Saturday, March 9, 2013

KUMPULAN CONTOH SKRIPSI PSIKOLOGI TERBARU



PENGARUH METODE MULTISENSORI DALAM MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK
TAMAN KANAK - KANAK
(Studi Eksperimental di TK ABA 52 Semarang)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005, h. 5). Maka tepatlah bila dikatakan bahwa usia dini adalah usia emas (golden age), di mana anak sangat berpotensi mempelajari banyak hal dengan cepat. Penyelenggaraan sekolah Taman Kanak – kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004 berfokus pada peletakan dasar – dasar pengembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak (Megawangi, 2005, h. 82). Maka sebaiknya pendidikan Taman Kanak – kanak (TK) janganlah dianggap sebagai pelengkap saja, karena kedudukannya sama penting dengan pendidikan yang diberikan jauh di atasnya.
Pentingnya mengenyam pendidikan TK juga ditunjukkan melalui hasil penelitian terhadap anak – anak dari golongan ekonomi lemah yang diketahui kurang memperoleh rangsangan mental selama masa prasekolah, ternyata pendidikan selama 10 tahun berikutnya tidak memberi hasil yang memuaskan (Adiningsih, 2001, h. 28). Beberapa tahun belakangan ini pun, banyak sekolah dasar, terutama sekolah dasar favorit yang memberikan beberapa persyaratan masuk pada calon siswanya. Sekolah ini mengadakan tes psikologi dan mensyaratkan anak sudah harus bisa membaca (Andriani, 2005, h. 1).  Dampaknya, orangtua pun meyakini bahwa sebelum masuk sekolah dasar, putra – putrinya harus menguasai ketrampilan tertentu. Akhirnya mereka merasa pendidikan TK merupakan suatu prasyarat masuk sekolah dasar. Di satu sisi, membaca bukanlah tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pendidikan TK, namun di sisi lain hal ini justru menambah daftar alasan mengapa belajar membaca sejak TK itu penting.
Corak pendidikan yang diberikan di TK menekankan pada esensi bermain bagi anak – anak, dengan memberikan metode yang sebagian besar menggunakan sistem bermain sambil belajar. Materi yang diberikan pun bervariasi, termasuk menjadikan anak siap belajar (ready to learn), yaitu siap belajar berhitung, membaca, dan menulis (Suyanto, 2005, h. 7). Mempersiapkan anak untuk belajar di usia ini diharapkan dapat memberi hasil yang baik, karena menurut Montessori (dalam Hainstock, 2002, h. 103) di usia 3,5 – 4,5 tahun anak lebih mudah belajar menulis, dan di usia 4 – 5 tahun anak lebih mudah membaca dan mengerti angka. Doman (2005, h. 13) juga mendukung pernyataan ini, karena menurutnya waktu terbaik untuk belajar membaca kira – kira bersamaan waktunya dengan anak belajar bicara, dan masa peka belajar anak terjadi pada rentang usia 3 hingga 5 tahun. Maka dapat disimpulkan bahwa pengajaran membaca (baik itu sebatas pengenalan huruf atau suku kata) sejak usia Taman Kanak – kanak atau bahkan sejak usia 3 tahun bukanlah sesuatu yang aneh atau tidak boleh dilakukan, karena yang terpenting adalah pengemasan materi serta metode yang digunakan. Membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life long learning). Mengajarkan membaca pada anak berarti memberi anak tersebut sebuah masa depan, yaitu memberi teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun yang dia pilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidupnya (Bowman, 1991, h. 265). Pada tahun 1994, Neil Harvey, Ph.D. dalam bukunya “Kids Who Start Ahead, Stay Ahead” melaporkan apa yang terjadi pada 314 anak usia prasekolah (0 – 4 tahun) yang telah diajarkan membaca, matematika, kegiatan fisik, aktivitas sosial, dan berbagai pengetahuan umum lainnya. Hampir 35% dari anak – anak ini, di sekolah dikategorikan sebagai anak berbakat yang unggul dengan sangat meyakinkan dalam berbagai bidang (Doman, 2005, h. 51). Penelitian di negara maju pun menunjukkan sebaliknya, bahwa lebih dari 10% murid sekolah mengalami kesulitan membaca, yang kemudian menjadi penyebab utama kegagalan di sekolah (Yusuf, 2003, h. 69). Melihat dampak yang akan dihasilkan dari kegagalan pengajaran membaca, dirasakan bahwa kemampuan membaca perlu dirangsang sejak dini. Namun, membaca bukanlah suatu kegiatan pembelajaran yang mudah. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam membaca. Secara umum, faktor – faktor tersebut datang dari guru, anak, kondisi lingkungan, materi pelajaran, serta metode pelajaran (Sugiarto, 2002). Faktor – faktor tersebut terkait dengan jalannya proses belajar membaca, dan jika kurang diperhatikan hal tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan membaca pada anak. Anak harus menggunakan pendekatan visual, suara, dan linguistik untuk bisa belajar membaca dengan fasih. Kemampuan membaca anak tergantung pada kemampuan dalam memahami hubungan antara wicara, bunyi, dan simbol yang diminta (Grainger, 2003, h. 174). Kemampuan memetakan bunyi ke dalam simbol juga akan menentukan kemampuan anak dalam menulis dan mengeja. Dengan memperhatikan kemampuan yang dibutuhkan anak dalam belajar membaca, selanjutnya diperlukan kerjasama komponen – komponen lain dalam proses membaca. Guru atau orangtua dapat membimbing anak lebih baik, dan mempersiapkan materi serta metode yang tepat untuk memberi pengajaran membaca pada anak.
NAEYC (National Association for the Education of Young Children) memberikan rekomendasi bentuk dan metode pengajaran membaca pada anak Taman Kanak – kanak, yaitu berupa bentuk praktik yang cocok dan tidak cocok untuk dikembangkan dalam pendidikan masa awal anak-anak yang berkaitan ndengan perkembangan bahasa dan melek huruf. Beberapa praktik yang masih sering ditemui dalam pelajaran membaca dan menulis, adalah mengenal hurufhuruf tunggal, membaca alfabet, menyanyikan nyanyian alfabet, membentuk huruf di atas garis yang sudah ditentukan sebelumnya, atau menyuruh anak mengoreksi bentuk huruf di atas garis yang sudah dicetak merupakan contoh praktik yang tidak cocok diterapkan karena menekankan perkembangan ketrampilan secara terpisah (Santrock, 2002, h. 245). Senada dengan NAEYC, Megawangi (2005, h. 89) pun beranggapan jika anak belajar menulis dengan mengikuti titik – titik yang sudah dibuat guru, anak tidak mengerti apa yang ia tulis. Hal ini merupakan bentuk praktek pendidikan yang tidak patut, berpedoman pada teori Developmentally Appropriate Practices (DAP). DAP juga
menyarankan praktek pendidikan yang patut untuk anak Taman Kanak – kanak  yaitu dengan membiarkan anak bereksplorasi sendiri, mencoba menulis huruf atau kata yang ia inginkan dan guru hanya memberi contoh bila perlu. Selain rekomendasi dari NAEYC dan aplikasi DAP, praktik pengajaran membaca yang cocok untuk anak usia dini adalah yang memperhatikan perbedaan tingkat kemampuan anak dan tipe pembelajaran pada tiap anak. Seperti yang dinyatakan Ross (1984, h. 99) bahwa suatu metode belajar belum tentu efektif
untuk semua anak karena setiap anak mempunyai cara sendiri untuk belajar. Ada anak yang memiliki tipe belajar visual learners, auditory learners, kinesthetic learners, atau kombinasi. Pendapat ini pun sejalan dengan yang dikemukakan oleh Puar (1998, h. 30) bahwa tidak ada metode khusus untuk mempercepat kemampuan membaca anak prasekolah, namun sebaiknya apapun metode yang digunakan sebaiknya memperhatikan kebutuhan dan gaya belajar anak.
Di Indonesia, materi yang diajarkan di taman kanak-kanak berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK mulai diterapkan sejak awal tahun ajaran 2004/2005, memuat program kegiatan belajar di Taman Kanak – kanak yang mencakup tiga bidang pengembangan, yaitu pengembangan moral dan nilai agama, pengembangan sosial dan emosional, serta pengembangan kemampuan dasar, antara lain: pengembangan berbahasa, kognitif, fisik, dan akademik (Andriani, 2005, h. 3). Tujuan KBK adalah memantapkan perkembangan fisik, emosi, dan sosial untuk siap mengikuti pendidikan berikutnya (Megawangi, 2005, Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala TK ABA 52 Semarang, sistem KBK terdiri dari 10 pusat atau area kegiatan, yaitu area musik, seni, drama, balok, matematika, pasir dan air, IPA, memasak, baca dan tulis, serta agama atau ketuhanan. Di sekolah setiap harinya kegiatan anak terpusat pada 3 area yang telah ditentukan guru sebelumnya. Anak diberi kesempatan untuk memilih area kegiatan apa yang ingin dilakukannya terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan pendapat prinsip belajar trial and error, bahwa anak – anak mengerti dunianya dengan mencoba dan membuat kesalahan, maka akhirnya mereka mendapat pemahaman baru. Namun berdasarkan data yang ditemukan di lapangan, kurikulum ini memiliki beberapa kendala teknis yang bersumber dari segi materi.
Kepala TK ABA 52 Semarang juga menyatakan bahwa kelemahan dari KBK antara lain adalah ketersediaan alat peraga. Kesepuluh area kegiatan dalam KBK memerlukan alat peraga yang jumlahnya juga harus disesuaikan dengan jumlah anak dalam kelas, sementara berdasarkan hasil observasi dan wawnacara, alat yang tersedia saat ini sangat jauh dari cukup. Kondisi ini menuntut guru untuk berkreasi mengembangkan sendiri suasana belajar di dalam kelas agar tetap menyenangkan bagi anak. Namun demikian kendala tetap saja terjadi karena
banyak anak yang menjadi bosan dan kehilangan konsentrasi. Akibatnya, hanya sekitar 20% dari jumlah anak dalam kelas yang mampu menyelesaikan tugas dan menguasai ketiga area kegiatan setiap harinya. Dalam hal baca tulis, lemahnya daya konsentrasi anak akan berpengaruh terhadap kemampuan membaca pada anak karena atensi dan motivasi perlu ditumbuhkan untuk mengembangkan kemampuan membaca (Dardjowidjojo, 2003, h. 300). Selain itu, di kelas pun tidak ditemukan huruf – huruf yang ditempel atau gambar – gambar disertai tulisan di bawahnya, yang sebenarnya dapat memberi rangsangan awal bagi anak dalam hal baca dan tulis. Praktik pengajaran baca tulis di dalam kelas juga memuat beberapa kelemahan. Materi dalam buku penunjang lebih banyak menuntut anak untuk belajar menulis dengan menebalkan garis yang sudah ditentukan sebelumnya. Praktik ini jelas tidak sesuai dengan rekomendasi NAEYC maupun teori DAP yang telah dikemukakan di atas. Praktik ini pun justru bertentangan dengan prinsip pembelajaran konstruktivisme dan kontekstual dalam KBK itu sendiri yang mensyaratkan untuk memungkinkan siswa bereksplorasi dan menggali
secara lebih dalam kemampuan, potensi, serta keindahan (Akhdinirwanto, 2003). Kurangnya kesempatan siswa dalam bereksplorasi dikarenakan ketersediaan alat peraga yang sangat terbatas. Akibatnya, menurut keterangan beberapa orangtua, anak – anak lebih mudah menangkap pelajaran membaca yang diberikan di rumah karena alat – alat peraga yang disediakan orangtua di rumah. Sistem pendidikan bagi anak – anak yang mengalami kesulitan membaca telah mengembangkan suatu program remedial membaca yang salah satunya menggunakan metode multisensori (Yusuf, 2003, h. 69). Pendekatan multisensor mendasarkan pada asumsi bahwa anak akan belajar lebih baik jika materi pelajaran disajikan dalam berbagai modalitas. Modalitas yang sering dilibatkan adalah visual (penglihatan), auditory (pendengaran), kinesthetic (gerakan), dan tactile (perabaan), yang sering disebut VAKT. Metode ini merupakan salah satu program remedial membaca untuk anak disleksia, namun dirasakan bahwa beberapa prinsip dalam metode ini dapat diterapkan, dan diharapkan mampu mengatasi beberapa kendala penerapan metode membaca dalam KBK di sekolah formal.
Proses membaca melibatkan ketrampilan diskriminasi visual dan suara, proses perhatian, dan memori (Grainger, 2003, h. 180). Anak disleksia pada umumnya memiliki kelemahan umum dalam kapasitas memori jangka pendek, karenanya metode multisensori dirancang secara remedial sehingga memungkinkan mereka mendapatkan latihan yang cukup dalam mengingat
memori – memori verbal. Jika diterapkan pada anak – anak normal, proses remedial juga akan mengasah kemampuan anak dalam membaca dengan memperbanyak latihan sehingga kata yang baru lebih cepat dikuasai baik dari segi penulisan (ortografis) maupun pengucapan (fonemis). Metode multisensori menekankan pengajaran membaca melalui prinsip VAKT, dengan melibatkan beberapa modalitas alat indera. Dengan melibatkan beberapa modalitas alat indera, proses belajar diharapkan mampu memberikan hasil yang sama bagi anak – anak dengan tipe pembelajaran yang berbeda – beda. Pendekatan yang sesuai dengan tipe pembelajaran anak akan memberi lebih banyak kesempatan bagi anak untuk menggali kemampuan dan potensinya, sesuai prinsip KBK yang saat ini belum diterapkan secara optimal. Prinsip VAKT dalam praktiknya diterapkan dengan menggunakan alat bantu, yang mewakili fungsi dari masing – masing alat indera yang ada. Penggunaan berbagai alat bantu sebagai media pembelajaran diharapkan mampu membantu proses belajar. Seperti disampaikan oleh Hamalik (Arsyad, 2006, h. 16), bahwa pemakaian media dalam proses pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi, memberikan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh – pengaruh psikologis pada siswa. Media akan dapat menarik minat anak dan akhirnya berkonsentrasi
untuk belajar dan memahami pelajaran. Berdasarkan uraian di atas, metode multisensori yang umumnya digunakan sebagai program pengajaran membaca untuk anak – anak disleksia ini belum diterapkan di sekolah formal. Sementara jika melihat prinsip – prinsip penerapannya, metode ini memiliki beberapa kelebihan dalam memperbaiki dan mempercepat proses membaca. Maka peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengaruh metode ini jika diterapkan pada anak – anak di sekolah formal, sekaligus memberi anak – anak ini kesempatan untuk mengembangkan kemampuan membacanya secara optimal sesuai minat dan usianya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ditemukan bahwa metode multisensori yang selama ini digunakan dalam pengajaran membaca anak – anak disleksia memiliki beberapa prinsip yang memperhatikan kemampuan dan gaya belajar anak. Metode ini pun mampu membangkitkan minat dan motivasi anak, serta memberi kesempatan bagi anak untuk banyak berlatih membaca. Melihat prinsip – prinsip penerapan metode multisensori yang memberi dampak positif pada proses membaca, maka ingin diketahui pengaruhnya terhadap kemampuan membaca pada anak – anak di taman kanak – kanak.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh metode multisensori dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anakanak di taman kanak-kanak. Apakah terjadi peningkatan kemampuan membaca permulaan pada kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa metode multisensori jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan referensi di bidang psikologi perkembangan, terutama perkembangan pada masa awal anak – anak; dan psikologi pendidikan, terutama bagi pendidikan anak usia dini.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Siswa Taman Kanak – kanak, untuk meningkatkan kemampuan membaca sejak dini.
b. Para guru khususnya dan para praktisi pendidikan pada umumnya, sebagai referensi bahwa dalam mengajar membaca, penting untuk memperhatikan anak secara spesifik berdasarkan kemampuan dan tipe belajar mereka.
c. Para guru khususnya dan para praktisi pendidikan pada umumnya, dalam memberikan informasi tentang metode membaca lain yang dapat dilakukan sebagai alternatif untuk memperbaiki proses membaca pada anak.

NB: BAGI TEMAN-TEMAN YANG INGIN VERSI LENGKAPNYA BISA MINTA DI KOLOM KOMENTAR,,

No comments:

Post a Comment