Friday, February 15, 2013

Renreng Dalam Komunitas Nelayan Di Pulau Saugi (ANT-3)

Segala upaya untuk mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan kemajuan IPTEK. Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21.  
Tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor bidang kelautan dan pesisir yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Sehingga tidak salah jika Indonesia dikatakan negara kepulauan yang merupakan gugusan yang terpanjang dan terbesar didunia, luas lautanya 5 juta km2 merupakan sumberdaya laut yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia karna laut-laut Di Indonesia kaya akan ikan. Keadaan ini memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat yang khususnya berada didaerah pesisir dan pulau-pulau untuk memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya yang ada dilaut.

Kawasan pesisir merupakan bagian dari daerah yang menjadi batas antara wilayah laut dengan daratan. Kawasan ini sangat kompleks dengan berbagai isu dan permasalahan yang memerlukan penanganan yang komprehensif dengan strategi khusus dan terpadu. Selama ini kawasan pesisir belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah, dalam pengelolaannya. Sehingga belakangan ini baru dirasakan berbagai permasalahan yang muncul tentang kawasan pesisir. Salah satu konsep penanganan kawasan pesisir yang dikembangkan adalah konsep Integrated Coastal Zone Management, yaitu pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan memperhatikan segala aspek terkait di pesisir yang meliputi antara lain aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Melalui aplikasi konsep tersebut diharapkan dapat diatasi berbagai permasalahan yang muncul belakangan ini dalam pengelolaan kawasan pesisir. (http://hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php?dw.8).                                       Tidak salah jika dikatakan bahwa Di Indonesia sektor kelautan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pangan, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya  (Mulyadi, 2005:13). Sehingga secara proporsional bila dikaitkan dengan luas wilayah dan juga potensi yang terkandung didalamnya dan banyaknya kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pengolahan sumber daya laut.
Ini membuktikan laut kita yang kaya akan ikan dan beranekaragam biota laut lainnya, dengan demikian laut dimanfaatkan seefektif mungkin sebagai mata pencaharian nelayan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan lingkungan laut sesungguhnya merupakan serangkaian upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat dengan menggunakan sejumlah potensi untuk memenuhi sejumlah kebutuhan. (Naping, 2007:2).                                                                                             Potensi sumber daya daerah pesisir dan pulau-pulau yang berada di  laut Indonesia terutama di Sulawesi Selatan, selain menjadi tumpuan hidup masyarakat nelayan, dapat pula menjadi wadah ekonomi bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini tidak lepas dari kekayaan sumber daya alam yang terdapat di laut Indonesia, yang tersebar pada 17.508 Pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 juta km dengan luas 31 juta km (Hadelia, 2005:1).                                                                                Namun untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut biotik maupun abiotik masyarakat nelayan tidaklah mudah nelayan harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan mengatasi rintangan-rintangan alam yang ganas, cuaca yang sewaktu-waktu bisa berubah tergantung pada keadaan angin musonsehingga nelayan diharuskan selalu hati-hati (Poelinggomang, 2002:17) dan bagaimana cara mereka memanfaatkan sebaik mungkin semua hasil yang di dapatkan sehingga sebisa mungkin hasil tersebut tidak ada yang terbuang percuma ini dilakukan masyarakat baik pesisir maupun pulau untuk meningkatkan penghasilan mereka semaksimal mungkin.                                                                      Laut yang luas dan kaya akan sumber daya baik biotik maupun abiotik yang tersebar hampir disemua daerah  terutama di Sulawesi Selatan termasuk pulau-pulaunya baik itu pulau besar maupun pulau kecil. Salah satunya yaitu pulau terdapar di Sulawesi Selatan yaitu Pulau Saugi. Laut yang berada Di Pulau Saugi yang kaya akan sumber daya biotik maupun abiotik di manfaatkan oleh masyarakat pulau tersebut sebagai mata pencaharian hidup karena sebagian besar dari mereka adalah nelayan. Sehingga untuk menagkap ikan teknologi penangkapan yang digunakan merupakan salah satu bentuk upaya pemanfaatan sumber daya perikanan khususnya sumber daya ikan yang ada dilaut. Dalam perkembangan teknologi alat tangkap (koentjaranngrat, 1990:33) mengatakan bahwa mata pencaharian nelayan lebih banyak tergantung pada perkembangan teknologi.   
Dengan demikian dibutuhkan alat tangkap yang mempunyai nilai dan mutu yang berkualitas tinggi serta tidak merusak ekosistem laut namun teknologi alat tangkap yang dibutuhkan tidak harus canggih dan modern. Hal inilah yang dilakukan oleh salah satu masyarakat yang ada Pulau Saugi, dari pengamatan memperlihatkan beraneka ragam jenis alat tangkap. Dengan berbekal pengtahuan dan pengalaman yang di milikinya dengan berbagi pengalaman dengan masyarakat lainnya yang ada di Pulau Saugi sehingga masyarakat Pulau Saugi berinisiatif untuk membuat teknologi penangkapan mereka sendiri. Walaupun alat tangkap yang mereka kembangkan masih sederhana namun alat tangkap ini dapat menghasilkan lumayan dalam sekali mereka melaut. Alat tangkap yang mereka kembangkan adalah masyarakat Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng(troll). Sehingga nelayan yang selama ini masih menggunakan bom dan bius dapat beralih ke alat tangkap yang mereka sebut dengan Renreng (troll). Dikarenakan selain penggunaanya dilarang oleh pemerintah penggunaan bom dan bius juga dapat merusak trumbu karang tempat bermainnya ikan sehingga dapat mempercepat berkurangnya sumber daya hayati yang ada di laut.                                                                                                Jika pada tahun 1960-1970 an mereka menggunakan Sikuyu, Rawe, Nambe, Pukat Juku, dan Pekang cumi, dan tahun 1970 mereka menggunakan Panyangkara walaupun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi sering mengalami perubahan namun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi tetap yang ramah  lingkungan. Saat ini 1970-2011 masyarakat Pulau Saugi menggunakan alat tanggkap yang mereka sebut dengan Renreng (troll). Bentuk Renreng dimasukkan kedalam kategori troll, namun jenis troll ini merupakan alat tangkap penggabungan antara troll dengan panyungkara yaitu sebuah pukat yang ditarik oleh perahu bermesin, disebut penggabungan sebab bentuk Renrengmirip dengan troll sedangkan ukurannya mengikuti panyangkara.
            Renreng merupakan alat tangkap yang dioperasikan oleh 1-2 orang. Renrengmasuk ke Pulau Saugi sekitar tahun 1985-1988. Perkembangan renreng di Pulau Saugi termasuk sangatlah pesat hanya selang beberapa tahun sejak pertama masuknya ke pulau saugi kini hampir keseluruhan masyarakat pulau Saugi menggunakan alat tangkap tersebut. Mekipun sebagian besar masyarakat Pulau Saugi menggunakan Renreng sebagai alat tangkap namun ada juga yang tidak beralih menggunakan Renreng dengan berbagai alasan. Ada yang mengatakan pukat lebih menguntungkan, namun ada juga yang mengatakan karena mereka tidak mampu untuk membeli Renreng dan alat lainya yang digunakan untuk mengoprasikan Renreng.

No comments:

Post a Comment