - 34)
= 1/6 (102)
= 17
Dengan demikian dapat dibuat kategori kreativitas guru seperti pada tabel 12:
2. Kognitif
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan variabel kognitif diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 7,8 sedangkan skor terendah 2,8. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh harga Mean (M) sebesar 4,737, Median (Me) sebesar 4,6, Modus (Mo) sebesar 4,2, dan Standar deviasi (Sd) sebesar 0,9191. sedangkan untuk keadaan distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel 13:
Gambar 3. Distribusi Skor Kognitif
Berdasarkan skor aspek kognitif ditetapkan skor tertinggi 10 dan skor terendah 0, sehingga dapat diperoleh:
a. Mean ideal (Mi) = ½ (10 + 0)
= ½ (10)
= 5
b. Standar deviasi ideal (Sdi) = 1/6 (10 - 0)
= 1/6 (10)
= 1,67
Dengan demikian dapat dibuat kategori kognitif seperti pada tabel 14:
Berdasarkan skor angket Afektif ditetapkan skor tertinggi 100 dan skor terendah 25, sehingga dapat diperoleh:
a. Mean ideal (Mi) = ½ (100 + 25)
= ½ (125)
= 62,5
b. Standar deviasi ideal (Sdi) = 1/6 (125 - 25)
= 1/6 (100)
= 16,67
Dengan demikian dapat dibuat kategori afektif seperti pada tabel 16:
Dengan melihat tabel 16 di atas diketahui bahwa kemampuan aspek afektif SMP Negeri Pengasih dalam kategori baik sebesar 13,33 %, kategori cukup baik sebesar 84,85 % dan kategori kurang baik sebesar 1,82 %. Jika dilukiskan dengan gambar 6:
4. Psikomotor
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan variabel psikomotor diperoleh skor tertinggi yang dicapai oleh responden sebesar 41 sedangkan skor terendah 11. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh harga Mean (M) sebesar 19,89, Median (Me) sebesar 18, Modus (Mo) sebesar 15, dan Standar deviasi (Sd) sebesar 5,878. sedangkan untuk keadaan distribusi frekuensi dapat dilihat pada tabel 17:
Distribusi frekuensi tersebut dapat digambarkan dalam bentuk diagram pie pada gambar 7:
Gambar 7. Distribusi Skor Psikomotor
Berdasarkan skor aspek psikomotor ditetapkan skor tertinggi 30 dan skor terendah 10, sehingga dapat diperoleh:
a. Mean ideal (Mi) = ½ (30 + 10)
= ½ (40)
= 20
b. Standar deviasi ideal (Sdi) = 1/6 (30 - 10)
= 1/6 (20)
= 3,33
Dengan demikian dapat dibuat kategori psikomotor seperti pada tabel 18:
Dengan melihat tabel 18 di atas diketahui bahwa kemampuan aspek psikomotor SMP Negeri Pengasih dalam kategori baik sebesar 3,64 %, kategori cukup baik sebesar 30,30 % dan kategori kurang baik sebesar 66,06 %. Jika dilukiskan dengan gambar 8:
Gambar 8. Kategori Psikomotor
B. Uji Persyaratan Analisis
Untuk dapat diterapkan analisis regresi linier sederhana maka harus dilakukan uji persyaratan analisis sebagai berikut:
1. Normalitas
Untuk melihat normalitas data maka perlu melakukan pengujian adanya normalitas sebaran data dan homogenitas varian. Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan sebaran data setiap variabel, apakah subjek penelitian berdistribusi normal atau tidak. Perhitungan normalitas data menggunakan uji kolmogorov-smirnov. Pengambilan keputusan dilakukan jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka distribusi data dinyatakan normal. Hasil perhitungan dapat ditunjukkan seperti tabel 19:
X : Kreativitas guru, Y1 : Aspek kognitif, Y2 : Aspek afektif, Y3 : Aspek psikomotor.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa semua data variabel berdistribusi tidak normal.
2. Homogenitas
Untuk keperluan pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Levene Statistic dengan melihat harga proporsi lebih besar dari 0,05 berarti data homogen.
B. Pengujian Hipotesis
Berdasarkan pengolahan data dengan program SPSS 10 diperoleh koefisien regresi seperti pada tabel 21, 22, dan 23:
Berdasarkan tabel 21 diatas dapat diketahui bahwa nilai korelasi regresi (R) sebesar 0,517 karena nilai R mendekati 1, korelasinya termasuk korelasi yang erat. Diketahui juga nilai koefisien determinasi (R square) sebesar 0,267 atau 26,7 % berarti besarnya pengaruh kreativitas terhadap hasil belajar dari aspek kognitif di SMP N Pengasih adalah sebesar 26,7 % sedangkan sisanya 73,3 % dijelaskan oleh sebab lain.
Persamaan regresi liniernya dapat disusun sebagai berikut:
Dimana:
, konstanta sebesar -16,249 menyatakan bahwa bila tidak ada peningkatan nilai dari variabel kreativitas guru (X), maka nilai aspek kognitif peserta didik (Y1) adalah 16,249.
koefisien regresi sebesar 0,188 menyatakan setiap penambahan satu satuan (karena ada tanda +) maka nilai kreativitas guru (X) akan memberikan kenaikan skor untuk aspek kognitif peserta didik sebesar 0,188.
Berdasarkan tabel 22 diatas dapat diketahui bahwa nilai korelasi regresi (R) sebesar 0,271 karena nilai R mendekati 1, korelasinya termasuk korelasi yang erat. Diketahui juga nilai koefisien determinasi (R square) sebesar 0,073 atau 7,3 % berarti besarnya pengaruh kreativitas guru terhadap hasil belajar dari aspek afektif di SMP N Pengasih adalah sebesar 7,3 % sedangkan sisanya 92,7 % dijelaskan oleh sebab lain.
Persamaan regresi liniernya dapat disusun sebagai berikut:
Dimana:
, konstanta sebesar -37,809 menyatakan bahwa bila tidak ada peningkatan nilai dari variabel kreativitas guru (X), maka nilai aspek afektif peserta didik (Y2) adalah 37,809.
koefisien regresi sebesar 0,969 menyatakan setiap penambahan satu satuan (karena ada tanda +) maka nilai kreativitas guru (X) akan memberikan kenaikan skor untuk aspek afektif peserta didik sebesar 0,969.
Berdasarkan tabel 23 diatas dapat diketahui bahwa nilai korelasi regresi (R) sebesar 0,248 karena nilai R mendekati 1, korelasinya termasuk korelasi yang erat. Diketahui juga nilai koefisien determinasi (R square) sebesar 0,061 atau 6,1 % berarti besarnya pengaruh kreativitas guru terhadap hasil belajar dari aspek psikomotor di SMP N Pengasih adalah sebesar 6,1 % sedangkan sisanya 93,9 % dijelaskan oleh sebab lain.
Persamaan regresi liniernya dapat disusun sebagai berikut:
Dimana:
, konstanta sebesar 84,164 menyatakan bahwa bila tidak ada peningkatan nilai dari variabel kreativitas guru (X), maka nilai aspek psikomotor peserta didik (Y3) adalah 84,164.
koefisien regresi sebesar -0,577 menyatakan setiap penambahan satu satuan (karena ada tanda - ) maka nilai kreativitas guru (X) akan memberikan penurunan skor untuk aspek psikomotor peserta didik sebesar
-0,577.
Pengambilan keputusan suatu hipotesa diterima atau ditolak berdasarkan probabilitas. Jika probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima. Sebaliknya probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Adapun pengujian hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis Pertama
Hipotesis pertama menyatakan terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih. Hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil yang berbunyi ”tidak terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap hasil belajar aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih”. Hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek kognitif peserta didik (Y1) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,517, koefisien determinasi (R square) atau besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar kognitif peserta didik sebesar 0,267 atau 26,7% dengan harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak dan hipotesis penelitian diterima, maka dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih.
2. Pengujian Hipotesis Kedua
Hipotesis pertama menyatakan terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih. Hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil yang berbunyi ”tidak terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap hasil belajar aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih”. Hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek afektif peserta didik (Y2) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,217, koefisien determinasi (R square) atau besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar afektif peserta didik sebesar 0,073 atau 7,3% dengan harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima, maka dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih.
3. Pengujian Hipotesis Ketiga
Hipotesis pertama menyatakan terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih. Hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil yang berbunyi ”tidak terdapat pengaruh kreativitas guru dalam proses pembelajaran sains terhadap hasil belajar aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih”. Hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek psikomotor peserta didik (Y3) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,248, koefisien determinasi (R square) atau besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar psikomotor peserta didik sebesar 0,061 atau 6,1% dengan harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,001 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima, maka dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dari 5 guru sains biologi SMP Negeri di kecamatan Pengasih yang menjadi responden 56,97 % memiliki kreativitas cukup baik dan 43,03 % memiliki kreativitas kurang baik. Kreativitas ini ditunjukkan oleh guru selama melaksanakan pembelajaran sains yang menjadi tanggung jawabnya. Kreativitas guru sains biologi sangat berpengaruh terhadap terwujudnya keberhasilan pendidikan di sekolah. Seorang guru yang memiliki kreativitas baik diharapkan lebih produktif dalam mengajar dan keberhasilan kerjanya tinggi. Sebaliknya guru yang kreativitasnya kurang baik dapat mengakibatkan kurang produktif dalam mengajar dan keberhasilan kerjanya juga kurang baik. Pada penelitian ini pengaruh kreativitas guru dalam pembelajaran sains biologi akan terlihat jelas dari hasil belajar peserta didik yang ditinjau dari 3 aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Secara deskriptif penelitian ini mengungkapkan aspek kognitif dari 165 peserta didik yang menjadi responden 0,61 % dalam ketegori baik, 47,27 % dalam kategori cukup baik, dan 52,12 % dalam kategori kurang baik. Karena aspek kognitif sebagai tolak ukur yang menunjukkan bahwa peserta didik sudah memiliki kemampuan intektual yang baik atau belum, khususnya kemampuan menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah yang ada di lapangan. Kemampuan peserta didik ini sering disebut dengan kemampuan menggunakan pengetahuan pada berbagai situasi sesuai dengan konteksnya.
Berdasarkan hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek kognitif peserta didik (Y1) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,517, koefisien determinasi (R square) sebesar 0,267 atau 26,7 % dengan harga signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar aspek kognitif peserta didik di SMP N Pengasih. Kreativitas seorang guru dalam pembelajaran sains biologi sangatlah penting karena menjadi bagian penentu keberhasilan belajar kognitif peserta didik. Guru yang kreatif tentunya memiliki kemampuan berfikir kreatif yang tinggi pula, untuk meraihnya guru harus banyak bertanya, banyak belajar dan berdedikasi tinggi. Meskipun masih banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil belajar kognitif.
Dalam penelitian ini mengungkapkan aspek afektif dari 165 peserta didik yang menjadi responden 13,33 % dalam kategori baik, 84,85 % dalam kategori cukup baik, dan 1,82 % dalam kategori kurang baik. Aspek afektif mencerminkan kemampuan peserta didik dalam menanggapi setiap pengetahuan yang mereka terima. Kondisi afektif peserta didik ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik khususnya pada aspek kognitif dan psikomotor. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran diharapkan akan mencapai hasil belajar yang optimal. Sikap yang terbentuk pada peserta didik terhadap mata pelajaran sains biologi tentunya tergantung pada sikap dan cara guru dalam menyampaikan mata pelajaran tersebut.
Hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek afektif peserta didik (Y2) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,217, koefisien determinasi (R square) sebesar 0,073 atau 7,3 % dengan harga signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima, maka dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar aspek afektif peserta didik di SMP N Pengasih. Guru yang kreatif memiliki inisiatif untuk meningkatkan pembelajaran sains biologi agar mencapai hasil yang optimal dan berusaha menyesuaikan sikap dalam mengajar demi tercapainya tujuan pembelajaran dengan mengembangkan situasi belajar peserta didik dan memperhatikan karakteristik peserta didiknya. Oleh sebab itu, guru yang kreatif juga harus memiliki sikap yang kreatif.
Dalam penelitian ini mengungkapkan aspek psikomotor dari 165 peserta didik yang menjadi responden 3,64 % dalam kategori baik, 30,30 % dalam kategori cukup baik, dan 66,06 % dalam kategori kurang baik. Aspek psikomotor sebagai kemampuan yang ditunjukkan peserta didik dalam bentuk gerakan yang dikoordinasi secara baik oleh otak atau pikiran. Kemampuan ini diwujudkan dalam bentuk keterampilan peserta didik dalam melakukan suatu perbuatan ketika proses pembelajaran sains biologi berlangsung. Pada aspek psikomotor ini akan terlihat kemampuan kognitif peserta didik dalam menerapkan konsep-konsep untuk memecahkan masalah di lapangan yang telah mereka peroleh secara teori dan kemampuan afektif peserta didik dalam mengaitkan materi sains dengan dunia nyata yang mereka hadapi secara langsung.
Hasil analisis regresi linier antara kreativitas guru (X) dan hasil belajar aspek psikomotor peserta didik (Y3) menunjukkan nilai koefisien parsial (R) sebesar 0,248, koefisien determinasi (R square) sebesar 0,061 atau 6,1 % dengan harga signifikansinya sebesar p=0,001 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima, maka dapat disimpulkan kreativitas guru mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar aspek psikomotor peserta didik di SMP N Pengasih. Kreativitas guru sains biologi berdampak pada kemampuan peserta didik dari aspek psikomotor karena guru yang kreatif akan memunculkan ide perubahan dan berupaya untuk meningkatkan terus-menerus kemampuan psikomotor peserta didik sesuai kondisi sekolah itu berada. Hal ini dapat dilakukan guru dengan menciptakan suatu strategi mengajar yang baru dan orisinil. Misalnya peserta didik dapat dilatih melalui pendekatan problem solving, discovery, dan inquiry, sehingga mendorong peserta didik untuk terlibat secara aktif dan menyenangkan dalam mengikuti pembelajaran sains biologi. Hal ini dilakukan guru dengan tujuan menstimulasi keterampilan proses peserta didik untuk berusaha menerapkan konsep sains biologi yang diperoleh dan mendapatkan jawaban metode atau cara baru dalam memecahkan suatu masalah sains biologi. Dengan adanya kreativitas guru ini, diharapkan tercapainya kemampuan psikomotor peserta didik lebih optimal.
Kreativitas seorang guru juga dapat terlihat langsung dalam proses pembelajaran sains melalui keterampilan dalam melaksanakan prosedur mengajar, melaksanakan hubungan antar pribadi, dan menyusun rencana pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi di SMP N kecamatan Pengasih, menjelaskan bahwa keterampilan guru dalam melaksanakan prosedur mengajar ada 2 orang guru yang termasuk dalam kategori kurang baik dengan interval skor dan 3 orang guru termasuk kategori cukup baik dengan interval skor . Prosedur mengajar tersebut terdiri dari cara guru memulai pelajaran, mengelola kegiatan pembelajaran, mengorganisasi waktu, peserta didik, dan fasilitas belajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar serta cara mengakhiri pelajaran. Disamping itu juga dilakukan penilaian keterampilan guru dalam hubungan antar pribadi terhadap peserta didiknya, hasilnya menunjukkan semua guru memiliki keterampilan yang cukup baik dalam berinteraksi terhadap peserta didiknya. Keterampilan ini mencakup diantaranya membantu mengembangkan sikap positif pada diri peserta didik, bersikap terbuka dan luwes terhadap peserta didik atau orang lain, menampilkan kesungguhan dalam kegiatan pembelajaran, dan mengelola interaksi perilaku di dalam kelas. Sedangkan untuk keterampilan guru dalam menyusun rencana pembelajaran, diperoleh hasil bahwa 1 orang guru termasuk dalam kategori cukup baik dengan interval skor dan 4 orang guru termasuk dalam kategori kurang baik dengan interval skor . Keterampilan penilaian ini mencakup aspek perencanaan kegiatan pembelajaran, pengorganisasian materi ajar, pengelolaan kelas, penggunaan alat dan metode pembelajaran, dan penilaian hasil belajar peserta didik.
Selaras dengan hakikat guru yang menjelaskan bahwa guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar peserta didik dan guru bertanggung jawab secara profesional untuk terus-menerus meningkatkan kemampuannya. Dengan demikian kreativitas termasuk kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran sains biologi guna mengembangkan kemampuan peserta didik secara utuh dan profesional dalam kegiatan pembelajaran khususnya tercapainya hasil belajar pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Guru dapat dikatakan kreatif bila didukung oleh dua aspek yaitu berfikir kreatif dan sikap kreatif.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN, DAN KETERBATASAN PENELITIAN
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis sebagai berikut:
1. Kreativitas guru ternyata mempengaruhi hasil belajar sains dari aspek kognitif peserta didik SMP N di Pengasih. Ini terlihat dari harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar kognitif peserta didik berdasarkan nilai koefisien determinasi diperoleh sebesar 26,7%.
2. Kreativitas guru ternyata mempengaruhi hasil belajar sains dari aspek afektif peserta didik SMP N di Pengasih. Ini terlihat dari harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,000 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar afektif peserta didik berdasarkan nilai koefisien determinasi diperoleh sebesar 7,3%.
3. Kreativitas guru ternyata mempengaruhi hasil belajar sains dari aspek psikomotor peserta didik SMP N di Pengasih. Ini terlihat dari harga koefisien signifikansinya sebesar p=0,001 yakni kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Besarnya kontribusi (sumbangan) kreativitas guru terhadap hasil belajar psikomotor peserta didik berdasarkan nilai koefisien determinasi diperoleh sebesar 6,1%.
B. Implikasi
Sebagaimana telah disimpulkan dalam penelitian ini bahwa terdapat pengaruh yang signifikan kreativitas guru terhadap hasil belajar sains peserta didik pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun demikian besarnya pengaruh kreativitas guru pada ketiga aspek tersebut berbeda. Kenyataannya kreativitas guru memberikan kontribusi yang lebih besar pada aspek kognitif peserta didik yaitu 26,7 %. Sedangkan aspek afektif dan psikomotor sebesar 7,3 % dan 6,1 %. Sekalipun demikian tidak berarti aspek afektif dan psikomotor diabaikan. Tipe hasil belajar yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri, tapi selalu berhubungan satu sama lain bahkan ada dalam kebersamaan. Peserta didik yang berubah tingkat kognitifnya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah sikap dan perilakunya. Padahal dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kiprah guru lebih dominan lagi, terutama dalam menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, tidak saja dalam program tertulis tetapi juga dalam pembelajaran nyata di kelas. Untuk itu dituntut pemikiran-pemikiran kritis pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru dengan cara sering melakukan pengembangan dan memotivasi guru untuk mengasah kemampuannya, karena mata pelajaran sains (IPA) merupakan bagian dari mata pelajaran yang tentu saja diharapkan kontribusinya dalam pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
Guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik profesional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama untuk memberi kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik. Bila mengajar sudah dijadikan rutinitas, tidak ada inovasi mengajar, tidak kreatif mengembangkan dan menterjemahkan kurikulum tentu hasilnya akan semakin sulit meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan sehingga diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakan keharusan agar sistem pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, beberapa saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan kreativitas guru sains biologi SMP N di kecamatan Pengasih sebagai berikut:
1. Bagi para guru sains hendaknya berusaha meningkatkan kreativitas dan kualitas diri untuk menambah wawasan pengetahuan melalui banyak cara seperti: penggunaan internet untuk menggali banyak informasi tentang perkembangan dunia sains dan memanfaatkan media cetak lainnya untuk menunjang kompetensi kognitif sebagai guru sains.
2. Kemampuan afektif yang baik dari peserta didik muncul apabila guru selalu menanamkan dan mengajarkan sikap yang positif terhadap mata pelajaran sains.
3. Untuk lebih mengoptimalkan kreativitas guru sains SMP N Pengasih dan kemampuan psikomotor peserta didiknya perlu diperhatikan faktor-faktor lainnya yaitu: melengkapi fasilitas pendidikan di laboratorium yang berupa alat praktikum dan alat peraga pendidikan, serta mengadakan pelatihan atau penataran bagi guru-guru dengan menghadirkan pakar pendidikan dari perguruan tinggi.
D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini berhasil dilaksanakan dan diselesaikan, namun demikian bukan berarti penelitian ini terbebas dari keterbatasan dan kelemahan. Di bawah ini beberapa kelemahan dan keterbatasan yang dapat terdeteksi oleh peneliti sebagai berikut:
1. Pengumpulan data mengenai kreativitas guru dan aspek afektif peserta didik didasarkan pada isian angket, sehingga sangat dipengaruhi oleh sifat dari proses pengisian angket tersebut, misalnya: kejujuran, kesungguhan, dan kemampuan responden dalam menjawab angket tersebut.
2. Penelitian ini hanya meneliti pengaruh kreativitas guru terhadap hasil belajar sains peserta didik, padahal masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi hasil belajar sains peserta didik tidak hanya dari aspek kreativitas guru saja.
DAFTAR PUSTAKA
Andrias Harefa. (2001). Pembelajaran di era serba otonomi. Jakarta: Buku Kompas.
Ansyar dan Karnadi. (6 Agustus 2007). KTSP membuat guru kreatif. Suara pembaharuan daily. p. 1.
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Bartel, Marvin. (Juli 2008). Teaching creativity: image flooding issues. Goshen College, 11, 1-21.
Beane, James A. dan Toepfer, Conrad F. dkk. (1944). Curriculum planning and development. Toronto: Allyn and Bacon, Inc.
Borich, Gary D. (2000). Effective teaching methods (4thed.). Columbus: Prentice Hall, Inc.
Buck, Ross. (1976). Human motivation and emotion. Second Edition. Canada: John Wiley and Sons, Inc.
Carin Arthur A. dan Sund Robert B. (1989). Teaching science through discovery. London: Merrill Publishing Company dan A Bell & Howell Information Company.
Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan. (1991). Kemampuan dasar guru dalam proses belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Clark, Leonard H. & Klein, Raymond L. (1972). The american secondary school curriculum. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.
Clegg, Brian & Birch, Paul. (2001). Instant creativity: 76 cara instan meningkatkan kreativitas anda. (Terjemahan Zulkifli Harahap). London: Kogan Page.
Collette, Alfred T. dan Chiappetta Eugene L. (1994). Science instruction in the middle and secondary schools. New York: Macmillan Publishing Company.
Craft, Anna. (2003). Membangun kreativitas anak. (Terjemahan M. Chairul Annam). Jakarta: Inisiasi Press. (Buku asli diterbitkan tahun 2000).
David. (1974). Teaching science in elementary and middle schools. America: McKay Company, Inc.
Davies, Ivor K. (1973). Competency based learning: technology, management, and design. New York: McGraw-Hill Book Company.
Depdikbud Ditjen Dikdasmen. (2003). Guru di indonesia: pendidikan, pelatihan dan perjuangannya sejak zaman kolonial hingga era reformasi. Jakarta.
Depdiknas. (2001). Pendekatan sains teknologi masyarakat tentang konsep pesawat sederhana dalam pembelajaran IPA di kelas 5 sekolah dasar. Jakarta.
------------- (2007). Panduan pengembangan pembelajaran IPA terpadu SMP atau MTS. Jakarta. www. puskur. Net
------------- Ditjen Dikdasmen. (2004). Pedoman pengembangan instrumen dan penilaian ranah psikomotor. Jakarta.
------------- Ditjen Dikdasmen. (2004). Pedoman penilaian ranah afektif. Jakarta.
------------- (2003). Standar penilaian buku pelajaran sains. Jakarta.
E. Mulyasa. (2006). Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
H. Wahyuningrum. (2000). Manajemen fasilitas pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Hamzah B. Uno dan Sofyan Herminanto, dkk. (2001). Pengembangan instrumen untuk penelitian. Jakarta: Delima Press.
-------------------- (2006). Perencanaan pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hasan Langgulung. (1991). Kreativitas dan pendidikan islam: suatu kajian psikologi dan falsafah. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Hoang, Thienhuong. (2007).
Jones, Judi. (24 Oktober 2008). Professionalism for science teachers. Teachers network, 2, 1-4.
Lelly Qodariyah. (2000). Kreativitas guru dalam proses pembelajaran ilmu pengetahuan sosial sekolah dasar di daerah khusus ibu kota jakarta. Tesis Magister. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Masno Ginting. (17 februari 2005). Rangkap mata pelajaran hambat kreativitas guru. Kompas. p. 1.
McNergney, Robert F. & Carrier, Carol A. (1981). Teacher development. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.
Meier, Dave. (2002). Panduan kreatif dan efektif merancang program pendidikan dan pelatihan. (Terjemahan Rahmani Astuti). New York: McGraw-Hill. (Buku asli diterbitkan tahun 2000).
Mochtar Buchori. (1994). Ilmu pendidikan dan praktek pendidikan dalam renungan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press.
Moh. Amien. (1980). Peranan kreativitas dalam pendidikan. Makalah Dies Natalis, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
M. Uzer Usman. (1995). Menjadi guru profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyani Sumantri. (1988). Kurikulum pengajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Nana Syaodih Sukmadinata. (1997). Pengembangan kurikulum teori dan praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ni Luh Tjandrawati. (2004). Kreativitas guru bahasa inggris dalam pengelolaan kelas di sma kristen petra 1 surabaya. Tesis Magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Nursisto. (1999). Kiat menggali kreativitas. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Oemar Hamalik. (1995). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
P. Hari Yunanto. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru SLTP negeri di kecamatan bantul. Tesis Magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Per Morten, Kind dan Vanessa, Kind. (26 April 2007). Creativity in science education: perspective and challenges for developing school science. Red orbit, 7, 2.
Ra’uf. (2005). Kurikulum 2004 sekolah menengah pertama (SMP). Jakarta: Dharma Bhakti.
Robinson, James T. (1968). The nature of science and science teaching. California: Wadsworth Publishing Company. Inc.
Rowe, Alan J. (2004). Creative intelligence. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Sardiman. (2006). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sasson, Dorit. (26 Februari 2007). Teaching creative thinking: tips, tools and ideas for encouraging creativity in the classroom. New Teacher Support, 2, 1-2.
S. C. Utami Munandar. (1988). Kreativitas sepanjang masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
----------------------------- (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
----------------------------- (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sri Sulistyorini. (2007). Pembelajaran IPA sekolah dasar. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sudjana. (1996). Metoda statistika. Bandung: Tarsito
Suharsimi Arikunto. (2007). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Sukardi. (2003). Metode penelitian pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Sunaryo. (1983). Evaluasi hasil belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan reformasi pendidikan di indonesia memasuki millenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Tengku Z. Djaafar. (2001). Strategi pembelajaran terhadap hasil belajar. Padang: Universitas Negeri Padang.
Tim Didaktik Pendidikan. (1981). Pengantar didaktik metodik kurikulum PBM. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-undang. (2005). Undang-undang, nomor 14, tahun 2005, tentang guru dan dosen.
West, Michael A. (2000). Mengembangkan kreativitas dalam organisasi. (Terjemahan Bern. Hidayat). Princess: The British Psychological Society. (Buku asli diterbitkan tahun 1997).
WikiAnswers Q&A Community. (25 Oktober, 2008). Editor, 15, 15.
No comments:
Post a Comment