Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan absolut di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana. Jadi sifatnya sebagai kemurahan hati raja yang berkuasa. Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya mengenai pelaksanannya.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan[1]. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu[2].
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi[3], menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal 10 KUHP.
Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.
Sedangkan dalam UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat (1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.
Ketika berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3 Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi (L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).
Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:
“Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.
Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.
Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Namun, melalui ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud , hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[4], “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum, kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.
Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:
a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.
c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.
e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara[5].
Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:
a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;
b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;
c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi, abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi;
d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden. Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;
e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi[6].
[1] J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.375
2] JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58
[3] Lembaran Negara RI No.108 Tahun 2002
[4] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08
5 Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm.176
[6] Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.177
[7] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm.4
[8] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.598
[9] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Eresco, 1981, hlm.20
[10] Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, hlm.30
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan[1]. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu[2].
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi[3], menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal 10 KUHP.
Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.
Sedangkan dalam UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus 1950, pada Pasal 107 ayat (1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:
(1) Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2) Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.
Ketika berlakunya Kontitusi RIS 1949, diundangkan Undang-undang Darurat No.3 Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Keduanya kemudian dicabut oleh Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi (L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (L.N. 2002 No.108).
Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:
“Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.
Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.
Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Namun, melalui ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud , hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan isi Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[4], “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum, kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.
Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:
a. Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b. Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.
c. Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.
e. Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara[5].
Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:
a. Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;
b. Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;
c. Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi, abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil kewenangan tersebut dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi;
d. Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden. Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;
e. Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi[6].
[1] J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.375
2] JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58
[3] Lembaran Negara RI No.108 Tahun 2002
[4] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08
5 Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm.176
[6] Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.177
[7] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm.4
[8] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.598
[9] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Eresco, 1981, hlm.20
[10] Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, hlm.30
No comments:
Post a Comment