Tuesday, February 26, 2013

KUMPULAN CONTOH SKRIPSI HUKUM IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH



IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA PALU
YANG BERORIENTASI BAGI KEPENTINGAN MASYARAKAT DALAM MENUNJANG OTONOMI DAERAH

The Implementation of Regional of Palu City Oriented for the Community Interest in Supporting the Regional Autonomy




BAB  I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Tengah dewasa ini     adalah berkisar pada  upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kecenderungan berpikir di atas dapat dipahami karena adanya perspektif sejarah pemerintahan daerah yang mengungkap mengenai penyebab keterbelengguan daerah baik secara politis maupun secara ekonomis lewat piranti hukum pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Piranti hukum itulah yang membatasi kewenangan daerah untuk tumbuh dan berkembang dalam rangka menggali segala potensi ekonomi yang strategis di daerah.
Nuralam Abdullah menyatakan bahwa dari perspektif sejarah mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pada masa lalu sangat bergantung pada subsidi dana dari pemerintah pusat. Hasil identifikasi dan inventarisasi kemampuan keuangan daerah yang dilakukan oleh Direktur jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) menunjukkan bahwa hanya 21,92% dari 292 Daerah Tingkat II di Indonesia yang dipandang mampu untuk membiayai pembangunan daerahnya.         
Ketergantungan daerah pada subsidi pemerintah pusat juga diungkapkan oleh Bagir Manan, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tidak mencukupi untuk membiayai diri sendiri
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) barasal dari bantuan pemerintah pusat.  Bantuan keuangan yang besar telah memberikan kesempatan lebih besar  kepada  daerah untuk melaksanakan berbagai tugas pelayanan pada masyarakat, tetapi ketergantungan keuangan ini menimbulkan akibat penyelenggaraan otonomi daerah tidak sepenuhnya dapat berjalan, dan dilain pihak mengundang kuatnya campur tangan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah.
     H.Tabrani Rab juga mengungkapkan data mengenai rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah. Kemampuan PAD sejumlah daerah Tingkat II di seluruh Indonesia pada tahun 1993/1994 hanya sebesar 11,24 %, dan dalam perjalannya setiap tahun cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya proporsi bantuan Pemerintah Pusat meningkat dari 63,87 % pada tahun 1985 / 1986 menjadi 70,87 % pada tahun 1993 / 1994.3
Realitas mengenai rendahnya PAD di sejumlah daerah pada masa lalu, akhirnya  mengkondisikan daerah untuk tidak berdaya dan selalu bergantung pada bantuan pembiayaan atau subsidi dana dari pemerintah pusat. Kondisi demikian ini pada akhirnya menjadi salah satu argumentasi  yang mendorong perlunya percepatan reformasi dalam lingkup pemerintahan, hingga ditandai dengan pembentukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kehadiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang    Nomor  25  Tahun   1999   tidak   hanya   bermaksud   mengatasi permasalahan keuangan daerah melalui pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk menggali sejumlah potensi ekonomi yang ada di daerah, melainkan juga menekankan pada upaya peningkatan efesiensi dan efektifitas pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam  rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu adanya kewenangan daerah  yang mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta  kewenangan bidang lain
Kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, harus diakui sebagai suatu peluang dan sekaligus mengandung sejumlah tantangan bagi daerah yang  memiliki potensi sumber daya alam  yang melimpah ruah, sehingga  pembiayaan   pembangunan  daerah dan pengeluaran rutin mungkin  bukan permasalahan yang  serius.  Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai, persediaan anggaran pembangunan dan anggaran rutin, tentu saja akan menjadi permasalahan serius. Ketentuan tersebut juga tetap diatur pada Undang Undang pemerintahan daerah yang baru yaitu pada Pasal 14 Ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 .
 Hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri  bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada,  Syarifuddin Tayeb  menyatakan bahwa dari  292  (dua ratus sembilan puluh dua) Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah yaitu :
a.    122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53 % - 10 %
b.    86   Daerah Kabupaten berkisar antara    10 % - 20 %
c.    43   Daerah Kabupaten berkisar antara  20,1 % - 30 %
d.    17   Daerah Kabupaten berkisar antara  31,1 % - 50 %
e.       2  Daerah Kabupaten berkisar di atas   50  %
Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan  yang mampu memenuhi hanya sekitar 20% - 30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70% - 80% didrop dari pusat
Selain karena persoalan kewenangan yang terbatas dalam memobilisasi sumber dana pajak dan retribusi, juga terdapat persoalan yang bersifat teknis yuridis yaitu dalam bentuk regulasi yang dijadikan dasar hukum bagi daerah untuk memungut Pendapatan Asli Daerah, baik yang bersumber dari Pajak maupun dari Retribusi Daerah. Temuan penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa dari 340 Peraturan Daerah (PERDA) Pemerintah  Kabupaten/Kota/Propinsi pada 28 Propinsi yang dievaluasi selama tiga tahun terakhir, ternyata 69 % PERDA Pajak dan Retribusi dan PERDA non Pajak dan Retribusi yang dinyatakan bermasalah
Menurut Agung Pambudi (Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah) bahwa permasalahan yang menonjol pada Peraturan Daerah tersebut adalah berkisar pada masalah substansi, yaitu sekitar 42 %, dan selebihnya menyangkut masalah prinsip (10%) serta masalah teknis (17%).7
Fenomena Perda-perda bermasalah juga diungkap oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat-SMERU Research Institute bekerjasama dengan USAID dan Partnership for Economic Growth (PEG), bahwa pada tahun 2000-2001 di Sumatera sedikitnya tercatat tiga Kabupaten menerbitkan Perda yang berdampak negatif pada iklim usaha, yaitu Karo, Simalungun dan Deli Serdang. Menurut Ilyas Saad, dari SMERU Research Institute, pungutan yang paling menonjol  terjadi di Deli Serdang, yaitu sumbangan wajib untuk usaha perkebunan, retribusi hasil usaha pertambakan sebasar 20% dari harga dasar perkilogram. Retribusi izin penebangan dan pemanfaatan kayu karet sebesar Rp.1.500,- permeter kubik, dan pajak pembudidayaan dan pemanfaatan sarang burung walet sebesar 20 % dari harga dasar perkilogram. Selain itu masih ada berbagai pungutan lain yang memberatkan dunia usaha, antara lain retribusi kesehatan hewan bagi setiap peternak
Fenomena perda-perda bermasalah sempat mengusik banyak pihak,  terutama bagi kalangan pelaku usaha. Pihak Departemen Keuangan RI telah merekomendasikan sebanyak 206 Perda untuk dicabut oleh Menteri Dalam Negeri.  Rekomendasi  itu didasarkan pada suatu kajian antar departemen dimana dinilai memberatkan pengusaha sehingga menjadi kontraproduktif  bagi  pertumbuhan ekonomi daerah
Departemen Dalam Negeri  juga mencatat sebanyak kurang lebih 7000 Perda yang dinilai tidak layak.  Perda-perda  sebanyak itu dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan 
Harus diakui bahwa fenomena Perda Perda bermasalah juga terjadi di daerah kabupaten/kota dalam lingkup Propinsi Sulawesi Tengah.
Hal  ini dapat kita diketahui dari beberapa Perda kabupaten/kota yang telah  dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri antara lain :
1.       Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Rumah Kost/Pemondokan.
2.       Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pajak Komoditi
3.       Peraturan Daerah Kabupaten Tolitoli Nomor 57 Tahun 2001 tentang Retribusi Jalan Kabupaten.
4.       Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 59 Tahun 2001 tentang Tempat Pendaratan Kapal.
5.       Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 66 Tahun 2001 tentang Izin Pemilikan dan Penggunaan Gergaji Rantai.
6.       Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 68 Tahun 2001 tentang Penarikan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Pemerintah Daerah .
               Tentunya masih banyak lagi peraturan daerah yang bermasalah akan menyusul untuk dibatalkan dengan berbagai pertimbangan/alasan pembatalan.



B. RUMUSAN MASALAH

Berkenaan dengan implementasi peraturan daerah yang berorientasi Pendapatan Asli Daerah  (PAD) dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di kota Palu, maka masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah :
     1. Apakah  peraturan daerah khususnya pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan  pendapatan asli daerah  telah memenuhi asas-asas pembuatan peraturan daerah yang baik dalam  menunjang pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu?
     2.    Apakah peraturan daerah yang mengatur pendapatan asli    daerah  sudah berorientasi pada kepentingan  masyarakat  kota Palu?

B.   Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah untuk :
1.   Mengetahui apakah peraturan daerah khususnya pajak daerah dan retribusi daerah yang berkaitan dengan pendapatan asli daerah telah memenuhi keriteria pembuatan peraturan daerah yang baik menunujang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Palu.
2.   Mengetahui peraturan daerah kota Palu apakah sudah sesuai kepentingan masyarakat .


C. Kegunaan Penelitian.

 Atas hasil penelitian yang dilakukan,  diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.   Bahan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya tata negara, dan merupakan sumbangan pemikiran bagi unsur pemerintah daerah  dalam pelaksanaan otonomi daerah di kota Palu.
2.    Bahan informasi kepada pemerintah kota Palu khususnya dan pemerintah Sulawesi Tengah pada umumnya.





BAB  II

TINJAUAN PUSTAKA

A.   Bentuk Negara Kesatuan

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama kemerekaan telah mengalami pasang surutnya pemerintahan melalui beberapa kali penggantian Undang Undang Dasar. Perubahan bentuk negara dan pemerintahan, mulai dari sistem presidentil berubah menjadi sistem parlementer, dan kembali lagi menjadi sistem presidentil.
Tiap Undang Undang Dasar mempunyai sifat yang sudah dikenal dalam pelaksanaannya. Undang Undang Dasar 1945 dengan Negara Kesatuan, Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dengan  negara federal dan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 menganut negara kesatuan.
                Dalam konteks Negara Kesatuan dan Negara Federal menurut pendapat H.M.Laica Marzuki  mengingatkan bahwa Negara Federal bukanlah  nomenklatur  kenegaraan dalam negara Kesatuan (eenheidsstaat atau unitary state).  Negara kesatuan tidak mengenal bentuk pemerintahan federal. Negara Federal bukan negara kesatuan, tetapi negara persatuan.
Menurut Aminuddi pada sidang BPUPKI tanggal 14 Juni 1945 Muhammad Hatta menyinggung juga ciri negara kesatuan sebagai berikut:
“Kita telah menyetujui bentuk negara kesatuan (eenheidstaat).Oleh karena itu di bawah Negara Indonesia tidak ada negara bawahan, tidak ada onerstaat, akan tetapi hanya ada daerah-daerah pemerintahan belaka. Pembagian daerah Indonesia dan bentuk pemerintahan daerah ditetapkan dengan undang-undang”.
 
Bagi Kuntjoro Purbopranoto, bahwa kodratnya negara kesatuan adalah adanya organisasi yang dibentuk sebagai daerah swatantra didalamnya, namun hak otonominya  tidak boleh melampaui volume yang akan menjadikan daerah swatantra itu sebagai satu negara bagian seperti halnya di zaman federasi

Pada konsep Negara Federasi menurut Andi Mustafa Pide , kekuasaan dalam negara seluruhnya dibagai antara Pemerintah Negara Federal dengan Pemerintah Negara-negara Bagian yang berfederasi sedemikian rupa, sehingga Pemerintah Federal mengendalikan kekuasaan dalam suatu lingkungan tertentu. Sementara Pemerintah Negara-negara Bagian mengendalikan kekuasaan tertentu yang lain, tanpa pengawasan Pemerintah Federal. Pembagian kekuasaan negara kepada Negara Federal dan kepada Negara-negara Bagian ditetapkan dalam suatu konstitusi, terutama kekuasaan Pemerintah Federal terhadap hubungan luar negeri, mencetak uang, dan militer. Sementara sisanya menjadi wewenang megara-negara Bagian
Andi Mallarangen dan  M.Ryaas Rasjid dalam Kompas,  1999:18) menjelaskan bahwa pembentukan suatu negara federasi melalui dua tahap yaitu tahap pertama adalah pengakuan atas keberadaan negara-negara, dan wilayah independen, dan tahap kedua adalah kesepakatan mereka membentuk negara federal. Ini bisa dilihat dalam sistem federalisme di Amerika Serikat dan Malaysia
Perbedaan karakteristik menurut Aminuddin  antara negara federasi dengan negara kesatuan, dijelaskan oleh R,Kranenburg dengan mengemukakan dua kriteria berdasarkan hukum positif sebagai berikut:
a.    Negara bagian suatu federasi memiliki pouvoir constituant, yakni wewenang membentuk Undang-undang Dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas-batas konstitusi federal. Sedangkan dalam negara kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (yaitu:Pemerintah Daerah) secara garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat;
b.    Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengaturhal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusifederal. Sedangkan dalam negara kesatuan, wewenang pembentukan Undang-undang rendahan (lokal) tergantung pada badan pembentuk Undang-undang pusat itu.

Dengan adanya perbedaan tersebut di atas, maka dalam Negara Kesatuan dapat diidentifikasi ciri batasan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu:
1.    Pemerintah Daerah tidak memiliki kedaulatan secara sendiri-sendiri dan terlepas dari kedaulatan negara kesatuan, dan kedudukan pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah negara kesatuan.
2.    Kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah pusat ditetapkan secara umum dalam Undang-undang Dasar, sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah daerah termasuk dalam pembentukan produk  hukum ditetapkan   oleh lembaga pembuatan undang-undang di tingkat pusat.
Meskipun terdapat perbedaan format hubungan kekuasaan antara negara kesatuan dengan negara federal, namun terdapat segi-segi persamaan. Aminuddin  mengungkapkan segi persamaannya sebagai berikut:
“Kesamaan mendasar antara negara federal dengan negara kesatuan terletak pada tiga bidang utama, yaitu pertahanan eksternal, sistem moneter dan fiskal, serta politik luar negeri. Pada kedua sistem, ketiga bidang ini sama-sama tetap dipegang oleh pemerintah federal. Di negara kesatuan, semua bidang kegiatan pemerintahan lainnya tetap dipegang oleh pemerintah pusat, sementara di negara federal, seluruh bidang lainnya dipegang oleh pemerintah negara bagian

Para pendiri negara telah memilih negara kesatuan sebagaimana   telah   ditetapkan   dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang
Dasar 1945 dan bukan negara federal. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan yang rasionil sebagaimana dikemukakan oleh Soepomo pada persidangan pertama BPUPKI, pada tanggal 31 Mei 1945, menyatakan dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara. Sedangkan kita hendak mendirikan satu negara, soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan  apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung daripada doelmatigheid, berhubungan dengan waktu dan tempat.
Selain alasan tersebut di atas, pilihan pada format negara kesatuan dan menolak negara federasi (serikat), juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin (Sekertaris Negara RI,1995) pada persidangan kedua BPUPKI  mengenai acara persiapan penyusunan rancangan UUD,  tanggal 11 Juli 1945, bahwa saya yakin dunia internasional agak memandang kita kuat dengan negara unitarisme dan memandang kita lemah kalau kita menutup negara federalisme dengan atap yang hanya berupa unitarisme pura-pura.  Syarat-syarat Negara Kesatuan adalah berisi bahan-bahan yang kita idam-idamkan dengan sehebat-hebatnya Selain daripada itu negara serikat atau negara sekutu menyinggung perasaan, karena di dalam perkataan serikat dan sekutu tersimpan perasaan sekutu, sedangkan Negara Kesatuan benar-benar mewujudkan persatuan yang menjadi dasar pergerakan kita dalam 40 tahun ini
Berkaitan dengan alasan-alasan di atas, Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamsi dan Konstitusi RI  mengungkapkan, bahwa negara kesatuan membuang federalisme. Negara kesatuan dijalankan secara  otonomi di daerah-daerah, karena untuk kepentingan daerah, maka pembagian kekuasaan dan kemerdekaan harus pula dijalankan secara adil menurut keharusan administrasi dan kepentingan daerah


B. Kewenangan Daerah.

Kewenangan daerah otonom secara jelas disebutkan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999  dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang  pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. Pada Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 10.
(1)     Kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
(2)     Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 hal tersebut secara rinci telah disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan  pada Ayat (2) urusan pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat  sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Menurut Syaukani HR, pada Seminar Otonomi Daerah Starategi Pemberdayaan Daya saing Daerah menyatakan bahwa kebijkan otonomi daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang lahir dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan revormasi dan demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan daerah.
Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan. Otonomi daerah. Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus  kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya. Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan sebatas yang telah ditetapkan  dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Kewenangan pemerintah daerah dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat  meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.                 
Kewenangan otonomi luas adalah “Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah”.
Otonomi nyata adalah “Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup  dan  berkembang di daerah”.
Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah “berupa perwujudan  pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serat pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dasar pemikiran Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut di atas, menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah meliputi beberapa hal yaitu:
1.     Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanegaragaman daerah.
2.     Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
3.     Otonomi daerah yang luas, utuh diletakkan pada daerah kabupaten/kota, sedangkan daerah propinsi menunjukkan otonomi yang terbatas.
4.     Otonomi  daerah harus   sesuai   dengan  konstitusi    negara,
    sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.     Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom oleh sebab itu daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6.     Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah.
7.     Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
8.     Tugas pembantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa  yang disertai pembiayaan dengan melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
          Dengan  memperhatikan    prinsip  otonomi  yang    dianut   dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka  tujuan pemberian otonomi kepada daerah  adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengantar masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik melalaui kegiatan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayananan kepada masyarakat yang semakin dekat. Penyelenggaraan urusan pemerintah  pada  Undang Undang 32 Tahun 2004 telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada keterkaitan, ketergantungan dan sinergis sebagai satu system pemerintahan oleh sebab itu urusan pemerintahan ada yang wajib dan ada pilihan yang nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, kewenangan Kabupaten/kota tidak diatur, karena Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan  pada daerah kabupaten/kota, kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Keharusan  tersebut tidak dapat dipungkiri oleh  karena  merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.
Untuk penyelenggaraan Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan  mengatakan bahwa:  “Desentralisasi khususnya otonomi  dimanapun tidak dapat  dipisahkan dari masalah keuangan. Hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri menyiratkan makna membelanjai diri sendiri. Membelanjai diri sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah (harus) mempunyai sumber pendapatan sendiri”
Hal senada dikemukakan juga oleh Andi Mallarangeng,dkk  bahwa:”Tidak ada masalah yang lebih besar dalam pemerintahan lokal selain kelangkaan sumber daya keuangan.Keuangan inilah yang sering menjadi pengahalang mengimplementasikan beberapa program pembangunan penting. Dengan demikian peningkatan aministrasi pemerintahan dalam pembangunan ditingkat local tidak akan ada artinya tanpa tanpa adanya peningkatan keuangan daerah”
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui, bahwa pemerintahan daerah tidak terlepas dari masalah keuangan daerah, sehingga pemerintah daerah harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu untuk memungut  pendapatan yang legal harus dibuat instrumen hukumnya yaitu Peraturan Daerah yang pada penetapannya harus mendapat persetujuan secara konstitusioanl dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan .
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengatur tentang sumber pendapatan daerah dalam Pasal 79, pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tercantum pada Pasal 157.
Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) meliputi:
1.   Hasil pajak daerah;
2.   Hasil retribusi daerah;
3.   Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4.   lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
                  b.Dana perimbangan;
 c.Pinjaman daerah, dan
 d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
        Sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana tersebut di atas juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 antara lain disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah:
a.  Pendapatan asli daerah;
b.  Dana perimbangan;
c.   Pinjaman daerah;
d.  Lain-lain penerimaan yang sah.
                  Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan meningkatkan penerimaan secara kontinyu dan berkelanjutan agar konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini banyak peraturan daerah yang berorientasi pada pendapatan asli daerah yang dibuat tanpa melibatkan   peran  serta  masyarakat  dan  belum    mempedomani  asas-


asas pembuatan perundang-undangan yang baik sehingga pada implementasinya tidak efektif karena hanya membebani masyarakat .
                     Peraturan daerah sebagai bagian dari hukum tertulis mempunyai fungsi antara lain sebagai alat pengendali sosial, sebagai sarana rekayasa masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, sebagai simbol pemerintahan yang demokratis, karena dibuat bersama antara eksekutif dan legislatif. Pendapatan asli daerah merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah untuk mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. Pendapatan asli daerah adalah usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana atau bantuan dari pemerinntah pusat.
Di dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan dan diantara kepentingan tersebut ada yang saling bertentangan, agar tidak menjadi konflik maka hukum harus mencegahnya .
Menurut Achmad Ali bahwa hukum sering disalahartikan, ia hanya akan berfungsi jika terjadi konflik, padahal hukum telah berfungsi sebelum konflik itu terjadi



C. Pemencaran Kewenangan.

Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan pesan bahwa negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam bentuk kerangka negara yang berbentuk kesatuan, bukan federasi. Oleh karena itu  daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) tanpa lepas dari  bingkai negara kesatuan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.
Di dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 (perubahan kedua) disebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang Undang
Penggunaan istilah dibagi atas kabupaten dimaksudkan untuk menegaskan hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah yang bersifat hirarkis dan vertikal. Asas pemerintahan daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa pemerintahan daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga) asas penting yaitu:
1.    Asas desentralisasi
2.    Asas  dekonsentarsi
3.    Tugas pembantuan.
                Asas  dekonsentrasi tidak secara eksplisit dicantumkan pada Pasal 18 Ayat (2).
Sarundayang mengartikan desentarlisasi sebagai penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judisial ataupun bidang administrasi
Pemerintahan desentalisasi  menurut H.M.Laica Marzuki disebut juga desentalisasi politik. Rakyat dan wakil-wakilnya turut serta dalam pemerintahan dalam batas-batas wilayah Daerahnya masing-masing.
            Pemerintahan dengan sistim desentralisasi menimbulkan adanya otonomi daerah karena desentralisasi membutuhkan satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk merealisasikan wewenang yang telah diserahkan oleh Pemerintah pusat untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota

Amran Muslim mengartikan dekonsentasi sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah pusat kepada alat-alat pemerintah pusat yang ada di Daerah
Pemerintah  pusat sebagai pihak yang melimpahkan  wewenang tetap   bertanggungjawab    terhadap    pelaksanaan   urusan   yang   telah dilimpahkan.  Penyelenggaraan asas  desentralisasi  dan dekonsentralisasi dilaksanakan  di  propinsi.
 Tugas  pembantuan     adalah     penugasan dari     pemerintah kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk  melaksanakan    tugas   tertentu  yang   disertai   pembiayaan,  sarana  dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Menurut M.Hatta Akhmad pemencaran wewenang berpemerintahan  sudah tentu tak terpisahkan dalam rangka untuk mencapai tujuan kehidupan bernegara yang menjadi tugas pemerintah, yang bukan saja berdemensi nasional tetapi juga menjangkau dunia Internasional. Begitu luas tugas pemerintah itu sehingga di daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Undang Undang yang mengatur otonomi daerah saat ini adalah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah    sebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah.
Menurut Koesoemahatmadja istilah Otonomi berasal dari bahasa   Yunani   yang   terdiri dari atas penggalang dua kata yakni : autos dan nomos,  Autosbararti sendiri, Nomos berarti Undang-undang. Jadi Otonomi berarti membuat Undang-undang sendiri. Dalam perkembangannya konsep Otonomi Daerah, selain mengandung arti membuat Peraturan Daerah juga utamanya mencakup pemerintahan sendiri
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa otonomi daerah mempunyai kewenangan untuk merumuskan pokok-pokok hukum berupa peraturan daerah, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Menurur Syamsul Bachri, bahwa pemberian otonomi bukan hanya sekedar persoalan penambahan jumlah urusan atau persoalan perimbangan  keuangan antara Pusat dan Daerah, akan tetapi yang penting adalah : (1) adanya otoritas (authority)yang secara esensial menimbulkan hak untuk mengatur dan mengurus otonomi daerah, (2).Pemerintah  Daerah dan segenap lembaga-lembaga Daerah memiliki full authority, full responsibility dan full accountability, dan (3). Tak ada lagi problem birokrasi klasik dan pemerintahan sentralistik
Rumusan daerah  otonom dan otonomi daerah kita dapat menemukan dalam berbagai referensi di bidang pemerintahan, namun pengertian atau definisi yang akan dikemukakan dalam pembahasan ini, adalah menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974,  Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Di  dalam  Undang  Undang  Nomor  5  tahun 1974, pada Pasal 1 Huruf e daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa suatu wilayah tertentu sebagai daerah otonom memiliki kriteria atau syarat tertentu yang tidak selalu dapat dipahami oleh wilayah lainnya, misalnya dengan adanya status kesatuan masyarakat hukum, batas wilayah tertentu dan sebagainya.           
Lain halnya dengan penggertian daerah otonom berdasarkan  Undang  Undang Nomor 22 Tahun 1999, pada Pasal 1 Huruf i menyebutkan bahwa: daerah  otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan Daerah Otonom di Undang Undang 32 Tahun 2004, pada dasarnya sama dan tercantum  pada Pasal 1 Angka 6 dengan rumusan “daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Jadi hanya batas daerah diubah menjadi batas wilayah dan ditambahkan urusan pemerintahan .
Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan wilayah sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta mempunyai kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam ikatan Negara Kesatuan  Republik Indonesia.
Menurut S.H.Sarundajang, peraturan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu mulai dari Undang Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang Undang Nomor 44 Tahun 1950, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965, Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Di Daerah dan terakhir dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari undang-undang tersebut kesemuanya menganut prinsip otonomi daerah yang berbeda berdasarkan periode berlakunya

Penjelasan umum  Undang  Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengemukakan bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan diarahkan dalam pelaksanaan  otonomi daerah  yang nyata dan bertanggngjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentarsi.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa prinsip yang dipakai dan melandasai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan undang-undang ini adalah “Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”.
Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata dan mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggungjawab dalam arti bahwa pemberian otonomi daerah benar-benar sejalan  dengan tujuan, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara .
               Pada hakekatnya  otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Adapun tujuan pemberian otonom kepada daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat, sehingga undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi pada daerah tingkat II dengan harapan dapat memenuhi aspirasi masyarakat serta untuk menjalankan pembinaan kestabilan politik dan kesejahteraan bangsa.
Sebagai konsekuensi, undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan daerah otonom, apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya ternyata daerah tersebut tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya bergantung dari subsidi pemerintah.  
Berbeda dengan pinsip yang dianut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi daerah Kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai kebutuhan masyarakat, hal ini sesuai dengan fungsi pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Pada sisi lain dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menganut sistem otonomi luas, nyata dan bertangungjawab, dengan syarat pemerintah daerah dalam menentukan isi otonomi atau kewenangannya haruslah dikaitkan dengan kebutuhan riil masyarakatnya, hal ini juga tetap diatur pada undang-undang yang baru (Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004).
Menurut I.Made Suwandi  Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah  telah mensyaratkan adanya otonomi yang luas kepada daerah. Kondisi tersebut telah memberikan posisi yang kuat kepada daerah untuk melakukan re-aktualisasi kewenangan atau isi otonomi daerah, yang selama ini cendrung dilakukan secara seragam di seluruh Indonesia tanpa dikaitkan dengan karakter atau kebutuhan nyata dari daerah yang bersangkutan.

D. Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah.
                  
                   Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baik tentunya akan  menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sehingga lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan Negara yang kita inginkan. Sedangkan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baik sangat diperlukan adanya persiapan-persiapan yang matang dan mendalam antara lain pengetahuan mengenai  materi muatan yang akan diatur dalam perundang-undangan yang akan dibuat, dan bagaimana menuangkan materi muatan tersebut di dalam suatu peraturan perundang-undangan yang  secara singkat tetapi jelas, dengan suatu bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistimatis, tanpa meninggalkan tata cara sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.
Landasan formal/material konstitusional dan landasan yuridis formal/material pembentukan Peraturan Daerah adalah :
1.  Pasal 18 Ayat (6) Undang-undang Dasar 1945 pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
2.  TAP MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
3.  Pasal 18 Ayat (1) huruf d, Pasal 69,  Pasal 70,   Pasal 71,   Pasal 113, Pasal 114, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah , sedangkan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah telah diatur pada Bab VI.
                         Setelah kita memperhatikan landasan formal/material konstitusional dan landasan yuridis formal/material pembentukan Peraturan Daerah maka proses daripada pembentukan suatu peraturan daerah ada 3 tahap yang harus dilalui yaitu:
·         Proses penyiapan rancangan peraturan daerah adalah merupakan     proses penyusunan rancangan di lingkungan pemerintah daerah (eksekutif), atau dilingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Daerah (dalam hal rancangan peraturan daerah usul inisiatif).
·         Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
·         Proses pengesahan oleh Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekertaris Daerah.
 Prinsip utama pembentukan perundang-undangan berkaitan dengan  hierarkinya adalah peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.  Oleh karena itu kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya.
Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah  dikenal adanya  asas pembentukan sehingga peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu sehingga terjaga keabsahan penerbitannya dan diakui secara formal oleh masyarakat.
Syarat-syarat yang perlu mendapat perhatian dalam proses pembentukan peraturan daerah adalah :
1.    Asas kejelasan tujuan artinya untuk apa peraturan daerah tersebut dikeluarkan dan  apa tujuan  diterbitkan,
2.    Asas manfaat
3.    Asas kewenangan
4.    Asas kesesuaian.
5.    Asas dapat dilaksanakan dengan memperhatikan landasan filosofi, landasan yuridis, landasan sosiologis, landasan politis.
6.     Asas kejelasan rumusan.
7.    Asas keterbukaan.
8.    Asas efesiensi.
           
                                   
E. Kerangka Pikir.

Indonesiaadalah negara hukum, oleh sebab itu semua pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat harus berdasarkan undang-undangan khusus untuk daerah propinsi, daerah kabupaten/kota berdasarkan peraturan daerah sebagai peraturan tertinggi yang dibuat oleh daerah. 0tonomi daerah berarti hak, wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh suatu daerah (daerah otonom), dan harus diarahkan dalam rangka mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri dengan tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai konsekuensi bagi suatu negara hukum.
Dengan lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka rumusan pengertian otonomi daerah secara redaksional dan material mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan dan aspirasi rakyat yang melatar belakangi lahirnya undang-undang tersebut.                           
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 merumuskan otonomi yaitu hak,, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat  sesuai dengan peraturan perundang-undangan sedang,   Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan penekanan   kewenangan yang menonjolkan kepentingan masyarakat sebagai alasan dan sekaligus sebagai sasaran perhatian dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga cenderung kurang memberikan kesan adanya dominasi pemerintah pusat. Namun demikian wewenang pemerintah pusat harus tetap diakui dan diterima, khususnya bagi daerah kabupaten/kota yang kurang mampu, tidak hanya sebagai konsekuensi status tingkat pemerintahan, tetapi juga aplikasi dan akibat bentuk Negara Kesatuan RI berdasarkan Undang Undang Dasar 1945. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi  sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah tangganya. Keharusan  tersebut tidak dapat dipungkiri oleh karena  merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.
                        Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui, pemerintah daerah tidak terlepas dari masalah keuangan , sehingga pemerintah daerah  harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah  sendiri sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu untuk memungut  pendapatan yang legal harus ada instrumen hukumnya yaitu peraturan daerah yang dalam pemberlakuaanya telah mendapat persetujuan secara konstitusioanl dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
                                Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan meningkatkan penerimaan secara kontinyu dan berkelanjutan agar konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah.  Namun kenyataan yang kita hadapi saat ini banyak peraturan daerah yang berorientasi pada pendapatan asli daerah dibuat tanpa memperhatikan asas-asa pembuatan peraturan daerah yang baik sehingga  pada proses pembuatan peraturan daerahnya tidak melibatkan peran serta masyarakat secara langsung sehingga pada implementasinya  tidak efektif karena masyarakat hanya merasa terbebani tanpa pelayanan yang memuaskan bahkan birokrasi makin panjang. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip otonomi daerah .


BAB III

METODE PENELITIAN

A.   Lokasi Penelitian.

Penelitian dilakukan di kota Palu, dengan didasarkan pada pertimbangan bahwa di kota Palu perda-perda yang telah ada dan berorientasi pendapatan asli daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam implementasinya belum sepenuhnya memperhatikan kepentingan masyarakat.

B.   Bentuk dan Pendekatan Penelitian 
Bentuk penelitian yang digunakan adalah kajian normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, adapun data yang diketemukan dilapangan hanya merupakan data pendukung . 
C.   Sumber Data Penelitian

Berdasarkan pendekatan yang digunakan, maka dapat ditentukan sumber bahan penelitian yaitu bahan hukum primer  yaitu peraturan perundang-undangan, buku literatur hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan objek penelitian dan bahan hukum sekunder berupa tambahan lembaran Negara yang berkaitan dengan objek penelitian, data yang berbentuk angka hanya merupakan data   penunjang .


. D. Definisi Operasional.

1.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban  daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
3.Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan  pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
4.Otonomi bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan  kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonom, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur urusan pemerintahan dalam system Negara  Kesatuan Republik Imdonesia.
6.Dekonsentrasi aalah pelimpahan wewenang  pemerintahan oleh pemerintah  kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu .
7. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa  dari daerah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa dari pemerintah kabupaten/kota kepada  desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
8. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
9.Pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah ssuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:
a.       Hasil pajak daerah.
b.       Hasil retribusi daerah.
c.        Perusahan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d.       Lain-lain pendapatan asli daerah.
10.    Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
11.    Retribusi daerah adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
12. Lain-lain pendapatan yang sah adalah pendapatan-pendapatan lain yang tidak termasuk ke dalam jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan pendapatan dinas-dinas yang sifatnya insidentil/temporer. yang menunjang pelaksanaan atonomi daerah adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dilapangan tidak ada hambatan pada pelaksanaannya.
13. Peraturan  Daerah   yang   menunjang    pelaksanaan  otonomi   daerah
adalah peraturan daerah yang pada penerapannya dimasyarakat tidak  ada kendala,
14. Peraturan Daerah  yang berorientasi pada kepentingan masyarakat adalah Peraturan daerah yang materi muatannya  memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat.

                                      DAFTAR PUSTAKA

A.   Buku-buku.
  
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Ateng Syafrudin, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Amrah Muslim, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah,Alumni Bandung, 1978.
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan dasar, jenis dan teknik membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Anonim, Himpunan Peraturan Otonomi Daerah serta Peraturan  Pelaksanaannya, Pustaka Antara Utama, Jakarta Pusat, 2001.
---------, Tugas, Fungsi dan Perannya Dalam Pemerintahan dI Daerah, Departemen Dalam Negeri, Jakarta,1985.
Andi Mustari Pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.
Andi Mallarangeng,Dkk, Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis,Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2001.
Ann Seidman, Dkk, Penyusunan Rancangan Undang Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan UndangUndang, Perpustakaan Nasional, Jakarta , 2001.
Arifin.P.Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, Gramedia, Jakarta. 1986.
Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut  UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Srafindo Persada, Jakarta 2001.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Press, Jakarta, 1993.
Divey.K.J.dalam Sopratman, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, Universitas Indonesia, Press, Jakarta, 1988.
Harry Alexander, Panduan Perancangan Peraturan Daerah Di Indonesia,PT XSYS Solusindo, Jakarta, 2004.
Irawan Soejito, Teknik Membuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Jimly Asshiddigie, Konsulidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Kedua, Pustaka Negara, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2002.
Kaho Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991.

Kansil, Pokok-Pokok Pemerintahan di Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1979.

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Pemerintahan dan Peradilan Administrasi, Alumni Bandung, 1981.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta, 2000.

Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta, 1992.

Syarifuddin Tayeb, Hasil Penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Depdagri dan UGM, Jogyakarta, 2001.

Widjaja,.A.W,Titik Berat Otonomi Daerah , Raja Srafindo Persada, Jakarta, 1998.

_____, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.


B. Undang-undang.
_____, Undang Undang Otonomi Daerah,Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

_____, Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 2004.

_____, Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2004.

_____, Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemrintahan Pusat dan Pemerintah Daerah,Jakarta, 2004.

A.  Jurnal.

_____,Warta Perundang-undangan, Biro Hukum dan Perundang-     undangan Setda Prop. Sulteng, Palu, 2000.
Djohermansyah Djohan,Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah,Jurnal Ilmu Pemerintahan MIPI, Edisi 14 Tahun 2001, Jakarta, 2001.

Hatta Akhmad, Otonomi Daerah Berkenaan Dengan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, Jurnal Toposantoro, Palu, 2000.

I.Made Suwandi, Jurnal Otonomi Daerah, Tahun 2003.

Rab Tabrani, Jurnal Depdagri,Depkeu, Jakarta, 1999

Syaukani HR. Seminar Otonomi Daerah Strategi Pemberdayaan Daya Saing Daerah, Jurnal Otonomi Daerah, 2001.


D. Makalah.

Koesumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,Seminar dan Lokakarya, Makassar, 1979, h.15.

Laica Marzuki, Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya, Taruhan Terakhir Negara Kesatuan RI, Makalah Diklat PMPPL-UNHAS, kerjasama PSKMP-LPPM, UNHAS, Makassar, 1999.
 
Syamsul Bachri, Otonomi Daerah dalam Prospektif Struktur dan Fungsi Struktur dan Fungsi Birokrasi Daerah, Makalah Seminar Nasional Otonomi Daerah, Makassar, 1999.


E.Media Massa.

Kompas, 13 Agustus, 2003.

Kompas, 14 Agustus, 2003.

Radar Sulteng, 20 Maret,2002.











No comments:

Post a Comment