Wednesday, March 6, 2013

KUMPULAN SKRIPSI BAHASA INDONESIA REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA



REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA
DI LINGKUNGAN TERMINAL
(sebuah kajian Sosiopragmatik)





BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat agak memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau reseller. Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.
                                       Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan para calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’ memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan para calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.
                                       Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang tidak sesuai dengan keinginan para calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang seperti ‘anjing’, ‘monyet’, ‘babi’ dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi “adu mulut” antara para calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.
                                       Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di terminal Cicaheum :
                                       Supir  :  “Yeuh duitna, dua rebu nya?”
                                       Calo   :  “ Anjing maneh mah ngan sakieu!”
Supir  :  “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit     sia!”
                                       Calo   :  “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”
                                       Supir  :  “ Lebok tah duitna, blegug maneh mah!”
                                       Calo   :  “Eh…dasar supir monyet”.

                                       Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di terminal Cicaheum. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa (Cirebon), dan bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.
                                       Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personalatau pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro1974; Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.
                                       Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.
                                       Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.
                                       Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para  penuturnya  yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan beragam.
                                       Menurut Moeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik (1972), ditinjau dari sudut pandangan penutur, ragam dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
                                       Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
                                       Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).
                                       Di dalam berbahasa juga terdapat etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral. Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102).
                                       Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
                                       Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika.
                                       Dalam berkomunikasi, tidak akan pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa olok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa. Misal, mudah marah, kata-katanya kasar, dan bersifat memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat tersebut.
                                       Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati.
                                       Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik saat ini. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, karena penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik untuk menelitinya. Sepengetahuan penulis, ada beberapa yang sudah meneliti tentang kekasaran berbahasa, diantaranya Ai Sulastri (2004) dengan judul ‘Gejala Disfemisme (Bentuk Pengasaran) Dalam Bahasa Indonesia’. Hasil penelitian ini adalah ternyata banyak sekali kekasaran berbahasa dalam bahasa Indonesia. Para pemakai bahasa kasar ini pun semakin merasa nyaman dengan apa yang mereka lontarkan. Selain Ai Sulastri juga ada Lela Febrianti (2006), dengan judul ‘Sarkasme Pada Film Anak-anak’. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa bentuk kekasaran berbahasa tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi sudah menjalar ke anak-anak dengan ditayangkannya film anak-anak yang bahasanya terkadang kasar.
                                       Dari beberapa sumber yang disebutkan itu, dapat diketahui bahwa penelitian tentang ‘Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal’ belum dilakukan secara khusus. Untuk itu, melalui penelitian ini akan dicoba melakukan telaah terhadap tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal yang mengandung kekasaran berbahasa dengan memperhatikan tuturan yang dilakukan oleh mereka.

                           1. 2. Identifikasi Masalah
                                   Hal-hal yang diidentifikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      wujud ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;
2.      bahasa yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak yang tidak santun;
3.      ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dan;
4.      penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur.

1. 3. Batasan Masalah           .
        Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
  1. tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung kesantunan;
  2. ragam bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;
  3. calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang dituju adalah yang ada di terminal angkot/bus dan;
  4. penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan yag diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di terminal angkot/bus.

1. 4. Rumusan Masalah:
  1. Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?
  2. Apa sajakah ujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur?
  3. Bagaimana penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur?
  4. Bagaimana persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?

1. 5. Tujuan
        Tujuan penelitian ini adalah:
  1. mendeskripsikan kesantunan berbahasa oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal;
  2. untuk mencari tahu ragam bahasa yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal;
  3. mendeskripsikan penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal dan;
  4. mengetahui persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa para calo, pedagang asongan, supir, dan kndektur.

1. 6. Manfaat Penelitian
        Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.
  1. Untuk kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data tentang penelitian bahasa-bahasa kasar.
  2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan yang dituturkan di lingkungan terminal.

1. 7. Definisi Operasional
  1. Lingkungan terminal adalah tuturan sarkasme antara calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang terjadi di terminal Cicaheum Bandung dan terminal Harjamukti Cirebon.
  2. Calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya dalam mencari penumpang di lingkungan terminal yang menuturkan tuturan sarkasme.
  3. Pedagang asongan adalah orang yang biasa menjajakan dagangannya di lingkungan terminal terutama di dalam bus yang menuturkan tuturan sarkasme.
  4. Supir adalah orang yang mengemudikan kendaraan angkot/bus yang ada di lingkungan terminal yang menuturkan sarkame.
  5. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang di lingkungan terminal yang menuturkan sarkasme.
  6. Gaya bahasa sarkame adalah gaya bahasa yang memuat kata-kata kasar, olok-olok, atau sindiran pedas yang menyakitkan hati.
  7. Realisasi kesantunan berbahasa adalah proses menjadikan bahasa yang halus, baik, dan sopan.
  8. Prinsip sopan santun adalah prinsip yang terdapat dalam ilmu Pragmatik yang di dalamnya terdapat enam maksim yaitu, maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian oleh Leech.
  9. Sosiopragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji bahasa dengan pendekatan sosial dan pragmatik


BAB 2
IHWAL SOSIOPRAGMATIK, RAGAM BAHASA,
TINDAK TUTUR DAN KESANTUNAN

            Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat elastis, artinya penelitian ini tidak bertumpu pada satu teori tertentu, tetapi berpegang pada beberapa teori yang dianggap cocok dan sejalan dengan penelitian ini. Adapun teori-teori yang dijabarkan dari tinjauan pustaka dan ditinjau oleh penelitian sebagai landasan teori dalam memecahkan masalah.

2. 1. Sosiopragmatik
            Sosiopragmatik merupakan telaah mengenai kondisi-kondisi atau kondisi-kondisi ‘lokal’ yang lebih khusus ini jelas terlihat bahwa Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesopanan berlangsung secara berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka mayarakat bahasa, dalam situasi sosial yang berbeda-beda dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sosiopragmatik merupakan tapal batas sosiologis pragmatik. Jadi, jelas disini betapa erat hubungan antara  sosiopragmatik dengan sosiologi (Tarigan, 1990:26).
            Pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan sosiolinguistik masing-masing memiliki titik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis. (Wijana, 1996: 6).
            Adanya kenyataan bahwa wujud bahasa yang digunakan berbeda-beda berdasarkan faktor-faktor sosial yang tersangkut di dalam situasi pertuturan, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi penutur dan petutur dan sebagainya menunjukkan alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh kaum strukturalis untuk menolak keberadaan variasi bahasa tidak dapat diterima. Secara singkat konsep masyarakat homogen kaum strukturalis jelas-jelas bertentangan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Bell (1976, 187-191), terutama dua prinsip yang mengatakan bahwa :
1.      Prinsip Pergeseran Makna (The Principle Of  Style Shifting)
Tidak ada penutur bahasa yang memiliki satu gaya, karena setiap penutur menggunakan berbagai bahasa, dan menguasai pemakaiannya. Tidak ada seorang penutur pun menggunakan bahasa persis dalam situasi yang berbeda-beda.
2.      Prinsip Perhatian (The Principle Of Attention)
Laras bahasa yang digunakan oleh penutur berbeda-beda bergantung pada jumlah atau banyaknya perhatian yang diberikan kepada tuturan yang diucapkan. Semakin sadar seseorang penutur terhadap apa yang diucapkan semakin formal pula tuturannya. (Wijana, 1996: 6-8).

2. 1. 1. Sosiolinguistik
            Fishman (1976:28 dalam Chaer dan Agustina 2004:27) menyebut  “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat  yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Dengan pengertian terhadap kata masyarakat itu, maka setiap kelompok orang yang karena tempat dan daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang sama, serta mempunyai penilaian-penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, mungkin membentuk suatu masyarakat tutur.
            Sosiologi mempelajari antara lain struktur sosial, organisasi kemasyarakatan, hubungan antaranggota masyarakat, tingkah laku masyarakat. Objek utama sosiologi bukan bahasa melainkan masyarakat. Tujuannya mendeskripsikan masyarakat dan tingkah laku (Sumarsono dan Partara, 2004:5).
            Rene Appel, Gerad Hubert, Greus Mejer (1976:10) dalam Chaer (1995) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan budaya.
            Fishman (1972) dalam Sumarsono (2004:2) mengatakan bahwa sosiologi bahasa sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian bahasa.
            G. E. Booij J. G. Kersten, dan H. J. Verkuyl (1975 : 139), sosiolinguistik adalah subdisipliner ilmu bahasa yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam penggunaan bahasa dalam pergaulan sosial.
            Halliday (1970) menyebut sosiolinguistik sebagai linguistik institusional, berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu. Kita bayangkan perilaku bahasa manusia memakai bahasa itu mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat dan budayanya.
            Di Indonesia, Nababan (1984) senada dengan Halliday dalam pernyataannya. Sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa  itu sebagai anggota masyarakat. Seorang penutur bahasa adalah anggota masyarakat tutur.

2. 1. 2. Pragmatik
            Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam komunikasi. Pragmatik yang menjadi latar kajian ini adalah pragmatik tradisi kontinental. Dasar pertimbangannya adalah bahwa analisis pragmatik kontinental, sebagaimana ditunjukkan, misalnya, oleh Schiffrin (1994) memiliki jangkauan kajian, yakni mencakup tindakan dan konteks (Ruhendi, 2003 dalam artikel artikulasi).
            Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik adalah ilmu yang mengkaji makna kalimat; pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar (Leech, 1993:21). Jalaludin (1992: 225) menyatakan bahwa tujuan utama pragmatik adalah menjawab semua persoalan tentang interpretasi ujaran yang tak dapat dijawab dengan pengkajian makna kalimat semata-mata; segala yang implisit di dalam tuturan tidak dapat diterangkan oleh semantik, tetapi berhasil dijelaskan oleh ilmu pragmatik.
            Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan/laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat (Levinson dalam Tarigan, 1990:33).
            Konteks merupakan segenap informasi yang berada di sekitar pemakaian bahasa, bahkan termasuk juga pemakaian bahasa yang ada di sekitarnya (Preston, 1984:12). Dengan demikian hal-hal seperti situasi, jarak, tempat, dan sebagainya merupakan konteks pemakaian bahasa. Fungsi konteks sangat penting di dalam bahasa. Konteks dapat menentukan makna dan maksud ujaran (Supardo, 1988:46).

2. 2. Ragam Bahasa
            Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yang dibicarakan dan menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001:184).
            Ragam bahasa yang terjadi tergantung pemakaian topik yang dibicarakan, misalnya ada yang resmi tidak resmi, santun tidak santun, bijak tidak bijak dan lain-lain. Ragam bahasa yang terjadi di lingkungan terminal ini akan ditelaah antara resmi tidak resmi, santun tidak santun, dan bijak tidak bijak.
            Suwito (1983: 29), mengemukakan bahwa variasi adalah sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan.
Ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Sedangkan ragam itu timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan konteks sosialnya. Adanya berbagai ragam menunjukkan bahwa pemakaian bahasa (tutur) itu bersifat  aneka ragam (heterogen).
            Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Sedangkan faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain ialah faktor sosial dan faktor situasional. Adanya kedua faktor itu dalam pemakaian bahasa menimbulkan ragam bahasa yaitu “bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola menyerupai pola umum bahasa induknya” (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1983 : 23). Adapun ujud ragam atau ragam bahasa itu dapat berupa :
1.      idiolek, sifat khas tuturan seseorang yang berbeda dengan tuturan orang lain. Sifat-sifat khas itu bisa disebabkan oleh faktor fisik atau faktor psikis;
2.      dialek, dialek dibagi menjadi dua macam yaitu, a) dialek geografis dan b) dialek sosial atau sosiolek;
a.       Dialek geografis adalah ragam yang timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya.
b.      Dialek sosial atau sosiolek adalah ragam yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya.
3.      register yaitu ragam bahasa yang disebabkan karena sifat-sifat khas kebutuhan pemakaiannya;
4.      undak-usuk yaitu ragam bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlekutornya (Suwito, 1983: 22-23).

2. 3. Tindak Tutur
            Tindak tutur terbagi menjadi 2 jenis, yaitu 1) tindak tutur langsung dan 2) tindak tutur tidak langsung.
            Bentuk tindak tutur langsung seperti itu banyak digunakan dalam bahasa inggris (Leech, 1983:14). Bentuk ini merupakan penggabungan dua ciri. Salah satunya adalah penggabungan dengan ciri-ciri pertanyaan.
            Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech, 1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti kalimat, sebuah kata oleh seorang penutur tertentu pada situasi tertentu.
            Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini ‘tuturan’ sebagai kalimat atau wacana yang terkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Hudson dalam sosiolinguistik Suryatin (1998:87) memberikan istilah ‘tuturan’ dengan ‘ujaran’. John L. Austin dalam Wijana menggunakan istilah tuturan. Tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis.

2. 4. Kesantunan (Politenes)
Prinsip kesantunan menurut Leech (1993) menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itulah mereka menggunakan strategi dalam mengajarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.
Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur (penyapa) dan petutur (pesapa) untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Setiap kali berbicara dengan orang lain, dia akan membuat keputusan-keputusan menyangkut apa yang ingin dikatakannya dan bagaimana menyatakannya. Hal ini tidak hanya menyangkut tipe kalimat atau ujaran apa dan bagaimana, tetapi juga menyangkut variasi atau tingkat bahasa sehingga kode yang digunakan berkaitan tidak saja dengan apa yang dikatakan, tetapi juga motif sosial tertentu yang ingin menghormati lawan bicara atau ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota golongan tertentu.
Secara umum, santun merupakan suatu yang lazim dapat diterima oleh umum. Santun tidak santun bukan makna absolut sebuah bentuk bahasa. Karena itu tidak ada kalimat yang secara inheren santun atau tidak santun, yang menentukan kesantunan bentuk bahasa ditambah konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, situasi varibel penting dalam kesantunan.
Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragmatik. Setidaknya ada empat ancangan kesantunan dari para ahli yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1)      Kesantunan dilihat  dari pandangan kaidah sosial tokohnya adalah Lakoff (1973);
2)      Kesantunan dilihat dari pandangan kontak percakapan tokohnya adalah Fraser (1990);
3)      Kesantunan dilihat dari pandangan maksim percakapan tokohnya adalah Leech (1993);
4)      Kesantunan dilihat dari pandangan penjagaan muka tokohnya adalah Brown dan Levinson (1987).

2. 4. 1. Prinsip Kesantunan Leech
            Leech (1993) membahas teori kesantunan dengan menitikberatkan atas dasar nosi, (1) biaya/cost dan keuntungan/benefit, (2) kesetujuan/agreement, (3) pujian/approbation, (4) simpati/antipati. Leech (1993) sendiri mendefinisikan prinsip kesantunan yaitu dengan cara meminimalkan ungkapan yang kita yakini tidak santun.
            Ada enam maksim menurut Leech (1993) yakni:
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
     a. Kurangi kerugian orang lain.
     b. Tambahi keuntungan orang lain.
2) Maksim Penerimaan/ Penghargan (Approbation Maxim)
     a. Kurangi keuntungan diri sendiri.
     b. Tambahi kerugian diri sendiri.
3) Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
     a. Kurangi cacian pada orang lain.
     b. Tambahi pujian orang lain.
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
      a. Kurangi pujian pada diri sendiri.
      b. Tambahi cacian pada diri sendiri.
5) Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
      a. Kurangi ketidakcocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
      b. Tingkatkan kecocokan antara diri sendiri dengan orang lain.
6) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
     a. Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
     b. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83 dalam Rahardi 2005: 5)
   Maksim yang berskala dua kutub karena berhubungan dengan keuntungan/kerugian diri sendiri dan orang lain (Wijana, 1996: 55-60).
1. Maksim yang berpusat pada orang lain.
    a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
    b. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
2. Maksim yang berpusat pada diri sendiri.
    a. Maksim Penerimaan/Penghargaan (Approbation Maxim)
    b. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim).
            Maksim yang berskala satu kutub karena berhubungan dengan penilaian buruk bagi penutur terhadap dirinya sendiri/orang lain.
  1. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
  2. Maksim Kesimpatian (Sympath Maxim)

2. 4. 2. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
2. 4. 2. 1. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
            Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
Contoh pematuhan:
+ : Mari saya bawakan buku Anda.
- : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)

            Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.


2. 4 2. 2. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)
            Diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapat mungkin menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutama kepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
+ : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
-  : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)

            Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.

2. 4. 2. 3. Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
            Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
+ : Permainan Anda sangat bagus.
-  : Ah, biasa saja. Terima kasih. (Wijana, 1996: 58)





2. 4. 2. 4. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
            Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kau sangat pandai.
- : Ya, saya memang pandai.


2. 4. 2. 5. Maksim Kesepakatan/Kecocokan (Agreement Maxim)
            Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran:
+ : Kemarin motorku hilang.
- : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)




2. 4. 2. 6. Maksim Simpati (Sympath Maxim)
            Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.
Contoh Pelanggaran :
+ : Kemarin motorku hilang.
-  : Oh, kasian deh lu (Wijana, 1996:61)

2. 5 Skala Kesantunan Leech
            Di dalam model kesantunan Leech (1983), setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.
Bersifat skala kesantunan yang disampaikan Leech ini selengkapnya.
  1. Cost-benefit scale: representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer.
  2. optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and or hearer by a specific liguitic act.
  3. indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in the order to establish the intended speaker meaning.
  4. authority scale: representing the status relationship between speaker and hearer.
  5. sosial distence scale: Indicating the degree of familiarity  between speaker and hearer. (Leech, 1983: 123-126).

Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech (1983) itu satu persatu dapat dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut:
  1. cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri, si mitra tutur akan semakin santunlah tuturan itu.
  2. optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu.
  3. indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin santun lagi tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun tuturan itu.
  4. authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
  5. sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.
    

   

BAB 3

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN


  1. 1. Metode Penelitian

                  Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah masalah-masalah faktual. Maksudnya, masalah kesantunan berbahasa adalah masalah yang sedang dihadapi oleh pemakai bahasa Indonesia sekarang. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dihasilkannya berupa kata-kata dan kalimat-kalimat yang termasuk kategori sarkasme yang diucapkan oleh para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
                  Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yag dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret : paparan seperti adanya. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaaan bahasa oleh penutur-penuturnya, hal itu merupakan cirinya yang pertama dan terutama (Sudaryanto : 1992:62).
Dalam hal ini penulis membuat deskripsi tentang bagaimana tuturan yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mengumpulkan fakta-fakta mengenai respons para penutur bahasa Indonesia yang tidak menggunakan tuturan sarkasme yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Dengan demikian, dari kedua fakta tersebut di atas dapat diperoleh persepsi  yang muncul dari penutur bahasa Indonesia ketika menerima suatu tuturan sarkasme calo, pedagang asongan, supir dan kondektur tersebut.
Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasi serta mendeskripsikan masalah-masalah yang berkenaan dengan tuturan yang tidak santun dan respons penutur melalui wawancara. Selanjutnya, penulis memperoleh data bagaimana persepsi yang muncul dari para penutur bahasa Indonesia ketika menerima tuturan yang tidak santun.

      3. 2. Teknik Penelitian
             3. 2. 1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, teknik rekam, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi dengan mengamati situasi dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan wawancara kepada para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dengan melakukan wawancara berstruktur untuk mendapatkan informasi yang relevan. Selanjutnya, dengan teknik rekam penulis merekam kejadian faktual di lapangan. Terakhir langkah dilakukan dengan teknik catat, yaitu mencatat semua kejadian dari tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di terminal Cicaheum Bandung dan terminal Harjamukti Cirebon.


Selanjutnya, proses pengumpulan data sebagai berikut:
  1. Teknik Rekam
penulis menggunakan kaset rekaman untuk merekam tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur, sehingga penulis akan mendapatkan data mengenai realisasi kesantunan berbahasa yang ada di lingkungan terminal, khususnya terminal Cicaheum-Bandung dan terminal Harjamukti-Cirebon
  1. Teknik Catat
hasil dari proses rekaman tuturan tersebut kemudian ditranskripsi beserta konteks yang dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Setelah itu, akan didapatkan data tentang ujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
  1. Teknik Observasi
setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan lingkungan terminal. Melalui teknik ini kita akan mendapatkan data tentang penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang ada di lingkungan terminal.
  1. Teknik Wawancara
setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancarai calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mewawancarai penutur bahasa yang bertutur kata sopan dan santun sehingga akan diketahui persepsi penyimak bahasa terhadap realisasi kesantunan berbahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal.

            3. 3. 2. Teknik Pengolahan Data
                  Untuk mengetahui tipe-tipe kesantunan berbahasa dan maksud penuturnya memakai ragam bahasa tersebut, yaitu dengan teknik rekam dan teknik catat. Pertama, teknik rekam, yaitu saat penutur memakai bahasa kasar, penulis tanpa diketahui oleh penutur merekam tuturan yang diucapkan penutur yang mengandung kata-kata kasar. Selanjutnya, data tersebut ditranskripsi agar lebih mudah mengenali unsur-unsur realisasi kesantunan dari setiap ujaran.
                     Kedua, teknik catat, yaitu dengan mencatat fenomena kebahasaan yang telah direkam, lalu dari hasil transkripsi telah diperoleh data tulis yang selanjutnya dapat diidentifikasi. Proses identifikasi dari setiap data yang dilakukan untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan lagi.
Setelah selesai melakukan dengan teknik rekam dan teknik catat, selanjutnya adalah dengan penyalinan ke dalam kartu data dan menganalisisnya, sehingga akan diperoleh data yang relevan.
                        Berikut ini adalah rincian langkah-langkah dalam mengolah data yaitu   sebagai berikut:


1. Mentranskrip Data Hasil Rekaman
      setelah penulis memperoleh data berupa tuturan dari calo, pedagang asongan, supir dan kondektur melalui hasil rekaman, maka selanjutnya mentranskripsi memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang diujarkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur
2. Mengidentifikasi dan Mengklarifikasi Data
   berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang selanjutnya siap untuk diidentifikasi. Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya, dan mana yang tidak dibutuhkan.
3. Menyalin ke Dalam Kartu Data
   setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka selanjutnya adalah penyalinan tiap tuturan yang telah diidentifikasi ke dalam kartu data. Hal itu dimaksudkan agar mudah untuk mengelompokkan tuturan tersebut menurut karakteristik tertentu.
4. Menganalisis Kartu Data
   data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan tuturan ketidaksantunan dan teori pragmatik dengan prinsip kesopanan Leech. Dari analisis kartu data tersebut akan tergambar kesantunan berbahasa calo, pedagang asongan, supir dan kondektur di lingkungan terminal.


5. Lembar Wawancara Untuk Responden Penutur Bahasa Indonesia
         penulis mengajukan pertanyaan kepada penutur bahasa Indonesia, kemudian menganalisis dan mengolahnya. Data dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan data tentang penutur bahasa Indonesia (jenis kelamin, usia, pendidikan, profesi) berdasarkan data yang telah dikelompokkan menggunakan kartu data tersebut.
6. Menyimpulkan
   untuk tahap terakhir, hasil analisis akan menghasilkan simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
3. 3. Sumber Data Dan Data/Korpus
     3. 3. 1 Sumber Data
      Sumber data penelitian ini adalah para calo, pedagang asongan, supir dan kondektur yang terdapat di lingkungan terminal Cicaheum Bandung dan terminal Harjamukti Cirebon.
3. 3. 2 Data Korpus
Data dalam penelitian ini adalah tuturan para calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang mengandung kata-kata kasar dan pelanggaran prinsip kesopanan Leech.
         3. 3. 3 Instrumen Penelitian
            Instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  • Lembar pedoman observasi
  • Lembar pedoman wawancara
  • Kartu data untuk memudahkan penganalisisan data.

  
PUSTAKA ACUAN

            Akmal. 2006. Indonesia (super) ego. http : // opini pribadi. Blogspot. Com
            Alwasilah, A. Chaedar (2003). Pokoknya Kualitatif. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya dan Pustaka Studi Sunda.
            Bagus, Indonesia. 2006. Calo. http : // opini pribadi. Blogspot. Com.
            Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
            Hasan, Alwi. 1995. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
            Harras, Kholid A. Santun Berbahasa. Bandung : Universitas Pendidikan
Indonesia
            Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka
            Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia.
            Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
            Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Yogyakarat : Pustaka Pelajar.
            Rahardi, Kunjana. 2005. PRAGMATIK, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga
            Ruhendi Saefullah, Aceng. 2001. Perwujudan Prinsip Kerjasama dalam Teks Wawancara. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia
            Ruhendi Saefullah, Aceng. 2003. Pragmatik Dari Morris Sampai Van Dijk Dan Perkembangannya Di Indonesia. Jurnal @rtikulasi volume 3. Bandung : FPBS
            Supena, Ahmad. 2002. “Tindak Tutur dalam Pragmatik”. Artikulasi, 1(2)
            Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pagmatik. Bandung : Angkasa.
            Sulistiany Idris Nuny. 2006. Hand Out Perkuliahan Metode Penelitian Linguistik. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
            Sumarsono, dan Paina Partama. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Sabda.
            Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa.
            Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi.











No comments:

Post a Comment